32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Bubarkan Pengadilan Tipikor Daerah

Koruptor di Daerah Banyak Divonis Bebas, Ketua MK Kecewa

JAKARTA – Semakin suburnya pembebasan koruptor oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ternyata membuat geram beberapa pihak. Termasuk Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Bahkan saking geramnya, Mahfud meminta agar Pengadilan Tipikor di daerah dibubarkan.

“Banyaknya koruptor yang dibebaskan (Pengadilan Tipikor) membuat kita semua kecewa,” kata Mahfud di kantornya kemarin (4/11). Bahkan menurutnya, kinerja para hakim pengadilan tipikor jauh lebih buruk daripada pengadilan umum. “Makanya, pembubaran (Pengadilan Tipikor) masuk akal. Lalu kembalikan ke pengadilan umum,” imbuh Mahfud.

Memang, harapan Mahfud tentang pembubaran pengadilan yang khusus mengadili para pengemplang uang negara di daerah-daerah lebih masuk akal. Pasalnya, dalam beberapa waktu terakhir banyak para pengadil yang membebaskan orang-orang yang didakwa korupsi.

Bahkan salah satunya adalah tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mochtar Mohammad yang merupakan Wali Kota Bekasi. Meski didakwa empat perkara, Mochtar diputus bebas oleh Pengadilan Tipikor Bandung. Terakhir, pada Senin (31/10) lalu giliran Pengadilan Tipikor Samarinda, Kalimantan Timur yang memberikan vonis bebas kepada empat dari 15 terdakwa kasus korupsi dana operasional APBD Kutai Kartanegara senilai Rp2,98 miliar.
Lebih lanjut Mahfud menerangkan tentang asal usul pembentukan Pengadilan Tipikor di daerah yang menurutnya merupakan bentuk kreasi DPR dan pemerintah dan terkesan asal-asalan dan tidak matang.

Menurutnya, Pengadilan Tipikor daerah terbentuk dari kembangan putusan MK tentang UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 19 Desember 2006. Saat itu MK menilai bahwa pembentukan Pengadilan Tipikor Jakarta inkonstitusional lantaran hanya disasarkan pada pasal 53 UU Tipikor. “Seharusnya Pengadilan Tipikor diatur dalam UU sendiri,” katanya.

MK pun meminta agar ada bentuk hukum kepada Pengadilan Tipikor Jakarta agar menjadi konstitusional dalam waktu tiga tahun. Tapi MK tidak memerintahkan pembangunan Pengadilan Tipikor daerah. Nah, tapi ternyata pemerintah dan DPR malah membangunnya di daerah-daerah. Bahkan saat ini Pengadilan Tipikor sudah berdiri di 33 daerah.

Karena setiap daerah memiliki pengadilan khusus itu, Mahfud pun menilai hal tersebut terlalu gemuk. Bahkan cenderung semakin mengacaukan sistem hukum yang ada. Selain itu, dirinya juga sangat prihatin dengan tata cara rekruitmen hakim-hakim ad hoc Pengadilan Tipikor. “Mereka (hakim ad hoc) tidak memahami pengalaman di bidang hukum dan kurang paham hukum substantif. Belum lagi pengawasan yang lemah,” ujar Menhan era Gus Dur itu.
Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali menanggapi usulan pembubaran Pengadilan Tipikor daerah dengan nada santai. Menurutnya, pihaknya sama sekali tidak keberatan apabila hal tersebut direalisasikan.

“Itu perintah undang-undang, MA hanya menjalankan amanah UU,” tuturnya enteng. Dia lalu menjelaskan bahwa dalam UU Pengadilan Tipikor memang disebutkan semua ibukota provinsi harus memiliki pengadilan khusus korupsi.
Jadi, mau tidak mau MA harus melaksanakannya. Tugasnya adalah dengan menyiapkan hakim ad hoc, hakim karir untuk bertugas di tipikor. Tentu saja perekrutannya dengan cara menjalankan sesuai dengan aturan yang berlaku. Nah, apabila memang benar-benar berniat untuk dibubarkan, maka sebelumnya harus mengubah undang-undang yang berlaku. “Revisi saja undang-undangnya, kan beres,” kata Hatta.  Namun Hatta mengingatkan bahwa pihaknya sama sekali tidak dalam posisi setuju atau tidak setuju pembubaran. Lagi-lagi dia beralasan semuanya tergantung undang-undang yang berlaku.

Di bagian lain, Ketua KPK Busyro Muqoddas meminta agar MA segera mengevaluasi pengadilan tipikor di daerah. Busyro juga merasa prihatin dengan semakin banyaknya koruptor yang dinyatakan tidak bersalah dan bebas. “Harus dievaluasi sudut manajemennya,” kata Busyro Kamis (3/11) lalu.

Menurutnya, beberapa pihak harus diikutkan dalam langkah evaluasi tersebut. Misalnya, KPK, lembaga swadaya masyarakat pemerhati hukum dan peradilan, serta universitas-universitas dan akademisi di daerah. Itu semua semakin baik apabila MA juga menggandeng Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga yang sah mengawasi kode etik dan perilaku hakim.

Di bagian lain, Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak setuju jika Pengadilan Tipikor di daerah dibubarkan. Wakil Jaksa Agung Darmono mengatakan, pembubaran hanya membuat situasi menjadi tidak karuan. Langkah yang cukup bijak, kata dia, adalah dengan mengevaluasi kinerja dan situasi-situasi yang mempengaruhi putusan. Sebab, keluarnya putusan dari majelis hakim tidak hanya faktor hakimnya.

Misalnya, kata Darmono, tingkat penyidikan yang kurang matang, kemudian pendakwaan dan penuntutan yang dilakukan jaksa kurang tepat. “Makanya terhadap perkara-perkara yang gagal itu di dalam penuntutannya kami evaluasi,” katanya.

Penegak hukum lulusan Universitas Islam Indonesia (UII) itu menambahkan, ada juga faktor lain. “Bisa juga ada kesalahan lain seperti perbedaan persepsi antara jaksa dan hakim menyangkut masalah tentang kerugian negara,” katanya.

Selain itu, kata Darmono, kinerja Pengadilan Tipikor juga juga dipengaruhi lembaga lain. Misalnya tentang tempat penanahanan dan jarak dengan tempat persidangan. Seringkali jaksa harus membawa saksi atau terdakwa ke Pengadilan Tipikor yang berada jauh di ibukota provinsi. Perjalanannya saja bisa memakan waktu sehari penuh. Belum lagi yang antarpulau.

Karena itu, Darmono tidak sepakat jika Pengadilan Tipikor di daerah dibubarkan. “Tidak bisa kita serta merta hentikan. Semuanya mengacu pada aturan,” katanya.

Koruptor di Daerah Banyak Divonis Bebas, Ketua MK Kecewa

JAKARTA – Semakin suburnya pembebasan koruptor oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ternyata membuat geram beberapa pihak. Termasuk Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Bahkan saking geramnya, Mahfud meminta agar Pengadilan Tipikor di daerah dibubarkan.

“Banyaknya koruptor yang dibebaskan (Pengadilan Tipikor) membuat kita semua kecewa,” kata Mahfud di kantornya kemarin (4/11). Bahkan menurutnya, kinerja para hakim pengadilan tipikor jauh lebih buruk daripada pengadilan umum. “Makanya, pembubaran (Pengadilan Tipikor) masuk akal. Lalu kembalikan ke pengadilan umum,” imbuh Mahfud.

Memang, harapan Mahfud tentang pembubaran pengadilan yang khusus mengadili para pengemplang uang negara di daerah-daerah lebih masuk akal. Pasalnya, dalam beberapa waktu terakhir banyak para pengadil yang membebaskan orang-orang yang didakwa korupsi.

Bahkan salah satunya adalah tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mochtar Mohammad yang merupakan Wali Kota Bekasi. Meski didakwa empat perkara, Mochtar diputus bebas oleh Pengadilan Tipikor Bandung. Terakhir, pada Senin (31/10) lalu giliran Pengadilan Tipikor Samarinda, Kalimantan Timur yang memberikan vonis bebas kepada empat dari 15 terdakwa kasus korupsi dana operasional APBD Kutai Kartanegara senilai Rp2,98 miliar.
Lebih lanjut Mahfud menerangkan tentang asal usul pembentukan Pengadilan Tipikor di daerah yang menurutnya merupakan bentuk kreasi DPR dan pemerintah dan terkesan asal-asalan dan tidak matang.

Menurutnya, Pengadilan Tipikor daerah terbentuk dari kembangan putusan MK tentang UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 19 Desember 2006. Saat itu MK menilai bahwa pembentukan Pengadilan Tipikor Jakarta inkonstitusional lantaran hanya disasarkan pada pasal 53 UU Tipikor. “Seharusnya Pengadilan Tipikor diatur dalam UU sendiri,” katanya.

MK pun meminta agar ada bentuk hukum kepada Pengadilan Tipikor Jakarta agar menjadi konstitusional dalam waktu tiga tahun. Tapi MK tidak memerintahkan pembangunan Pengadilan Tipikor daerah. Nah, tapi ternyata pemerintah dan DPR malah membangunnya di daerah-daerah. Bahkan saat ini Pengadilan Tipikor sudah berdiri di 33 daerah.

Karena setiap daerah memiliki pengadilan khusus itu, Mahfud pun menilai hal tersebut terlalu gemuk. Bahkan cenderung semakin mengacaukan sistem hukum yang ada. Selain itu, dirinya juga sangat prihatin dengan tata cara rekruitmen hakim-hakim ad hoc Pengadilan Tipikor. “Mereka (hakim ad hoc) tidak memahami pengalaman di bidang hukum dan kurang paham hukum substantif. Belum lagi pengawasan yang lemah,” ujar Menhan era Gus Dur itu.
Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali menanggapi usulan pembubaran Pengadilan Tipikor daerah dengan nada santai. Menurutnya, pihaknya sama sekali tidak keberatan apabila hal tersebut direalisasikan.

“Itu perintah undang-undang, MA hanya menjalankan amanah UU,” tuturnya enteng. Dia lalu menjelaskan bahwa dalam UU Pengadilan Tipikor memang disebutkan semua ibukota provinsi harus memiliki pengadilan khusus korupsi.
Jadi, mau tidak mau MA harus melaksanakannya. Tugasnya adalah dengan menyiapkan hakim ad hoc, hakim karir untuk bertugas di tipikor. Tentu saja perekrutannya dengan cara menjalankan sesuai dengan aturan yang berlaku. Nah, apabila memang benar-benar berniat untuk dibubarkan, maka sebelumnya harus mengubah undang-undang yang berlaku. “Revisi saja undang-undangnya, kan beres,” kata Hatta.  Namun Hatta mengingatkan bahwa pihaknya sama sekali tidak dalam posisi setuju atau tidak setuju pembubaran. Lagi-lagi dia beralasan semuanya tergantung undang-undang yang berlaku.

Di bagian lain, Ketua KPK Busyro Muqoddas meminta agar MA segera mengevaluasi pengadilan tipikor di daerah. Busyro juga merasa prihatin dengan semakin banyaknya koruptor yang dinyatakan tidak bersalah dan bebas. “Harus dievaluasi sudut manajemennya,” kata Busyro Kamis (3/11) lalu.

Menurutnya, beberapa pihak harus diikutkan dalam langkah evaluasi tersebut. Misalnya, KPK, lembaga swadaya masyarakat pemerhati hukum dan peradilan, serta universitas-universitas dan akademisi di daerah. Itu semua semakin baik apabila MA juga menggandeng Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga yang sah mengawasi kode etik dan perilaku hakim.

Di bagian lain, Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak setuju jika Pengadilan Tipikor di daerah dibubarkan. Wakil Jaksa Agung Darmono mengatakan, pembubaran hanya membuat situasi menjadi tidak karuan. Langkah yang cukup bijak, kata dia, adalah dengan mengevaluasi kinerja dan situasi-situasi yang mempengaruhi putusan. Sebab, keluarnya putusan dari majelis hakim tidak hanya faktor hakimnya.

Misalnya, kata Darmono, tingkat penyidikan yang kurang matang, kemudian pendakwaan dan penuntutan yang dilakukan jaksa kurang tepat. “Makanya terhadap perkara-perkara yang gagal itu di dalam penuntutannya kami evaluasi,” katanya.

Penegak hukum lulusan Universitas Islam Indonesia (UII) itu menambahkan, ada juga faktor lain. “Bisa juga ada kesalahan lain seperti perbedaan persepsi antara jaksa dan hakim menyangkut masalah tentang kerugian negara,” katanya.

Selain itu, kata Darmono, kinerja Pengadilan Tipikor juga juga dipengaruhi lembaga lain. Misalnya tentang tempat penanahanan dan jarak dengan tempat persidangan. Seringkali jaksa harus membawa saksi atau terdakwa ke Pengadilan Tipikor yang berada jauh di ibukota provinsi. Perjalanannya saja bisa memakan waktu sehari penuh. Belum lagi yang antarpulau.

Karena itu, Darmono tidak sepakat jika Pengadilan Tipikor di daerah dibubarkan. “Tidak bisa kita serta merta hentikan. Semuanya mengacu pada aturan,” katanya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/