JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Enam orang masyarakat menggugat Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker). Kamis (5/1), mereka mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mendaftarkan permohonan uji formil. Mereka menuntut agar MK membatalkan Perppu tersebut. Menurut mereka langkah pemerintah mengeluarkan aturan itu tidak ubahnya pelecehan terhadap konstitusi.
VIKTOR Santoso Tandiasa sebagai kuasa hukum para pemohon menyampaikan, enam orang yang menggugat Perppu Ciptaker berasal dari berbagai kalangan. Mulai akademisi, mahasiswa, konsultan hukum, sampai buruh. Mereka terdiri atas Hasrul Buamona (dosen), Siti Badriyah (Migrant CARE), Harseto Setyadi Rajah (konsultan hukum), Syaloom Mega G. Matitaputty dan Ananda Luthfia Ramadhani (mahasiswa).
Menurut Viktor, ada dua hal yang digarisbawahi pasca munculnya Perppu tersebut. “Pertama jangan melecehkan MK,” ungkapnya saat diwawancarai, kemarin.
Dia menyatakan, terbitnya Perppu Ciptaker merupakan bentuk pelecehan terhadap konstitusi. Sebab, putusan yang dibuat oleh MK bersifat final dan mengikat. Bunyi putusan MK atas Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Ciptaker pun sangat jelas.
Dalam putusan tersebut, kata Viktor, MK sudah memerintahkan para pembentuk UU Ciptaker untuk memperbaiki aturan tersebut. “Karena dianggap pembentukan UU Ciptaker itu tidak memberikan ruang partisipasi secara bermakna,” terang dia.
Bukannya dipatuhi, putusan tersebut malah direspons pemerintah dengan mengeluarkan Perppu. Karena itu, pihaknya menilai pemerintah telah mengakali dan melecehkan MK. Sebab, Perppu bersifat tertutup sehingga tidak memberi ruang terhadap partisipasi publik. “Disitulah kemudian menjadi suatu ruang yang cukup fatal bagi saya,” imbuh Viktor.
Bila didiamkan, dia menilai, keluarnya Perppu Ciptaker berpotensi menimbulkan masalah baru. “Memberikan contoh buruk,” ujarnya.
Kedua, lanjut dia, pihaknya menilai, keluarnya Perppu tersebut merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. MK diberi mandat oleh konstitusi sebagai lembaga yang berwenang mengkaji UU. Karena itu, putusan MK harus dipatuhi semua pihak. Termasuk oleh presiden. “Saya khawatir (dengan keluarnya Perppu Ciptaker) nanti semua lembaga mengikuti langkah presiden, tidak mematuhi (putusan) MK,” jelas dia.
Karena itu, para pemohon yang diwakili Viktor menggugat Perppu tersebut. “Bahwa Perppu itu harus dibatalkan,” tegasnya.
Dalam permohonan uji formil atas Perppu Ciptaker, Viktor dan para pemohon menyertakan beberapa bukti. Termasuk diantaranya salinan Perppu yang mencapai lebih dari seribu halaman. Bukti lain yang disertakan terdiri atas penguat legal standing para pemohon. Dia berharap besar MK cepat merespons permohonan tersebut. “Minimal kami harap besok (hari ini, Red) sudah diregistrasi dan sudah bisa disidangkan,” ungkap dia.
Upaya menjegal diterapkannya Perppu Ciptaker ini juga tengah disusun serikat buruh. Rencananya, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) akan mendaftarkan uji formil dan uji materil. “Kami juga akan menggugatnya,” ujar Presiden KSBSI, Elly Rosita Silaban.
Menurutnya, meski Perppu menjadi kewenangan presiden tapi seyogyanya ada masukan dan kajian yang jadi pertimbangan dalam pembuatannya. Sehingga, tidak berat sebelah. Karenanya, pihaknya pun mantap memutuskan untuk turut serta dalam rombongan yang akan melakukan judicial review. “Dan ini harusnya gak diterbitkan presiden, karena MK mintanya perbaikan UU Cipta kerja,” keluhnya.
Selain upaya hukum, KSBSI juga berencana untuk menyurati presiden, menko perekonomian, menteri ketenagakerjaan (menaker), dan menko polhukam terkait penolakan mereka. Ia berharap, masukan-masukan yang disampaikan dalam surat nanti bisa diakomodir.
KSBSI sendiri menyampaikan enam poin yang diminta untuk direvisi. Diantaranya, terkait formula perhitungan upah minimum, pesangon, outsourcing, hingga TKA.
Pengamat Senior Indef Didin S Damanhuri memandang, sistem oligarki akan makin bergerilya di Tanah Air. Hal itu terbukti dari sejumlah UU yang disahkan di luar prosedur. Beberapa diantaranya yakni UU Minerba, KPK, Cipta Kerja, MK, Ibu Kota Negara (IKN) baru, Hukum Pidana, dan terakhir Perpu Ciptaker. ‘’Menurut saya lahirnya regulasi ini sebagai bukti bekerjanya fenomena oligarki karena proses legislasi mengabaikan lembaga hukum dan partisipasi publik yang diminta UU sendiri,’’ jelas Didin, kemarin (5/1).
Didin menjelaskan, oligarki ekonomi dan politik itu sudah menjadi berkelanjutan sejak tahun 1950-an sampai era reformasi. Embrio adanya oligarki tersebut adalah maraknya pelaku perburuan rente baik di bidang ekonomi maupun politik. Setelah mendapatkan keuntungan jumbo, pemburu rente itu melakukan kartelisasi dan mafia barang dan jasa termasuk importasi.
“Kartelisasi yang telah menghasilkan akumulasi kapital dari pertumbuhan ekonomi selama reformasi sekitar 5 persen lebih. Itu terakumulasi oleh 20 persen orang terkaya dan korbannya adalah 40 persen penduduk yang paling miskin,” ujarnya.
Didin mengimbau perlu adanya reformasi di bidang politik dan ekonomi. Dari sisi politik, bentuk reformasi yang dibutuhkan adalah penyederhanaan prosedur kampanye, menghilangkan berbagai modus pemberian mahar politik dan berbagai bentuk korupsi politik dalam setiap penentuan calon dalam Pilpres, Pileg, maupun Pilkada.
Reformasi ekonomi juga diperlukan dengan cara menekan ongkos ekonomi, memperkuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan kewenangan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tujuannya agar bisa menyadap pelaku kartel. Kemudian memberantas mafia, kartelisasi, perburuan rente dan korupsi ekonomi.
Ketua Kebijakan Publik Apindo Sutrisno Iwantono memandang, pro kontra merupakan hal yang wajar. Masyarakat juga berhak melayangkan uji materi terhadap Perppu Cipta Kerja. Sutrisno menjelaskan, Perppu tersebut tidak banyak perubahan jika dibandingkan dengan UU Cipta Kerja. ‘’Kalau tidak ada perubahan di klaster Ketenagakerjaan yang waktu itu didiskusikan panjang lebar, ya mirip-mirip saja dengan UU Cipta Kerja,’’ jelas dia kepada Jawa Pos, kemarin (4/1).
Menurut dia, dari sisi pelaku usaha, yang diinginkan adalah kepastian. Sebab, inkonsistensi kebijakan dapat berdampak pada iklim usaha maupun investasi. ‘’Konsistensi kebijakan itu penting. Kalau tidak konsisten itu orang (investor) akan takut mau masuk menanamkan modalnya ke Indonesia. Mereka kan pasti khawatir jadi gini gitu. Itu kan namanya tidak ada kepastian,’’ katanya. (dee/syn/mia/jpg)