32 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

MoU Tak Jalan, Rahudman Jadi Korban

JAKARTA- Hubungan kerja yang baik terkait penanganan dugaan korupsi kepala daerah telah diteken Kementerian Dalam Negeri (kemendagri) dengan Kejaksaan Agung dan Kepolisian telah disepakati. Dalam nota kesepahaman (MoU) ini, ditegaskan Mendagri Gamawan Fauzi di berbagai kesempatan, ketika ada kepala daerah yang akan diusut kejaksaan atau kepolisian, maka harus terlebih dahulu dilakukan gelar perkara bersama yang melibatkan kemendagri.

Jika hasil gelar perkara disimpulkan memang telah ditemukan indikasi korupsi maka kasusnya boleh dilanjutkan pengusutannya oleh kejaksaan atau kepolisian. Namun, jika ternyata hanya ditemukan kesalahan administrasi, terlebih menyangkut diskresi kepala daerah atau aparaturnya, maka cukup pengusutannya ditangani inspektorat, sebagai lembaga pengawasan internal pemerintah.

“Jadi sebenarnya sudah ada MoU, tapi tak jalan,” ujar Direktur Jenderal Pemerintahan Umum (Dirjen PUM) Kemendagri, I Made Suwandi, dalam sebuah diskusi di Cisarua, Bogor, belum lama ini.

Made mengatakan hal tersebut dalam kapasitasnya sebagai Ketua Tim Perumus Revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, yang saat ini sudah mulai dibahas pemerintah bersama DPR.

Karena MuO dimaksud tidak jalan, lanjut Made, maka pengaturannya akan dituangkan di dalam RUU revisi UU Pemda.

Birokrat bergelar doktor itu lantas menjelaskan rumusan di draf RUU. Jika ada indikasi korupsi yang ditemukan kejaksaan atau kepolisian, maka Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) akan turun tangan melakukan pemeriksaan.

Jenis temuan ada dua kategori. Pertama, jika BPKP menemukan memang ada indikasi korupsi, maka kasusnya dipersilakan kejaksaan atau kepolisian mengusutnya, hingga dibawa ke pengadilan.

“Kedua, jika BPKP menemukan bahwa itu hanya masalah kebijakan, maka masuk kategori pelanggaran administrasi atau diskresi. Kasusnya cukup ditangani kementerian dan jenis hukumannya adalah administrasi atau ganti rugi,” terang Made.

Made tidak mengomentari kasus Wali Kota Medan Rahudman Harahap, yang sudah berstatus sebagai terdakwa kasus dugaan korupsi dana peningkatan penghasilan aparat desa di Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan 2004-2005 senilai Rp 1,5 miliar, saat dia Sekda Kabupaten Tapanuli Selatan.

Dalam dokumen tinjauan akademis revisi UU 32 Tahun 2004, tertulis kalimat sebagai berikut; “Untuk menciptakan kepastian hukum bagi aparatur dalam mengelola kegiatan pemerintahan, perlu ada aturan yang jelas mengenai proses penegakan hukum terhadap pimpinan dan aparatur daerah ketika melaks anakan kebijakan publik yang menjadi kewenangannya. Pengaturan tersebut harus dapat mendorong adanya pemerintahan yang bersih, tetapi juga tidak menghalangi aparatur untuk mengembangkan inovasi dalam penyelenggaraan pemerin tahan daerah”.

Di dokumen itu juga tertulis: “Perlu ada pengaturan yang melindungi aparatur daerah yang mengambil kebijakan publik dari tindak pidana sepanjang tindakannya dil akukan untuk memenuhi kepentingan umum, tidak merugikan kepentingan negara, tidak untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, dan kelompok, dan bertentangan dengan hukum”.

Yang menarik adalah sikap Staf Ahli Mendagri Bidang Hukum, Politik, dan Hubungan Antarlembaga, Redonnyzar Moenek. Pria yang biasanya langsung mengeluarkan pernyataan tegas jika ada kepala daerah yang sudah menjadi terdakwa itu, kali ini memilih bungkam.

Rahudman sudah resmi terdakwa, apakah sudah siap dinonaktifkan? Saat koran ini mengajukan pertanyaan demikian, Reydonnyzar tidak mau menjawab.
“Saya harus tahu persis duduk persoalannya dulu. Hubungi saya sekitar setengah jam lagi,” ujar Donny, panggilan akrabnya.
Namun, ketika dihubungi lagi kemarin, Donny tidak mengangkat ponselnya. (sam)

JAKARTA- Hubungan kerja yang baik terkait penanganan dugaan korupsi kepala daerah telah diteken Kementerian Dalam Negeri (kemendagri) dengan Kejaksaan Agung dan Kepolisian telah disepakati. Dalam nota kesepahaman (MoU) ini, ditegaskan Mendagri Gamawan Fauzi di berbagai kesempatan, ketika ada kepala daerah yang akan diusut kejaksaan atau kepolisian, maka harus terlebih dahulu dilakukan gelar perkara bersama yang melibatkan kemendagri.

Jika hasil gelar perkara disimpulkan memang telah ditemukan indikasi korupsi maka kasusnya boleh dilanjutkan pengusutannya oleh kejaksaan atau kepolisian. Namun, jika ternyata hanya ditemukan kesalahan administrasi, terlebih menyangkut diskresi kepala daerah atau aparaturnya, maka cukup pengusutannya ditangani inspektorat, sebagai lembaga pengawasan internal pemerintah.

“Jadi sebenarnya sudah ada MoU, tapi tak jalan,” ujar Direktur Jenderal Pemerintahan Umum (Dirjen PUM) Kemendagri, I Made Suwandi, dalam sebuah diskusi di Cisarua, Bogor, belum lama ini.

Made mengatakan hal tersebut dalam kapasitasnya sebagai Ketua Tim Perumus Revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, yang saat ini sudah mulai dibahas pemerintah bersama DPR.

Karena MuO dimaksud tidak jalan, lanjut Made, maka pengaturannya akan dituangkan di dalam RUU revisi UU Pemda.

Birokrat bergelar doktor itu lantas menjelaskan rumusan di draf RUU. Jika ada indikasi korupsi yang ditemukan kejaksaan atau kepolisian, maka Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) akan turun tangan melakukan pemeriksaan.

Jenis temuan ada dua kategori. Pertama, jika BPKP menemukan memang ada indikasi korupsi, maka kasusnya dipersilakan kejaksaan atau kepolisian mengusutnya, hingga dibawa ke pengadilan.

“Kedua, jika BPKP menemukan bahwa itu hanya masalah kebijakan, maka masuk kategori pelanggaran administrasi atau diskresi. Kasusnya cukup ditangani kementerian dan jenis hukumannya adalah administrasi atau ganti rugi,” terang Made.

Made tidak mengomentari kasus Wali Kota Medan Rahudman Harahap, yang sudah berstatus sebagai terdakwa kasus dugaan korupsi dana peningkatan penghasilan aparat desa di Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan 2004-2005 senilai Rp 1,5 miliar, saat dia Sekda Kabupaten Tapanuli Selatan.

Dalam dokumen tinjauan akademis revisi UU 32 Tahun 2004, tertulis kalimat sebagai berikut; “Untuk menciptakan kepastian hukum bagi aparatur dalam mengelola kegiatan pemerintahan, perlu ada aturan yang jelas mengenai proses penegakan hukum terhadap pimpinan dan aparatur daerah ketika melaks anakan kebijakan publik yang menjadi kewenangannya. Pengaturan tersebut harus dapat mendorong adanya pemerintahan yang bersih, tetapi juga tidak menghalangi aparatur untuk mengembangkan inovasi dalam penyelenggaraan pemerin tahan daerah”.

Di dokumen itu juga tertulis: “Perlu ada pengaturan yang melindungi aparatur daerah yang mengambil kebijakan publik dari tindak pidana sepanjang tindakannya dil akukan untuk memenuhi kepentingan umum, tidak merugikan kepentingan negara, tidak untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, dan kelompok, dan bertentangan dengan hukum”.

Yang menarik adalah sikap Staf Ahli Mendagri Bidang Hukum, Politik, dan Hubungan Antarlembaga, Redonnyzar Moenek. Pria yang biasanya langsung mengeluarkan pernyataan tegas jika ada kepala daerah yang sudah menjadi terdakwa itu, kali ini memilih bungkam.

Rahudman sudah resmi terdakwa, apakah sudah siap dinonaktifkan? Saat koran ini mengajukan pertanyaan demikian, Reydonnyzar tidak mau menjawab.
“Saya harus tahu persis duduk persoalannya dulu. Hubungi saya sekitar setengah jam lagi,” ujar Donny, panggilan akrabnya.
Namun, ketika dihubungi lagi kemarin, Donny tidak mengangkat ponselnya. (sam)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/