26 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Bunuh Diri Bertentangan dengan Pancasila

Ignatius Ryan Tumiwa, yang meminta hak untuk 'bunuh diri' ke MK, ternyata lulusan S2 dari UI.
Ignatius Ryan Tumiwa, yang meminta hak untuk ‘bunuh diri’ ke MK, ternyata lulusan S2 dari UI.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – – Ignatius Ryan Tumiwa memohon Mahkamah Konstitusi (MK) melegalkan bunuh diri atas permintaan sendiri (euthanasia) dengan menghapus Pasal 344 KUHP. Di negara asal KUHP, Belanda telah menghapus pasal tersebut. Bagaimana di Indonesia?

“Kalau bertentangan dengan Pancasila ya tidak dipakai lagi. Kita tidak lagi mengacu ke Belanda. Kita sudah berubah. Secara filsafat kan bertentangan dengan Pancasila. Hidup itu anugerah Tuhan,” kata ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Dr Mudzakir, Selasa (5/8).

Mudzakir mengatakan apa yang diinginkan Ryan itu bertentangan dengan ideologi Pancasila terutama sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Sebagai orang beragama Ryan dianggap sudah tak percaya akan takdir Tuhan jika tetap menginginkan legalisasi bunuh diri.

“Hidup itu bukan hak milik, kecuali ada putusan pengadilan yang memerintahkan dihukum mati. Orang yang membantu dia untuk meninggal bisa dijerat pidana,” tuturnya.

Pada tahun 2000, parlemen Belanda menyetujui usulan legalisasi kegiatan dokter-dokter Belanda untuk membantu pasien-pasien penderita penyakit parah yang memilih untuk mengakhiri hidupnya. Dalam kasus itu, lower house parlemen Belanda melakukan pemungutan suara (voting) dengan hasil 104 suara mendukung Euthanasia sedangkan 40 suara menolak memberlakukan UU legalisasi euthanasia.

Atas voting itu, pada 10 April 2001 Belanda mengeluarkan UU yang mengizinkan euthanasia. UU ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002. Alhasil Belanda pun menjadi negara pertama yang melegalkan euthanasia.

Di Amerika Serikat, hanya satu negara bagian dari 50 negara bagian yang menyetujui euthanasia yaitu Oregeon. Di Australia, Northern Territory sempat memberlakukan euthanasia pada 1995. Tapi baru berumur 2 tahun, aturan itu langsung dihapus oleh Senat Australia.

Menyusul Belanda, Belgia menjadi negara kedua yang melegalkan euthansia. Pendukung UU tersebut, senator Philippe Mahoux menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.

 

YLBHI PREDIKSI KANDAS

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memperkirakan gugatan Ryan tersebut ditolak. “Saya tidak bisa mendahului, tapi dugaan saya bisa ditolak dan bisa saja tidak diterima karena kekurangan syarat administrasi,” kata Ketua YLBHI Alvon Kurnia Palma, dalam pesan singkat yang diterima detikcom, Selasa (5/8).

Ryan ingin MK membatalkan pasal tersebut agar ia bisa bunuh diri secara legal dengan cara disuntik mati. Ia sendiri mengaku telah putus asa untuk menjalani hidup karena tak kunjung mendapat pekerjaan.

“Ini bukan masalah hak atas hidup, melainkan penerapan hak untuk menentukan hidup sendiri atau self determination. Jika ini dibenturkan dengan konstitusi kita, menurut saya tidak diatur soal right to self determination dalam konstitusi,” tutur Alvon.

“Indonesia mereservasi (tidak memberlakukan) pasal 1 ayat 1 Deklarasi Universal HAM (DUHAM) dan ICCPR (International Convention on Civil and Political Rights). Artinya konsep rights to self determination tidak dikenal dalam rezim konstitusi kita,” lanjutnya.

Ryan adalah peraih gelar master di bidang Administrasi Fiskal dari Universitas Indonesia (UI). Namun himpitan ekonomi karena tak kunjung mendapat pekerjaan membuatnya ingin mengakhiri hidup saja dengan suntik mati. Sayangnya niat Ryan terhambat karena KUHP melarang dokter atau orang lain melakukan hal itu.

Pasal 344 KUHP yang ingin dibatalkan Ryan berbunyi: Barang siapa yang menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, akan dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun. (bbs/in/bd)

Ignatius Ryan Tumiwa, yang meminta hak untuk 'bunuh diri' ke MK, ternyata lulusan S2 dari UI.
Ignatius Ryan Tumiwa, yang meminta hak untuk ‘bunuh diri’ ke MK, ternyata lulusan S2 dari UI.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – – Ignatius Ryan Tumiwa memohon Mahkamah Konstitusi (MK) melegalkan bunuh diri atas permintaan sendiri (euthanasia) dengan menghapus Pasal 344 KUHP. Di negara asal KUHP, Belanda telah menghapus pasal tersebut. Bagaimana di Indonesia?

“Kalau bertentangan dengan Pancasila ya tidak dipakai lagi. Kita tidak lagi mengacu ke Belanda. Kita sudah berubah. Secara filsafat kan bertentangan dengan Pancasila. Hidup itu anugerah Tuhan,” kata ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Dr Mudzakir, Selasa (5/8).

Mudzakir mengatakan apa yang diinginkan Ryan itu bertentangan dengan ideologi Pancasila terutama sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Sebagai orang beragama Ryan dianggap sudah tak percaya akan takdir Tuhan jika tetap menginginkan legalisasi bunuh diri.

“Hidup itu bukan hak milik, kecuali ada putusan pengadilan yang memerintahkan dihukum mati. Orang yang membantu dia untuk meninggal bisa dijerat pidana,” tuturnya.

Pada tahun 2000, parlemen Belanda menyetujui usulan legalisasi kegiatan dokter-dokter Belanda untuk membantu pasien-pasien penderita penyakit parah yang memilih untuk mengakhiri hidupnya. Dalam kasus itu, lower house parlemen Belanda melakukan pemungutan suara (voting) dengan hasil 104 suara mendukung Euthanasia sedangkan 40 suara menolak memberlakukan UU legalisasi euthanasia.

Atas voting itu, pada 10 April 2001 Belanda mengeluarkan UU yang mengizinkan euthanasia. UU ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002. Alhasil Belanda pun menjadi negara pertama yang melegalkan euthanasia.

Di Amerika Serikat, hanya satu negara bagian dari 50 negara bagian yang menyetujui euthanasia yaitu Oregeon. Di Australia, Northern Territory sempat memberlakukan euthanasia pada 1995. Tapi baru berumur 2 tahun, aturan itu langsung dihapus oleh Senat Australia.

Menyusul Belanda, Belgia menjadi negara kedua yang melegalkan euthansia. Pendukung UU tersebut, senator Philippe Mahoux menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.

 

YLBHI PREDIKSI KANDAS

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memperkirakan gugatan Ryan tersebut ditolak. “Saya tidak bisa mendahului, tapi dugaan saya bisa ditolak dan bisa saja tidak diterima karena kekurangan syarat administrasi,” kata Ketua YLBHI Alvon Kurnia Palma, dalam pesan singkat yang diterima detikcom, Selasa (5/8).

Ryan ingin MK membatalkan pasal tersebut agar ia bisa bunuh diri secara legal dengan cara disuntik mati. Ia sendiri mengaku telah putus asa untuk menjalani hidup karena tak kunjung mendapat pekerjaan.

“Ini bukan masalah hak atas hidup, melainkan penerapan hak untuk menentukan hidup sendiri atau self determination. Jika ini dibenturkan dengan konstitusi kita, menurut saya tidak diatur soal right to self determination dalam konstitusi,” tutur Alvon.

“Indonesia mereservasi (tidak memberlakukan) pasal 1 ayat 1 Deklarasi Universal HAM (DUHAM) dan ICCPR (International Convention on Civil and Political Rights). Artinya konsep rights to self determination tidak dikenal dalam rezim konstitusi kita,” lanjutnya.

Ryan adalah peraih gelar master di bidang Administrasi Fiskal dari Universitas Indonesia (UI). Namun himpitan ekonomi karena tak kunjung mendapat pekerjaan membuatnya ingin mengakhiri hidup saja dengan suntik mati. Sayangnya niat Ryan terhambat karena KUHP melarang dokter atau orang lain melakukan hal itu.

Pasal 344 KUHP yang ingin dibatalkan Ryan berbunyi: Barang siapa yang menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, akan dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun. (bbs/in/bd)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/