SUMUTPOS.CO – Pemerintah memastikan pemberian tambahan kuota BBM bersubsidi. Hal itu penting mengingat kuota BBM bersubsidi (pertalite dan solar subsidi) yang makin menipis karena volume konsumsi yang terus melonjak.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memastikan tambahan kuota itu. “Jadi kuota pertalite dari 23 juta kl sudah kita naikkan menjadi 29 juta kl,” ujarnya pada acara Energy Corner CNBC Tv, kemarin (5/9).
Suahasil menuturkan, tambahan kuota itu juga berlaku untuk solar. Dari kuota tahun ini yang mencapai 14,9 juta kl akan ditambah menjadi 17,4 juta kl. Seperti diketahui, penambahan kuota BBM bersubsidi itu memang diperlukan. Sebab, naiknya konsumsi BBM membuat kuota makin menipis dan diperkirakan akan habis pada Oktober. Hingga saat ini, kuota pertalite hanya tersisa 3,55 juta kl dan solar hanya tinggal 3,5 juta kl.
Dengan adanya kepastian tambahan kuota BBM bersubsidi itu, dia mengimbau masyarakat tak perlu khawatir. Sebab, baik pemerintah maupun PT Pertamina tetap menjamin stok dan distribusi BBM bersubsidi terjaga di tengah volume konsumsi yang terus naik. “Yang penting, kita pastikan masyarakat bisa membeli di seluruh SPBU, ada ketersediaan akses, Pertamina juga memastikan barang tetap ada dan tersedia. Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu khawatir dengan volume yang disediakan,” tutur Suahasil.
Mantan kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu itu menyebut, pemerintah akan melakukan diskusi internal. Pihaknya juga akan tetap berkomunikasi dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR terkait kebijakan itu. Sejatinya, Suahasil menyebut, adanya konsumsi BBM yang meningkat itu merupakan cerminan aktivitas masyarakat yang kini makin bergeliat. Hal itu berarti sentimen positif pada ekonomi yang terus bergerak. Meski, ada konsekuensi pada makin menipisnya kuota BBM bersidi.
Sejalan dengan itu, Suahasil menggarisbawahi anggaran subsidi dan kompensasi energi tahun ini yang mencapai Rp 502,4 triliun sudah membengkak. Meski harga BBM bersubsidi sudah dinaikkan sekalipun, pembengkakan tetap terjadi. “Dengan kenaikan harga pertalite dan solar kemarin, kita perkirakan (anggaran subsidi dan kompensasi) tidak jadi Rp 698 triliun, tetapi kita estimasi sekitar Rp 650 triliun. Jadi, subsidinya masih besar sekali, masih Rp 650 triliun, meskipun kita sudah melakukan peningkatan harga Pertalite dan Solar,” urai dia. Perkiraan subsidi yang sebesar Rp650 triliun tersebut dihitung berdasarkan kuota pertalite dan solar yang baru. Yakni pertalite mencapai 29 juta kl dan solar mencapai 17,4 juta kl.
Terkait dengan inflasi, Wamenkeu mengatakan, kenaikan harga BBM akan mendorong inflasi bulan September dan Oktober. Tetapi, secara month to month (bulan ke bulan), Wamenkeu berharap di bulan November sudah sudah kembali ke pola normal. “Jadi biasanya inflasi yang seperti ini cepat dalam 1 hingga 2 bulan naik kemudian bulan ke-3 dia mulai normalisasi. Nah itu nanti akan kita perhatikan terus bagaimana sampai dengan akhir tahun. Tapi gak papa, dengan peningkatan harga itu malah memberikan insentif kepada produsen untuk melihat bahwa kita bisa melakukan proses produksi lebih kuat lagi,” lanjutnya.
Dikonformasi terkait tambahan kuota BBM bersubsidi, Pertamina belum banyak berkomentar. “Kami menunggu arahan regulator,” ujar Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting kepada Jawa Pos, kemarin.
Penambahan kuota BBM bersubsidi ini sayangnya berbanding terbalik dengan bantuan subsidi upah (BSU). Bantuan yang jadi kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi ini batal disalurkan pada 16 juta calon penerima. Dalam rapat koordinasi tim pengendali inflasi daerah (TPID) kemarin (5/9), Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan, estimasi penerima BSU sebanyak 14.639.675 penerima. Artinya, ada sekitar 1.360.325 kuota yang batal terisi.
Dia menjelaskan, jumlah 14.639.675 tersebut diperoleh usai dilakukan pemadanan data antara BPJS Ketenagakerjaan dengan data milik aparatur sipil negara (ASN), TNI, Polri, dan data penerima bansos program keluarga harapan (PKH), penerima program kartu pra kerja, hingga bantuan presiden produktif usaha mikro (BPUM) pada tahun berjalan. “Jumlah penerima eligible sebelum dipadankan memang 16 juta orang, setelah dipadankan (ada penerima, red) bansos PKH, BPUM, pra kerja ada 1,1 juta orang, ASN 22 ribu orang. Jadi total 14.639.675,” paparnya.
Ida menjabarkan, ada sejumlah syarat yang ditetapkan terkait pekerja yang berhak menerima BSU kali ini. Yakni, warga negara Indonesia (WNI) yang dibuktikan dengan kepemilikan nomor induk kependudukan (NIK); peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan sampai Juli 2022; bukan ASN, TNI, Polri, dan diprioritaskan untuk mereka yang bukan penerima PKH, pra kerja, BPUM; dan gaji atau upah sebesar Rp 3,5 juta per bulan atau senilai upah minimum (UM) provinsi/kabupaten/kota.
“Dengan demikian, pekerja di wilayah yang memiliki upah minimum di atas Rp 3,5 juta berhak menerima BSU,” ungkap Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini. Dia mencontohkan untuk wilayah DKI Jakarta yang memiliki UMP Rp 4,7 juta. Maka pekerja di DKI yang mendapat gaji dengan besaran tersebut dan peserta aktif di BPJS Ketenagakerjaan berhak menerima bansos senilai Rp 600 ribu ini.
Jika dicermati, ada sedikit perubahan terkait syarat besaran gaji ini. Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani hanya menyebut, penerima BSU merupakan pekerja dengan gaji maksimal Rp 3,5 juta. Sayangnya, dalam rakor tersebut, Menaker tidak memaparkan alasan perubahan ketentuan soal gaji ini.
Berkurangnya jumlah penerima turut berpengaruh pada besaran anggaran yang ditetapkan. Setelah dilakukan perhitungan, anggaran yang diperlukan sekitar Rp 8,805 triliun. Turun dari sebelumnya Rp 9,6 triliun. “Sore ini (kemarin, red) kami akan menyelesaikan juknisnya. Kemudian, besok (hari ini, red) kami akan selesaikan perjanjian kerja bersama dengan bank penyalur dan Pos Indonesia,” tandasnya.
Berbeda dengan BSU, BLT BBM sudah mulai disalurkan sejak akhir pekan lalu. Menteri Sosial Tri Rismaharini menyampaikan, penyaluran BLT telah dimulai Sabtu (3/9) di 34 provinsi. “Mungkin belum sepenuhnya di daerah, tapi sejak Sabtu sudah disalurkan melalui PT Pos,” ujarnya.
Dampak kenaikan BBM merambah pada sektor transportasi. Yakni, tarif angkutan umum diprediksi akan naik. Anggota Komisi V DPR RI Sigit Sosiantomo meminta Kementerian Perhubungan mempertimbangkan kemampuan masyarakat sebelum menetapkan kenaikan tarif angkutan umum. Sigit juga meminta pemerintah meningkatkan subsidi angkutan umum sebagai bentuk pelayanan publik. “Kenaikan tarif angkutan umum khususnya angkutan darat tidak bisa dihindari karena kenaikan harga BBM,” ujarnya kemarin. Menurut Sigit, pemerintah harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat sebelum menyetujui berapa besaran kenaikan tarif angkutan umum.
Politisi PKS ini meminta pemerintah untuk menambah subsidi untuk angkutan umum dan angkutan barang sebagai bentuk pelayanan publik. “Untuk angkutan umum pemerintah wajib menambah alokasi subsidi sebagai bentuk pelayanan publik,” tuturnya.
Terpisah, Penolakan terhadap kenaikan harga BBM terus disuarakan konfederasi dan partai buruh. Hari ini (6/9), mereka bakal menggelar aksi penolakan yang digelar serentak di 34 provinsi di Indonesia. Presiden KSPI yang juga Presiden Partai Buruh, Said Iqbal mengatakan, pihaknya sudah mengorganisir berbagai organisasi. Mulai dari organisasi serikat buruh, petani, nelayan, guru honorer, PRT, buruh migran, miskin kota, hingga organisasi perempuan di 34 provinsi. Semuanya sepakat untuk turun ke jalan. “Aksi serentak akan dilakukan di kantor gubernur,” ujar Said Iqbal kemarin.
Dari kalkulasinya, ada ribuan buruh bersama elemen terkait yang akan turun ke jalan. Said mengatakan, kantor gubernur dipilih sebagai representasi pemimpin di wilayah. Nantinya, pihaknya akan meminta kepala daerah di seluruh Indonesia menyampaikan protes kepada pemerintah pusat. “Tujuannya meminta gubernur membuat surat rekomendasi kepada presiden dan pimpinan DPR agar membatalkan kenaikan BBM,” imbuhnya.
Khusus kawasan Jakarta Bogor Depok Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek), aksi akan dipusatkan di gedung DPR RI. Pihaknya akan meminta DPR membentuk Panitia Kerja (panja) atau Panitia Khusus (P)ansus BBM agar polemik harga BBM bisa diusut dan diturunkan.
Said mengatakan, kebijakan kenaikan BBM yang dilakukan saat ini tidak tepat. Sebab, akan menurunkan daya beli kelas pekerja yang saat ini sudah tertekan akibat inflasi. Padahal, di sisi lain, upah buruh tidak mengalami kenaikan yang signifikan dalam tiga tahun terakhir. “Harga kebutuhan pokok akan semakin meroket,” kata Said.
Said juga menambahkan, bantuan subsidi upah sebesar 150 ribu rupah kepada kelas pekerja tidak sebanding dengan peningkatan kebutuhan akibat inflasi. Sebaliknya, buruh terancam PHK akibat kenaikan BBM berpotensi menaikkan ongkos produksi. (dee/far/mia/wan/syn/lyn/jpg)