SUMUTPOS.CO- Sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyalahkan Menteri Keuangan terkait uang muka (Down Payment) mobil pejabat adalah bentuk lempar tanggung jawab. Hal itu juga merupakan bentuk tidak bertanggung jawabnya presiden dalam mengeluarkan kebijakan.
“Tentu hal ini tidak bisa ditolerir lagi,” ungkap peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat-UGM), Fariz Fachryan, Senin (6/4).
Peneliti dari almamater Jokowi tersebut pun mengatakan sebagai kepala pemerintahan, Jokowi harusnya memahami kebijakan yang dikeluarkannya. Terlebih, segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan akan berdampak besar pada masyarakat. Artinya, menurut Fariz, Jokowi telah mennunjukkan keteledorannya kepada Indonesia. “Kami menyayangkan Jokowi yang lempar tanggung jawab terkait penerbitan Perpres 39 Tahun 2015,” terang dia.
Seperti diberitakan, Jokowi buru-buru menyalahkan para menteri terkait penerbitan Perpres 39/2015 tentang kenaikan tunjangan uang muka mobil pejabat tersebut. “Mestinya presiden jangan otomatis melempar tanggung jawab ke menteri-menteri Kabinet Kerja,” jelas pengamat politik, Hendri Satrio, dalam pesan singkat kepada RMOL (grup Sumut Pos).
Untuk tidak menduplikasi kesalahan, seharusnya presiden menelaah lebih jauh perjalanan keputusan politik ini. “Ada kementerian yang mengajukan dan ada kementerian yang bertugas mereview. Perlu juga diingat bahwa kebijakan DP mobil sudah dimulai sejak zaman SBY,” ungkapnya.
Inilah kali kedua Presiden Jokowi menyalahkan dan mempermalukan menterinya di hadapan publik. Sebelumnya, Jokowi juga mempermalukan Menteri Perdagangan Rahmat Gobel yang dianggap tidak memberi laporan harga beras setelah dilakukannya operasi pasar.
“Berbahaya apabila seorang presiden asal teken Perpres, sebab secara ketatanegaraan kewenangan presiden itu sangat besar. Dia memegang kekuasaan pemerintahan negara dan Perpres itu merupakan salah satu instrumen hukum yang secara eksklusif hanya dapat diterbitkan oleh presiden dalam melaksanakan kewenangannya tersebut,” tambah pengamat hukum tata negara dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) M Imam Nasef, kemarin.
Dia pun tak membayangkan, apa jadinya kalau Presiden Jokowi sembarangan meneken sebuah perpres. “Bisa rusak republik ini, celah abuse of power terbuka lebar di situ. Oleh karenanya, presiden harus mencermati betul substansi sebuah draft Perpres sebelum menekennya,” tegasnya.
Menurutnya, dalam proses penerbitan Perpres tentang kenaikan fasilitas DP mobil bagi pejabat negara, terbukti Presiden Jokowi sama sekali tidak cermat. “Bagaimana mungkin suatu perpres yang substansinya tidak diinginkan presiden bisa terbit?” sambung Nasef.
Mendagri Ikut Salahkan Menteri
Menariknya, selain Jokowi, Mendagri Tjahjo Kumolo juga ikut berkomentar mengenai Perpres DP Mobil tersebut. Mantan Sekjen PDIP itu ikut-ikutan menyalahkan koleganya sesama menteri atas lolosnya Perpres tersebut. “Para menteri harusnya yang bertanggungjawab terkait keluarnya Keppres (Perpres) tunjangan dana kendaraan dinas pejabat negara,” ujar Tjahjo lewat pernyataan tertulis kemarin.
Menurut dia, para menterilah yang lebih paham kondisi sosial politik dalam negeri, kaitannya dengan momentum dikeluarkannya Perpres itu. Apakah waktunya sudah tepat, atau sudah mendesak, para menterilah yang paling paham. Sehingga, saat menyampaikan materi ke presiden sudah clear dari berbagai aspek. “Presiden kan sibuk, banyak masalah yang beliau hadapi,” ucap Politikus PDIP itu.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) pun mengatakan, koordinasi antara kementerian dan kantor presiden terkait peraturan perundangan akan dievaluasi. “Semua sistemnya harus diperbaiki,” ujarnya di Makassar kemarin (6/4).
Sebelumnya, Presiden Jokowi sempat menyebut, proses screening mestinya sudah dilakukan oleh Kementerian Keuangan selaku bendahara negara saat menerima surat usulan dari DPR yang meminta kenaikan uang muka mobil pejabat. Sehingga, saat draft aturan sampai ke meja presiden, sudah ada kajian mendalam terkait dampak sebuah kebijakan.
Menurut JK, seharusnya memang ada prosedur standar dalam mekanisme administrasi peraturan perundangan, mulai dari pembahasan draft di kementerian terkait hingga masuk dan dievaluasi di Kantor Presiden. “Nanti kita buat prosedur yang baik,” katanya.
Namun Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto menyatakan kalau secara prosedur, tidak ada yang dilewati dalam tahapan keluarnya perpres. Dia membeber, bahwa setelah datang surat dari DPR ke presiden lewat seskab, institusi yang dipimpinnya kemudian meneruskannya ke kementerian keuangan. “Lalu, balik lagi ke seskab dan presiden, itu total prosesnya dari 5 Januari sapai 20 Maret (2015),” ujar Andi.
Menurut dia, pembatalan perpres dp mobil pejabat itu murni kesadaran presiden. Yaitu, ketika presiden melihat perdebatan di masyarakat. “Tapi, kalau dari prosedur pembuatan perpresnya tidak (ada yang salah) ya, segala sesuatu dilakukan dengan tata peraturan pembuatan kebijakan,” imbuhnya.
Ya kemarin, sesuai perintah Jokowi, perpres itu akhirnya dicabut. Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan tidak ada yang salah dalam Perpres nomor 39 Tahun 2015 tentang pemberian Uang Muka Kendaraan Pejabat. Hanya, sudah tidak sesuai dengan konteks saat ini. “Presiden perintahkan supaya dicabut,” ujar Pratikno usai rapat konsultasi dengan DPR kemarin.
Dia menjelaskan, proses perumusan Perpres tersebut sudah melalui tahapan yang panjang. Mulai dari pengajuan surat oleh DPR pada 5 Januari, disusul pemrosesan di kementerian keuangan, hingga akhirnya masuk ke dalam APBNP. Prosesnya sudah sesuai mekanisme yang ada, dan anggarannya pun telah dialokasikan.
Rupanya, lanjut Pratikno, dalam jangka waktu tiga bulan setelah pengajuan itu terjadi dinamika di bidang perekonomian. “Sehingga membuat teks yang dirumuskan awal itu tidak sesuai lagi dengan konteks dinamika yang sedang berjalan,” tutur mantan Rektor Universitas Gadjah Mada Jogjakarta itu. Ada situasi ekonomi di masyarakat yang harus dipertimbangkan dalam mengimplementasikan Perpres tersebut.
Disinggung mengenai penyebab dinamika ekonomi itu, Pratikno sempat gelagapan. Kemudian, dia hanya menyebutkan ada beberapa persoalan. “Terutama tekanan ekononomi global,” ucapnya. Yang jelas, perpres itu akan dicabut dalam waktu dekat. “Menunggu adanya Perpres tentang itu (pencabutan Perpres),” tambahnya.
Insiden terlewatnya Perpres No. 39/2015 membuat prihatin kalangan PDIP sebagai partai pengusung utama pemerintah. Politisi PDIP Falah Amru menegaskan, kalau peristiwa tersebut telah menciptakan kesan yang tidak baik pada pemerintah. “Terus terang, kami sangat menyayangkannya. Kalau sudah seperti ini, kasihan Pak Presiden,” kata Falah.
Atas hal tersebut, ketua Bamusi (Baitul Muslimin Indonesia) PDIP itu meminta agar pembantu presiden di kabinet, bisa berperan optimal menjaga presiden. Khususnya, dia menunjuk, Seskab Andi Widjajanto yang seharusnya bisa memberikan advice yang lebih baik ke presiden sebelum perpres ditandatangani.
“Tapi bagaimanapun tetap harus ada yang bertanggungjawab, karena dampak dari perpres (DP mobil pejabat) sudah terlanjur memberi efek besar di publik,” sesal anggota DPR dari PDIP itu, tanpa merinci lebih lanjut.
Pembatalan Peraturan Presiden yang memicu kontroversi juga pernah dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ketika itu, pada 30 Desember 2013, SBY membatalkan dua Perpres sekaligus, yakni Perpres 105/2013 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Menteri dan Pejabat
Tertentu, serta Perpres 106/2013 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota DPR, DPD, BPK, Komisi Yudisial, Hakim Mahkamah Konstitusi, dan Hakim Agung Mahkamah Agung. Padahal, dua Perpres tersebut baru diteken SBY pada 16 Desember 2013 atau dua minggu sebelumnya. (bbs/jpnn/rbb)