JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah bakal menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Langkah itu diambil untuk meredam defisit BPJS yang kian parah. Defisit BPJS bahkan diprediksi akan naik hingga Rp29 triliun.
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko memastikan BPJS Kesehatan akan naik di semua kelas. Langkah ini diambil untuk menyelamatkan BPJS dari defisit yang terus naik.
“Semua kelas (akan naik). Karena antara jumlah urunan dengan beban yang dihadapi oleh BPJS tidak seimbang, sangat jauh,” kata Moeldoko saat ditemui di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (6/8).
Moeldoko mengatakan, Kantor Staf Presiden selama ini kerap menerima persoalan-persoalan mengenai BPJS Kesehatann
Karena itu, ia merasa kenaikan ini adalah hal yang sangat wajar. Tahun ini, BPJS Kesehatan memang diprediksi akan mengalami defisit hingga Rp29 triliun.
Selain sebagai langkah penyelamatan BPJS Kesehatan, Moeldoko juga menyebut kenaikan ini juga perlu, agar masyarakat sadar bahwa untuk sehat itu perlu biaya yang mahal. “Saya tak ingin ada istilah kesehatan itu murah. Sehat itu mahal. Kalau sehat itu murah, orang nanti menyerahkan ke BPJS. Mati nanti BPJS,” ujar Moeldoko.
Meski begitu, purnawirawan TNI itu mengaku belum tahu seberapa besar kenaikan iuran yang ditetapkan pemerintah. Ia menyebut, hal itu akan dirapatkan di Kementerian Keuangan dengan melibatkan seluruh pihak terkait.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani pun mengamini kalau pemerintah saat ini masih mematangkan formula kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini. “Formulasi masih kita matangkan agar tidak membebani masyarakat dan tidak membebani APBN,” ungkap Puan Maharani di Kompleks Istana Kepresidenan, kemarin.
Menurut Puan, peserta BPJS Kesehatan akan dilihat secara keseluruhan, termasuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang ditanggung oleh pemerintah. Jumlah peserta PBI yang menjadi tanggungan pemerintah mencapai angka 96,8 juta orang. “Akan kita cari argumentasinya yang sesuai tanpa memberatkan masyarakat khususnya untuk PBI. Tentu saja itu masih jadi tanggungan pemerintah. Jadi bukan berarti kenaikan itu tidak jadi tanggungan pemerintah,” ujar Puan.
Puan menyatakan, BPJS Kesehatan juga perlu berbenah. Menyusul hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang harus diselesaikan BPJS Kesehatan. “Tentu saja akan kita review seusai dengan hal yang menjadi review BPKP,” imbuh Puan.
Diketahui, pada akhir Juli 2019 lalu, Presiden Joko Widodo telah menggelar rapat terkait nasib BPJS Kesehatan. Lembaga itu diprediksi akan mengalami defisit hingga Rp29 triliun di tahun ini. Jika tak dicari solusinya, defisit diperkirakan akan semakin membengkak di tahun-tahun berikutnya.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebutkan, ada tiga strategi yang akan dilakukan pemerintah untuk membantu BPJS Kesehatan keluar dari jerat defisit. Pertama, pemerintah dengan menaikkan besaran premi yang harus dibayarkan oleh peserta jaminan. “Berapa naiknya itu akan dibahas oleh tim teknis. Masyarakat seharusnya menyadari bahwa iurannya itu (sekarang) rendah, sekitar Rp23 ribu. Itu tidak sanggup sistem kita,” kata JK di Kantor Wapres Jakarta.
Strategi kedua, BPJS Kesehatan memperbaiki manajemen dengan menerapkan sistem kendali di internal institusi tersebut. Adapun strategi ketiga, pemerintah akan kembali menyerahkan wewenang jaminan sosial kesehatan tersebut ke masing-masing pemerintah daerah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya juga meminta untuk memperbaiki sistemnya secara keseluruhan di antaranya untuk mengantisipasi adanya fraud atau kecurangan. “Kemarin ada indikasi kemungkinan terjadi fraud, itu perlu di-address,” ujar Sri Mulyani.
Penonaktifan Peserta PBI Jangan Tumpang Tindih
Sementara terkait penonaktifan 256.107 peserta BPJS Kesehatan kategori PBI di Sumut oleh Kementerian Sosial pada 1 Agustus 2019 lalu, hingga kini Dinas Sosial (Dinsos) Sumut belum menerima data tersebut. “Sumber data PBI itu sumbernya dari PKH (Program Keluarga Harapan). Makanya Kementerian Sosial yang mengeluarkan. Itu dari APBN semua anggarannya. Tapi kalau dari APBD provinsi, biasanya dari Dinas Kesehatan. Tapi sejauh ini kami belum menerima data itu dari Kemensos,” kata Sekretaris Dinsos Sumut, Barita Sihite menjawab Sumut Pos, Selasa (6/8).
Dia menyarankan, guna mengkroscek data penonaktifan 256.107 orang peserta BPJS Kesehatan dengan kategori PBI yang berasal dari Sumut, agar menanyakan ke kepala bidang terkait di Dinsos Sumut. “Langsung saja ke kantor, jumpai Marmin Milala, dia Kabid teknis yang menangani PKH ini. Tanya saja sama dia biar clear datanya ini, biar tahu juga masyarakat,” katanya.
Anggota Komisi E DPRD Sumut, Zulfikar menegaskan, secara umum pihaknya sepakat Kemensos melakukan validasi data tersebut sepanjang data yang divalidasi benar-benar sesuai dengan fakta di lapangan. “Jangan sampai terjadi data yang divalidasi ternyata menimbulkan masalah. Contohnya kalau yang divalidasi status orangnya memang benar-benar berubah dari miskin ke kaya, kita sepakat untuk itu. Tapi kalau ternyata orangnya tetap miskin juga, ini yang jadi masalah,” katanya.
Menurut Ketua Fraksi PKS DPRD Sumut ini, validasi data itu seharusnya dilakukan terkait dengan yang sudah meninggal, tumpang tindih, dan perubahan status ekonomi. Karenanya Kemensos sebut dia, perlu menerangkan alasan validasi data PBI BPJS Kesehatan ini dilakukan. “Jangan sampai masyarakat yang ternyata membutuhkan program itu malah tidak dapat, sedangkan yang tidak membutuhkan justru diakomodir. Ini yang tidak boleh terjadi,” pungkasnya. (bbs/prn)