25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Jokowi ‘Ditinggal’ PDIP

Foto Kombinasi Presiden RI, Joko Widodo, dan politisi PDIP, Effendi Simbolon.
Foto Kombinasi
Presiden RI, Joko Widodo, dan politisi PDIP, Effendi Simbolon.

SUMUTPOS.CO – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai memberikan sinyal untuk menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Jokowi menyatakan siap tidak populer dalam mengambil kebijakan saat menyinggung subsidi BBM bersubsidi yang membebankan anggaran.

“Ada yang bilang nanti tidak populer, saya jadi pemimpin bukan untuk populer kok. Itu tanggungjawab pemimpin, kebijakan pasti ada resikonya,” kata Jokowi saat berpidato dalam Musnas Kegiatan Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) di Kendari, Kamis (6/11).

Jokowi kemudian menjabarkan subsidi BBM yang mencapai Rp714 triliun selama lima tahun terakhir. Jokowi membandingkan anggaran untuk kesehatan dan infrastruktur.

“Anggaran kesehatan Rp202 triliun dan infrastruktur sebesar Rp577 triliun, ini masih kalah dari BBM bersubsidi,” kata Jokowi.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu khawatir dengan APBN 2015 yang hanya sekitar Rp2.019 triliun tidak akan cukup untuk membawa perubahan apabila subsidi BBM tidak dialihkan ke sektor produktif. Jokowi menyebut apabila tak ada perubahan, maka lebih dari setengah uang negara justru habis untuk BBM dan membayar utang luar negeri beserta bunganya.

Ditemui kembali usai acara, Jokowi berkelit saat ditanyakan apakah pidatonya itu merupakan sinyalemen menaikkan harga BBM bersubsidi.

“Saya bilang mengalihkan subsidi BBM. Soal itu (kenaikan harga BBM), masih kita hitung menunggu kalkulasi matang dan kartu perlindungan sosial terdistribusi lancar,” katanya.

Dalam pekan ini, tercatat ada tiga politisi PDIP yakni, Effendi Simbolon, Maruarar Sirait, dan Rieke Diah Pitaloka yang secara keras menyatakan penolakannya atas rencana pencabutan subsidi BBM oleh pemerintah. Mereka menyatakan masih ada alternatif yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk menutupi defisit keuangan negara.

Salah satu anggota DPR Fraksi PDIP yang paling getol menolak rencana kenaikan harga BBM bersubsidi adalah Effendi Simbolon.

Menurut mantan calon Gubsu itu, butuh alasan lebih dan strategi kebijakan manajemen energi yang pas sebelum berniat menaikkannya. Untuk itu, Effendi meminta Presiden Joko Widodo dan menteri-menteri yang mengurusi kebijakan BBM agar transparan terhadap di balik rencana kenaikan BBM ini.

“Mari transparan. Siapa yang berkepentingan di balik (kenaikan BBM) ini,” katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (6/11).

Effendi mengatakan, rencana kenaikan BBM ini menjadi bias antara memangkas APBN untuk dialihfungsikan kepada kebijakan lain yang menyentuh masyarakat atau liberalirasi harga minyak.

“Apakah kalau BBM tidak dinaikkan tidak melaksanakan program kesejahteraan rakyat? Kan tidak ada hubungannya,” imbuhnya.

Effendi menilai, kalau BBM dinaikkan seperti yang direncanakan yakni Rp3.000 justru akan menjadikan harga BBM premium setara dengan harga-harga yang ditawarkan oleh perusahan asing lain seperti Shell dan Total.

“Kalau naik, semua SPBU asing yang tidur jadi bangun semua. Kayak raksasa, ditelan kita semua ini kalau sama harganya,” imbuhnya.

Kalau tidak ada kebijakan konkret dari pemerintah soal migas seperti pembubaran Petral, penyesuaian oktan untuk kendaraan dan pemberantasan mafia migas, Effendi berkukuh menolak kenaikan BBM.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menganggap wajar jika ada perbedaan pandangan di antara politikus PDIP mengenai rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Menurut JK, meski ada politikusnya yang menolak, sikap PDIP jelas mendukung rencana tersebut.

“Kan di kabinet ada Puan, ada siapa lagi yang juga selalu rapat. Pada prinsipnya dukung. Tentunya dalam alam demokrasi berhak memberikan pandangan walaupun bertentangan dengan kebijakan partai,” kata JK, di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Kamis (6/11).

Ia berpendapat, adanya penolakan dari politikus PDIP mengenai rencana kenaikan harga BBM bersubsidi bukan berarti dukungan PDI-P terpecah.

“Saya kira tidak pecah. Bahwa ada pandangan bersifat pribadi di negara demokrasi biasa-biasa saja,” kata dia.

JK juga menganggap penolakan sebagian kalangan atas rencana kenaikan harga BBM bersubsidi merupakan tantangan bagi pemerintahan yang baru. Setiap perubahan, menurut dia, pasti mengundang pro dan kontra.

Terkait sikap PDIP yang melakukan penolakan keras atas sikap pemerintah terhadap kenaikan BBM, Wasekjen PDIP Ahmad Basarah menyatakan, tidak ada yang salah dengan sikap rekan-rekan satu partainya itu. Pasalnya, saat ini partai belum menentukan sikap terkait kenaikan BBM.

“Sepanjang belum ada keputusan resmi partai terhadap segala kebijakan pemerintah maka mengemukakan pendapat sebagai anggota DPR masih dapat dibenarkan,” kata Basarah, kemarin.

Tapi, lanjut Basarah, jika partai sudah mengeluarkan keputusan maka seluruh kader wajib mematuhi. Termasuk jika partai memutuskan mendukung kenaikan harga BBM. “Serta akan mendapatkan sanksi bagi yang melanggarnya,” tegasnya.

Lebih lanjut Basarah menyampaikan, PDIP masih menunggu penjelasan lengkap pemerintah terkait kebijakan tersebut. Jika alasan pemerintah bisa diterima, maka sewajarnya PDIP sebagai partai pemerintah memberi dukungan.

“Kami mendukung pemerintah bukan dengan menjadi lembaga stempel. Kami akan mendukung sepanjang substansi kebijakannya untuk peningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemakmuran negeri. Termasuk terkait rencana mencabut subsidi BBM,” papar Ketua Fraksi PDIP di MPR ini.

Peneliti Divisi Kajian Hukum Tatanegara SIGMA. M Imam Nasef, menjelaskan, ada tiga kemungkinan yang menyebabkan perpecahan di internal PDIP akibat rencana menaikkan harga BBM tersebut.

“Pertama, mungkin saja sebagian kader PDIP sadar betul bahwa kenaikan harga BBM akan lebih membenani rakyat dan itu tidak sejalan dengan amanat konstitusi Pasal 33 Ayat (3) yang menyatakan bumi air dan kekayaan alam dikuasai negara untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat,” ungkap Nasef.

Kemungkinan selanjutnya, kata Nasef, bisa jadi perpecahan itu muncul sebagai cerminan dari sikap konsisten beberapa kader PDIP yang pada rezim sebelumnya menolak keras kenaikan harga BBM.

“Ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono dulu berencana menaikkan harga BBM, PDIP lah partai yang paling keras menentangnya,” tegasnya.

Kemudian, kemungkinan terakhir adanya perpecahan di internal PDIP karena bentuk kekecewaan sejumlah kader PDIP yang tidak mendapatkan ‘jatah’ di kabinet.

“Sejumlah nama kader PDIP sebelumnya digadang-gadang akan menduduki posisi kementerian di Kabinet Kerja Jokowi-JK. Akan tetapi realita berbicara lain, mungkin itu yang menjadikan sebagian kader kecewa yang berdampak pada mulai munculnya faksi di partai itu,” tuturnya.

Namun penolakan itu masih disangsikan oleh pengamat politik Ray Rangkuti. Dikatakan Ray, sebagai pemimpin gerbong Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tidak sewajarnya PDIP akan bersikap sebagai oposisi dari pemerintahan Jokowi ini.

“Saya kurang yakin mereka para politisi PDIP akan berbeda pendapat sampai rapat paripurna nanti,” kata Ray kepada JPNN (grup Sumut Pos), kemarin.

Menurut Ray, pernyataan yang dilontarkan oleh para politisi PDIP seperti Effendi Simbolon, Rieke Dyah Pitaloka, dan Maruar Sirait, lebih terkesan pendapat pribadi sebagai anggota dewan. Bahkan, ia pun tidak menafikan adanya rumor bahwa ucapan ketiga politisi itu akibat kekecewaannya karena tidak dipilih jadi menteri oleh Jokowi-JK.

“Mungkin ada unsur kekecewaan itu. Tapi juga karena memang PDIP belum mengumumkan sikap resmi. Jadi pendapat pribadi-pribadi masih dimungkinkan,” ujarnya.

Meski begitu, lanjut Ray, tidak sepantasnya jika sikap kritis ketiga kader PDIP ini karena dendam.

“Apalagi Maruarar yang dikenal sebagai pendukung tulus Jokowi, rasanya kurang pas mengambil sikap berbeda semata hanya karena sakit hati pada Jokowi yang tidak mengangkatnya sebagai menteri,” tukasnya. (bbs/val)

Foto Kombinasi Presiden RI, Joko Widodo, dan politisi PDIP, Effendi Simbolon.
Foto Kombinasi
Presiden RI, Joko Widodo, dan politisi PDIP, Effendi Simbolon.

SUMUTPOS.CO – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai memberikan sinyal untuk menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Jokowi menyatakan siap tidak populer dalam mengambil kebijakan saat menyinggung subsidi BBM bersubsidi yang membebankan anggaran.

“Ada yang bilang nanti tidak populer, saya jadi pemimpin bukan untuk populer kok. Itu tanggungjawab pemimpin, kebijakan pasti ada resikonya,” kata Jokowi saat berpidato dalam Musnas Kegiatan Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) di Kendari, Kamis (6/11).

Jokowi kemudian menjabarkan subsidi BBM yang mencapai Rp714 triliun selama lima tahun terakhir. Jokowi membandingkan anggaran untuk kesehatan dan infrastruktur.

“Anggaran kesehatan Rp202 triliun dan infrastruktur sebesar Rp577 triliun, ini masih kalah dari BBM bersubsidi,” kata Jokowi.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu khawatir dengan APBN 2015 yang hanya sekitar Rp2.019 triliun tidak akan cukup untuk membawa perubahan apabila subsidi BBM tidak dialihkan ke sektor produktif. Jokowi menyebut apabila tak ada perubahan, maka lebih dari setengah uang negara justru habis untuk BBM dan membayar utang luar negeri beserta bunganya.

Ditemui kembali usai acara, Jokowi berkelit saat ditanyakan apakah pidatonya itu merupakan sinyalemen menaikkan harga BBM bersubsidi.

“Saya bilang mengalihkan subsidi BBM. Soal itu (kenaikan harga BBM), masih kita hitung menunggu kalkulasi matang dan kartu perlindungan sosial terdistribusi lancar,” katanya.

Dalam pekan ini, tercatat ada tiga politisi PDIP yakni, Effendi Simbolon, Maruarar Sirait, dan Rieke Diah Pitaloka yang secara keras menyatakan penolakannya atas rencana pencabutan subsidi BBM oleh pemerintah. Mereka menyatakan masih ada alternatif yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk menutupi defisit keuangan negara.

Salah satu anggota DPR Fraksi PDIP yang paling getol menolak rencana kenaikan harga BBM bersubsidi adalah Effendi Simbolon.

Menurut mantan calon Gubsu itu, butuh alasan lebih dan strategi kebijakan manajemen energi yang pas sebelum berniat menaikkannya. Untuk itu, Effendi meminta Presiden Joko Widodo dan menteri-menteri yang mengurusi kebijakan BBM agar transparan terhadap di balik rencana kenaikan BBM ini.

“Mari transparan. Siapa yang berkepentingan di balik (kenaikan BBM) ini,” katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (6/11).

Effendi mengatakan, rencana kenaikan BBM ini menjadi bias antara memangkas APBN untuk dialihfungsikan kepada kebijakan lain yang menyentuh masyarakat atau liberalirasi harga minyak.

“Apakah kalau BBM tidak dinaikkan tidak melaksanakan program kesejahteraan rakyat? Kan tidak ada hubungannya,” imbuhnya.

Effendi menilai, kalau BBM dinaikkan seperti yang direncanakan yakni Rp3.000 justru akan menjadikan harga BBM premium setara dengan harga-harga yang ditawarkan oleh perusahan asing lain seperti Shell dan Total.

“Kalau naik, semua SPBU asing yang tidur jadi bangun semua. Kayak raksasa, ditelan kita semua ini kalau sama harganya,” imbuhnya.

Kalau tidak ada kebijakan konkret dari pemerintah soal migas seperti pembubaran Petral, penyesuaian oktan untuk kendaraan dan pemberantasan mafia migas, Effendi berkukuh menolak kenaikan BBM.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menganggap wajar jika ada perbedaan pandangan di antara politikus PDIP mengenai rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Menurut JK, meski ada politikusnya yang menolak, sikap PDIP jelas mendukung rencana tersebut.

“Kan di kabinet ada Puan, ada siapa lagi yang juga selalu rapat. Pada prinsipnya dukung. Tentunya dalam alam demokrasi berhak memberikan pandangan walaupun bertentangan dengan kebijakan partai,” kata JK, di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Kamis (6/11).

Ia berpendapat, adanya penolakan dari politikus PDIP mengenai rencana kenaikan harga BBM bersubsidi bukan berarti dukungan PDI-P terpecah.

“Saya kira tidak pecah. Bahwa ada pandangan bersifat pribadi di negara demokrasi biasa-biasa saja,” kata dia.

JK juga menganggap penolakan sebagian kalangan atas rencana kenaikan harga BBM bersubsidi merupakan tantangan bagi pemerintahan yang baru. Setiap perubahan, menurut dia, pasti mengundang pro dan kontra.

Terkait sikap PDIP yang melakukan penolakan keras atas sikap pemerintah terhadap kenaikan BBM, Wasekjen PDIP Ahmad Basarah menyatakan, tidak ada yang salah dengan sikap rekan-rekan satu partainya itu. Pasalnya, saat ini partai belum menentukan sikap terkait kenaikan BBM.

“Sepanjang belum ada keputusan resmi partai terhadap segala kebijakan pemerintah maka mengemukakan pendapat sebagai anggota DPR masih dapat dibenarkan,” kata Basarah, kemarin.

Tapi, lanjut Basarah, jika partai sudah mengeluarkan keputusan maka seluruh kader wajib mematuhi. Termasuk jika partai memutuskan mendukung kenaikan harga BBM. “Serta akan mendapatkan sanksi bagi yang melanggarnya,” tegasnya.

Lebih lanjut Basarah menyampaikan, PDIP masih menunggu penjelasan lengkap pemerintah terkait kebijakan tersebut. Jika alasan pemerintah bisa diterima, maka sewajarnya PDIP sebagai partai pemerintah memberi dukungan.

“Kami mendukung pemerintah bukan dengan menjadi lembaga stempel. Kami akan mendukung sepanjang substansi kebijakannya untuk peningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemakmuran negeri. Termasuk terkait rencana mencabut subsidi BBM,” papar Ketua Fraksi PDIP di MPR ini.

Peneliti Divisi Kajian Hukum Tatanegara SIGMA. M Imam Nasef, menjelaskan, ada tiga kemungkinan yang menyebabkan perpecahan di internal PDIP akibat rencana menaikkan harga BBM tersebut.

“Pertama, mungkin saja sebagian kader PDIP sadar betul bahwa kenaikan harga BBM akan lebih membenani rakyat dan itu tidak sejalan dengan amanat konstitusi Pasal 33 Ayat (3) yang menyatakan bumi air dan kekayaan alam dikuasai negara untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat,” ungkap Nasef.

Kemungkinan selanjutnya, kata Nasef, bisa jadi perpecahan itu muncul sebagai cerminan dari sikap konsisten beberapa kader PDIP yang pada rezim sebelumnya menolak keras kenaikan harga BBM.

“Ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono dulu berencana menaikkan harga BBM, PDIP lah partai yang paling keras menentangnya,” tegasnya.

Kemudian, kemungkinan terakhir adanya perpecahan di internal PDIP karena bentuk kekecewaan sejumlah kader PDIP yang tidak mendapatkan ‘jatah’ di kabinet.

“Sejumlah nama kader PDIP sebelumnya digadang-gadang akan menduduki posisi kementerian di Kabinet Kerja Jokowi-JK. Akan tetapi realita berbicara lain, mungkin itu yang menjadikan sebagian kader kecewa yang berdampak pada mulai munculnya faksi di partai itu,” tuturnya.

Namun penolakan itu masih disangsikan oleh pengamat politik Ray Rangkuti. Dikatakan Ray, sebagai pemimpin gerbong Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tidak sewajarnya PDIP akan bersikap sebagai oposisi dari pemerintahan Jokowi ini.

“Saya kurang yakin mereka para politisi PDIP akan berbeda pendapat sampai rapat paripurna nanti,” kata Ray kepada JPNN (grup Sumut Pos), kemarin.

Menurut Ray, pernyataan yang dilontarkan oleh para politisi PDIP seperti Effendi Simbolon, Rieke Dyah Pitaloka, dan Maruar Sirait, lebih terkesan pendapat pribadi sebagai anggota dewan. Bahkan, ia pun tidak menafikan adanya rumor bahwa ucapan ketiga politisi itu akibat kekecewaannya karena tidak dipilih jadi menteri oleh Jokowi-JK.

“Mungkin ada unsur kekecewaan itu. Tapi juga karena memang PDIP belum mengumumkan sikap resmi. Jadi pendapat pribadi-pribadi masih dimungkinkan,” ujarnya.

Meski begitu, lanjut Ray, tidak sepantasnya jika sikap kritis ketiga kader PDIP ini karena dendam.

“Apalagi Maruarar yang dikenal sebagai pendukung tulus Jokowi, rasanya kurang pas mengambil sikap berbeda semata hanya karena sakit hati pada Jokowi yang tidak mengangkatnya sebagai menteri,” tukasnya. (bbs/val)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/