27 C
Medan
Monday, June 24, 2024

Yusril Pertanyakan Kualitas Puan sebagai Menteri

Yusril Ihza Mahendra Pertanyakan Kualitas Puan sebagai Menteri. JPNN.com
Yusril Ihza Mahendra Pertanyakan Kualitas Puan sebagai Menteri. JPNN.com

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Mantan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan, Yusril Ihza Mahendra mempertanyakan kualitas Puan Maharani dan Pratikno sebagai pembantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kabinet Kerja. Pasalnya, Yusril menangkap kesan Puan dan Pratikno asal bunyi alias asbun soal payung hukum bagi program-program pro-rakyat Presiden Jokowi melalui Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Keluarga Sejahtera.

Kritikan Yusril itu terkait payung hukum 3 jenis kartu itu yang sampai sekarang belum jelas. Menurutnya, niat baik Jokowi membantu rakyat miskin karena mau menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) tentu patut dihargai.

Persoalannya, pemerintah dalam mengeluarkan suatu kebijakan haruslah jelas dasar hukumnya. “Cara mengelola negara tidak sama dengan mengelola rumah tangga atau warung. Tidak bisa apa yang terlintas dalam pikiran bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Negara tidak begitu, karena suatu kebijakan harus ada landasan hukumnya,” ujar Yusril melalui layanan BlackBerry Messenger (BBM) Kamis (6/11).

Mantan menteri sekretaris negara itu menyatankan agar payung hukum kartu ala Jokowi itu dibuat dulu. Karena menyangkut soal anggaran, lanjut Yusril, maka DPR sebagai pemegang hak budget juga harus dilibatkan.

“Kalau kebijakan itu berkaitan dengan keuangan negara, presiden harus bicara dulu dengan DPR sebagai memegang hak anggaran. Karena itu perhatian kesepakatan-kesepakatan dengan DPR yang sudah dituangkan dalam UU APBN,” ucapnya.

Yusril pun menyentil pernyataan Puan selaku menteri koordinator kesejahteraan rakyat dan pengembangan sumber daya manusia yang menyebut akan ada keputuran presiden (Keppres) dan instruksi presiden (Inpres) sebagai payung hukum bagi 3 program kartu Jokowi itu. Sebab, Inpres  yang jadi yang menjadi instrumen hukum di zaman Soekarno dan Soeharto, kini hanya untuk perintah presiden kepada jajaran pemerintah saja. Sedangkan Keppres, kini hanya untuk penetapan pejabat pemerintahan.

“Puan Maharani jangan asal ngomong kalau tidak paham tentang sesuatu. Lebih baik dia belajar mengelola negara dengan benar. Puan harus tahu bahwa Inpres dan Keppres  itu bukanlah instrumen hukum dalam hirarki peraturan perundang-undangan RI,” sambung Yusril.

Di sisi lain, Yusril juga menyarankan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno untuk hati-hati berbicara mengenai sumber dana yang digunakan untuk membiayai kebijakan 3 kartu sakti. Pernyataan Pratikno bahwa sumber dana 3 kartu ala Jokowi itu dari corporate social responsibility (CSR) BUMN sehingga tak perlu dibahas bersama DPR, jelas bisa dipersoalkan,

“Kekayaan BUMN itu kekayaan yg sudah dipisahkan dari keuangan negara, namun tetap menjadi obyek pemeriksaan BPK dan BPKP. Karena itu jika negara ingin menggunakan dana CSR BUMN, status dananya tersebut haruslah, dipinjam negara atau diambil oleh negara,” tutur Yusril.

Pasalnya, dana yang disalurkan melalui tiga kartu sakti ala Jokowi itu adalah kegiatan pemerintah sebagai kompensasi kenaikan BBM. Artinya, program KIP, KIS dan KKS itu bukan kegiatan BUMN untuk membagi CSR.

“Saya berharap Mensesneg Pratikno juga jangan bicara asbun seperti Puan. Pikirkan dulu dalam-dalam sebelum bicara dan bertindak dalam mengurus negara,” pungkasnya. (ara/jpnn)

Yusril Ihza Mahendra Pertanyakan Kualitas Puan sebagai Menteri. JPNN.com
Yusril Ihza Mahendra Pertanyakan Kualitas Puan sebagai Menteri. JPNN.com

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Mantan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan, Yusril Ihza Mahendra mempertanyakan kualitas Puan Maharani dan Pratikno sebagai pembantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kabinet Kerja. Pasalnya, Yusril menangkap kesan Puan dan Pratikno asal bunyi alias asbun soal payung hukum bagi program-program pro-rakyat Presiden Jokowi melalui Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Keluarga Sejahtera.

Kritikan Yusril itu terkait payung hukum 3 jenis kartu itu yang sampai sekarang belum jelas. Menurutnya, niat baik Jokowi membantu rakyat miskin karena mau menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) tentu patut dihargai.

Persoalannya, pemerintah dalam mengeluarkan suatu kebijakan haruslah jelas dasar hukumnya. “Cara mengelola negara tidak sama dengan mengelola rumah tangga atau warung. Tidak bisa apa yang terlintas dalam pikiran bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Negara tidak begitu, karena suatu kebijakan harus ada landasan hukumnya,” ujar Yusril melalui layanan BlackBerry Messenger (BBM) Kamis (6/11).

Mantan menteri sekretaris negara itu menyatankan agar payung hukum kartu ala Jokowi itu dibuat dulu. Karena menyangkut soal anggaran, lanjut Yusril, maka DPR sebagai pemegang hak budget juga harus dilibatkan.

“Kalau kebijakan itu berkaitan dengan keuangan negara, presiden harus bicara dulu dengan DPR sebagai memegang hak anggaran. Karena itu perhatian kesepakatan-kesepakatan dengan DPR yang sudah dituangkan dalam UU APBN,” ucapnya.

Yusril pun menyentil pernyataan Puan selaku menteri koordinator kesejahteraan rakyat dan pengembangan sumber daya manusia yang menyebut akan ada keputuran presiden (Keppres) dan instruksi presiden (Inpres) sebagai payung hukum bagi 3 program kartu Jokowi itu. Sebab, Inpres  yang jadi yang menjadi instrumen hukum di zaman Soekarno dan Soeharto, kini hanya untuk perintah presiden kepada jajaran pemerintah saja. Sedangkan Keppres, kini hanya untuk penetapan pejabat pemerintahan.

“Puan Maharani jangan asal ngomong kalau tidak paham tentang sesuatu. Lebih baik dia belajar mengelola negara dengan benar. Puan harus tahu bahwa Inpres dan Keppres  itu bukanlah instrumen hukum dalam hirarki peraturan perundang-undangan RI,” sambung Yusril.

Di sisi lain, Yusril juga menyarankan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno untuk hati-hati berbicara mengenai sumber dana yang digunakan untuk membiayai kebijakan 3 kartu sakti. Pernyataan Pratikno bahwa sumber dana 3 kartu ala Jokowi itu dari corporate social responsibility (CSR) BUMN sehingga tak perlu dibahas bersama DPR, jelas bisa dipersoalkan,

“Kekayaan BUMN itu kekayaan yg sudah dipisahkan dari keuangan negara, namun tetap menjadi obyek pemeriksaan BPK dan BPKP. Karena itu jika negara ingin menggunakan dana CSR BUMN, status dananya tersebut haruslah, dipinjam negara atau diambil oleh negara,” tutur Yusril.

Pasalnya, dana yang disalurkan melalui tiga kartu sakti ala Jokowi itu adalah kegiatan pemerintah sebagai kompensasi kenaikan BBM. Artinya, program KIP, KIS dan KKS itu bukan kegiatan BUMN untuk membagi CSR.

“Saya berharap Mensesneg Pratikno juga jangan bicara asbun seperti Puan. Pikirkan dulu dalam-dalam sebelum bicara dan bertindak dalam mengurus negara,” pungkasnya. (ara/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/