30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Ekshumasi Ungkap Penyebab Kematian dalam Tragedi Kanjuruhan, Tunggu Hasil Otopsi Maksimal Dua Bulan

KABUPATEN MALANG, SUMUTPOS.CO – Devi Athok Yulfitri, 43, berteriak histeris setelah masuk ke tenda di TPU Dusun Patuk, Desa Sukolilo, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang, kemarin (5/11). Di dalam tenda yang tertutup kain biru itulah terdapat makam kedua putrinya yang menjadi korban tragedi Kanjuruhan: Natasya Debi Ramadani, 16, dan Naila Debi Anggraini, 14.

“Anakku mati, Yah. Anakku mati. Anakku diracun,” teriak Devi sembari menangis. Beberapa Aremania lantas membopongnya keluar tenda. Bergantian mereka menenangkan Devi. “Iling Dev, iling. Iki perjuangan. Koen gak ijen. Kabeh Aremania nang mburimu (Ingat Dev, ingat. Ini perjuangan. Kamu tidak sendirian. Semua Aremania di belakangmu, Red),” ujar Anto Baret, salah seorang Aremania.

Namun, Devi tidak lantas diam. Teriakannya semakin kencang. Tidak lama berselang, tubuhnya lemas. Warga Desa Krebet, Kelurahan Bululawang, Kabupaten Malang, tersebut pingsan dan dibawa ke dalam ambulans.

Lokasi pemakaman itu ramai didatangi orang sejak pukul 07.00. Aksesnya dijaga ketat oleh polisi. Belasan petugas medis terlihat memasuki tenda satu jam kemudian untuk persiapan ekshumasi sebagai rangkaian awal proses otopsi. Devi yang didampingi tim pengacara dan Aremania tiba pukul 09.00 dan menyusul masuk ke tenda.

Informasi yang dihimpun, delapan dokter forensik terlibat dalam proses otopsi. Mereka adalah tim independen yang dibentuk secara khusus oleh Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) Jatim. “Dasar dari kegiatan ini adalah permintaan surat visum et repertum dari penyidik untuk melaksanakan penggalian jenazah,” jelas Ketua PDFI Jatim dr Nabil Bahasuan SpFM yang juga bagian tim dokter yang melakukan otopsi.

Tim independen tidak hanya terdiri atas enam dokter di lokasi yang menjadi operator. Namun, ada dua orang lain sebagai penasihat. “Mereka (penasihat) tidak ikut ke sini,” kata dia.

Nabil menjelaskan, pelaksanaan otopsi melibatkan fakultas kedokteran dari tiga universitas dan empat fasilitas kesehatan. Yakni, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Universitas Hang Tuah Surabaya, Universitas Muhammadiyah Malang, RSUD dr Soetomo Surabaya, RS Unair Surabaya, RSUD Kanjuruhan Malang, dan RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan.

Pantauan Jawa Pos, otopsi berlangsung sekitar tujuh jam. Nabil dan dokter lain keluar tenda pukul 16.00. “Hasil otopsi paling lama delapan minggu. Bisa lebih cepat. Dalam kedokteran, rentang waktu terlama yang dipakai,” kata Nabil.

Kepala Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya itu juga menyebut adanya kendala selama otopsi. Pertama, kontur tanah yang keras sehingga menyulitkan penggalian. Lalu, kondisi jenazah yang mulai mengalami pembusukan. “Karena sudah lebih dari satu bulan ya,” jelasnya.

Selanjutnya, tim dokter akan melakukan uji laboratorium sampel organ tubuh jenazah. Namun, dia tidak memerinci sampel yang akan diteliti. Nabil hanya mengatakan bahwa laboratorium yang dipilih juga independen. Artinya, tidak berhubungan dengan pihak terkait untuk menjaga kredibilitas hasil akhir.

Devi terlihat lebih bisa mengontrol diri setelah proses otopsi. Bahkan, dia kembali mendatangi makam untuk berdoa. “Lega bisa memakamkan mereka kembali, sekarang sudah tidak punya beban,” ungkapnya. Dia berharap hasil otopsi bisa mendatangkan keadilan bagi anak-anaknya. Devi meyakini bahwa mereka meninggal karena gas air mata kedaluwarsa. “Bukan kelalaian. Unsurnya sudah pembantaian. Mereka (polisi) sengaja bawa senjata,” sebutnya.

Jika memang terbukti gas air mata menjadi penyebab kematian, dia ingin semua polisi yang menembakkan gas air mata dihukum. “Anak saya tidak salah. Mereka duduk di tribun dan dibantai. Genosida itu,” cetusnya.

Imam Hidayat, pengacara Devi, menambahkan, pihaknya hanya bisa memasrahkan hasil otopsi ke tim dokter forensik. “Semoga tim dokter punya hati. Mau jujur dan transparan,” kata dia. Pihaknya memang sempat diperbolehkan masuk ke tenda. Namun, saat proses otopsi dimulai, pihaknya diminta keluar dengan alasan agar lokasi klir dan tim dokter tidak terganggu sehingga berjalan lancar.

Selain menunggu hasil otopsi, dalam waktu dekat pihaknya akan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Malang. Gugatan itu terkait restitusi atau ganti rugi dari pihak yang dianggap bertanggung jawab. “Materinya masih kami rangkum. Termasuk nilai yang diajukan. Target dua pekan ke depan,” kata Imam.

Kantor hukumnya saat ini mendapat kuasa dari 20 korban maupun keluarga korban. Namun, nilai ganti rugi yang diajukan akan tetap dikomunikasikan dengan korban atau keluarga korban lain. “Kita perjuangkan bersama hak korban. Walaupun memang uang tidak bisa mengganti nyawa, setidaknya hak mereka terpenuhi,” ujarnya.

Ekshumasi kemarin dipantau sejumlah pihak. Di antaranya, perwakilan tim gabungan independen pencari fakta (TGIPF) tragedi Kanjuruhan, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Tim Gabungan Aremania (TGA).

Armed Wijaya, perwakilan TGIPF, menyatakan kedatangannya untuk mengawal pelaksanaan otopsi. Terlebih, kegiatan itu merupakan salah satu rekomendasi dari TGIPF. “Kami monitoring terus. Dilihat hasilnya nanti seperti apa dan bagaimana tindak lanjutnya,” kata pria yang juga berstatus deputi bidang koordinasi keamanan dan ketertiban masyarakat Kemenko Polhukam tersebut.

Dia berharap hasil otopsi bisa memastikan penyebab kematian korban berkaitan dengan gas air mata atau tidak. Dengan begitu, kasusnya juga bisa menjadi terang. “Isu yang berkembang, penyebab kematian para korban salah satunya karena gas air mata. Apalagi ada temuan gas air mata kedaluwarsa yang dipakai. Ini tentunya perlu dipastikan,” ungkapnya.

Perkiraan awal, hasil otopsi bisa keluar dua pekan. “Nanti kita lihat lagi, termasuk apakah hasilnya bisa memengaruhi perubahan pasal dan bertambahnya tersangka,” imbuh dia.

Ketua Kompolnas Benny Josua Mamoto mengatakan, otopsi termasuk bagian penting dari proses hukum yang sedang berjalan. “Semua ingin tahu penyebab kematian karena apa dan itu harus melalui otopsi,” kata dia.

Sementara itu, Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo menerangkan, kehadirannya adalah bentuk pendampingan terhadap keluarga korban tragedi Kanjuruhan. “Sejauh ini ada 18 korban dan keluarga korban yang meminta perlindungan ke LPSK,” ujarnya.

Mereka meminta pengawalan karena merasa mendapat intimidasi. Namun, dia enggan memerinci detailnya. “Yang pasti, LPSK sekarang memberikan pendampingan. Baik perlindungan fisik maupun rehabilitasi medis dan psikilogis,” terang dia.

Hasto juga mendukung rencana pengajuan restitusi. Berdasar aturan, peluang itu cukup terbuka. Namun, semua dikembalikan kepada korban dan keluarga korban sebagai yang berhak. “LPSK nanti bisa membantu penilaian,” jelasnya.

Dadang Hermawan, perwakilan TGA, secara terpisah berharap pelaksanaan otopsi dapat menjelaskan kondisi korban ketika meninggal. Pasalnya, tubuh kakak beradik tersebut terlihat lebam sebelum dimakamkan. “Dari pihak keluarga menerangkan seperti itu,” katanya. Lebam pada Naila disebut terlihat dari leher ke atas. Adapun kakaknya lebam di dada ke atas. Juga, keluar darah dari hidung dan telinga.

Ratusan Aremania kemarin juga terlihat di sekitar lokasi pemakaman. Beberapa merupakan keluarga korban. Di antaranya, Triyono dan Astri Puji Rahayu, orang tua almarhum Salsa Yonas Octavia. Mereka sengaja datang untuk mengawal proses otopsi dan memberikan dukungan moral kepada keluarga Devi. “Salsa anak kami satu-satunya. Semoga otopsi ini bisa menjadi titik awal keadilan,” kata Astri.

Warga Desa Gadang, Kecamatan Sukun, Kota Malang, itu merasa tidak puas dengan proses hukum yang berjalan. Menurut dia, penetapan enam orang sebagai tersangka belum cukup. “Semua pihak yang terlibat seharusnya tanggung jawab,” tuturnya. (jpc)

KABUPATEN MALANG, SUMUTPOS.CO – Devi Athok Yulfitri, 43, berteriak histeris setelah masuk ke tenda di TPU Dusun Patuk, Desa Sukolilo, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang, kemarin (5/11). Di dalam tenda yang tertutup kain biru itulah terdapat makam kedua putrinya yang menjadi korban tragedi Kanjuruhan: Natasya Debi Ramadani, 16, dan Naila Debi Anggraini, 14.

“Anakku mati, Yah. Anakku mati. Anakku diracun,” teriak Devi sembari menangis. Beberapa Aremania lantas membopongnya keluar tenda. Bergantian mereka menenangkan Devi. “Iling Dev, iling. Iki perjuangan. Koen gak ijen. Kabeh Aremania nang mburimu (Ingat Dev, ingat. Ini perjuangan. Kamu tidak sendirian. Semua Aremania di belakangmu, Red),” ujar Anto Baret, salah seorang Aremania.

Namun, Devi tidak lantas diam. Teriakannya semakin kencang. Tidak lama berselang, tubuhnya lemas. Warga Desa Krebet, Kelurahan Bululawang, Kabupaten Malang, tersebut pingsan dan dibawa ke dalam ambulans.

Lokasi pemakaman itu ramai didatangi orang sejak pukul 07.00. Aksesnya dijaga ketat oleh polisi. Belasan petugas medis terlihat memasuki tenda satu jam kemudian untuk persiapan ekshumasi sebagai rangkaian awal proses otopsi. Devi yang didampingi tim pengacara dan Aremania tiba pukul 09.00 dan menyusul masuk ke tenda.

Informasi yang dihimpun, delapan dokter forensik terlibat dalam proses otopsi. Mereka adalah tim independen yang dibentuk secara khusus oleh Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) Jatim. “Dasar dari kegiatan ini adalah permintaan surat visum et repertum dari penyidik untuk melaksanakan penggalian jenazah,” jelas Ketua PDFI Jatim dr Nabil Bahasuan SpFM yang juga bagian tim dokter yang melakukan otopsi.

Tim independen tidak hanya terdiri atas enam dokter di lokasi yang menjadi operator. Namun, ada dua orang lain sebagai penasihat. “Mereka (penasihat) tidak ikut ke sini,” kata dia.

Nabil menjelaskan, pelaksanaan otopsi melibatkan fakultas kedokteran dari tiga universitas dan empat fasilitas kesehatan. Yakni, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Universitas Hang Tuah Surabaya, Universitas Muhammadiyah Malang, RSUD dr Soetomo Surabaya, RS Unair Surabaya, RSUD Kanjuruhan Malang, dan RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan.

Pantauan Jawa Pos, otopsi berlangsung sekitar tujuh jam. Nabil dan dokter lain keluar tenda pukul 16.00. “Hasil otopsi paling lama delapan minggu. Bisa lebih cepat. Dalam kedokteran, rentang waktu terlama yang dipakai,” kata Nabil.

Kepala Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya itu juga menyebut adanya kendala selama otopsi. Pertama, kontur tanah yang keras sehingga menyulitkan penggalian. Lalu, kondisi jenazah yang mulai mengalami pembusukan. “Karena sudah lebih dari satu bulan ya,” jelasnya.

Selanjutnya, tim dokter akan melakukan uji laboratorium sampel organ tubuh jenazah. Namun, dia tidak memerinci sampel yang akan diteliti. Nabil hanya mengatakan bahwa laboratorium yang dipilih juga independen. Artinya, tidak berhubungan dengan pihak terkait untuk menjaga kredibilitas hasil akhir.

Devi terlihat lebih bisa mengontrol diri setelah proses otopsi. Bahkan, dia kembali mendatangi makam untuk berdoa. “Lega bisa memakamkan mereka kembali, sekarang sudah tidak punya beban,” ungkapnya. Dia berharap hasil otopsi bisa mendatangkan keadilan bagi anak-anaknya. Devi meyakini bahwa mereka meninggal karena gas air mata kedaluwarsa. “Bukan kelalaian. Unsurnya sudah pembantaian. Mereka (polisi) sengaja bawa senjata,” sebutnya.

Jika memang terbukti gas air mata menjadi penyebab kematian, dia ingin semua polisi yang menembakkan gas air mata dihukum. “Anak saya tidak salah. Mereka duduk di tribun dan dibantai. Genosida itu,” cetusnya.

Imam Hidayat, pengacara Devi, menambahkan, pihaknya hanya bisa memasrahkan hasil otopsi ke tim dokter forensik. “Semoga tim dokter punya hati. Mau jujur dan transparan,” kata dia. Pihaknya memang sempat diperbolehkan masuk ke tenda. Namun, saat proses otopsi dimulai, pihaknya diminta keluar dengan alasan agar lokasi klir dan tim dokter tidak terganggu sehingga berjalan lancar.

Selain menunggu hasil otopsi, dalam waktu dekat pihaknya akan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Malang. Gugatan itu terkait restitusi atau ganti rugi dari pihak yang dianggap bertanggung jawab. “Materinya masih kami rangkum. Termasuk nilai yang diajukan. Target dua pekan ke depan,” kata Imam.

Kantor hukumnya saat ini mendapat kuasa dari 20 korban maupun keluarga korban. Namun, nilai ganti rugi yang diajukan akan tetap dikomunikasikan dengan korban atau keluarga korban lain. “Kita perjuangkan bersama hak korban. Walaupun memang uang tidak bisa mengganti nyawa, setidaknya hak mereka terpenuhi,” ujarnya.

Ekshumasi kemarin dipantau sejumlah pihak. Di antaranya, perwakilan tim gabungan independen pencari fakta (TGIPF) tragedi Kanjuruhan, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Tim Gabungan Aremania (TGA).

Armed Wijaya, perwakilan TGIPF, menyatakan kedatangannya untuk mengawal pelaksanaan otopsi. Terlebih, kegiatan itu merupakan salah satu rekomendasi dari TGIPF. “Kami monitoring terus. Dilihat hasilnya nanti seperti apa dan bagaimana tindak lanjutnya,” kata pria yang juga berstatus deputi bidang koordinasi keamanan dan ketertiban masyarakat Kemenko Polhukam tersebut.

Dia berharap hasil otopsi bisa memastikan penyebab kematian korban berkaitan dengan gas air mata atau tidak. Dengan begitu, kasusnya juga bisa menjadi terang. “Isu yang berkembang, penyebab kematian para korban salah satunya karena gas air mata. Apalagi ada temuan gas air mata kedaluwarsa yang dipakai. Ini tentunya perlu dipastikan,” ungkapnya.

Perkiraan awal, hasil otopsi bisa keluar dua pekan. “Nanti kita lihat lagi, termasuk apakah hasilnya bisa memengaruhi perubahan pasal dan bertambahnya tersangka,” imbuh dia.

Ketua Kompolnas Benny Josua Mamoto mengatakan, otopsi termasuk bagian penting dari proses hukum yang sedang berjalan. “Semua ingin tahu penyebab kematian karena apa dan itu harus melalui otopsi,” kata dia.

Sementara itu, Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo menerangkan, kehadirannya adalah bentuk pendampingan terhadap keluarga korban tragedi Kanjuruhan. “Sejauh ini ada 18 korban dan keluarga korban yang meminta perlindungan ke LPSK,” ujarnya.

Mereka meminta pengawalan karena merasa mendapat intimidasi. Namun, dia enggan memerinci detailnya. “Yang pasti, LPSK sekarang memberikan pendampingan. Baik perlindungan fisik maupun rehabilitasi medis dan psikilogis,” terang dia.

Hasto juga mendukung rencana pengajuan restitusi. Berdasar aturan, peluang itu cukup terbuka. Namun, semua dikembalikan kepada korban dan keluarga korban sebagai yang berhak. “LPSK nanti bisa membantu penilaian,” jelasnya.

Dadang Hermawan, perwakilan TGA, secara terpisah berharap pelaksanaan otopsi dapat menjelaskan kondisi korban ketika meninggal. Pasalnya, tubuh kakak beradik tersebut terlihat lebam sebelum dimakamkan. “Dari pihak keluarga menerangkan seperti itu,” katanya. Lebam pada Naila disebut terlihat dari leher ke atas. Adapun kakaknya lebam di dada ke atas. Juga, keluar darah dari hidung dan telinga.

Ratusan Aremania kemarin juga terlihat di sekitar lokasi pemakaman. Beberapa merupakan keluarga korban. Di antaranya, Triyono dan Astri Puji Rahayu, orang tua almarhum Salsa Yonas Octavia. Mereka sengaja datang untuk mengawal proses otopsi dan memberikan dukungan moral kepada keluarga Devi. “Salsa anak kami satu-satunya. Semoga otopsi ini bisa menjadi titik awal keadilan,” kata Astri.

Warga Desa Gadang, Kecamatan Sukun, Kota Malang, itu merasa tidak puas dengan proses hukum yang berjalan. Menurut dia, penetapan enam orang sebagai tersangka belum cukup. “Semua pihak yang terlibat seharusnya tanggung jawab,” tuturnya. (jpc)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/