26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Jokowi Dibela, Menteri Dicela

141112151545-jokowi-512x288-afpJAKARTA, SUMUTPOS.CO- Bola panas kontroversi uang muka atau down payment (DP) mobil pejabat masih bergulir. Namun, ‘kesalahan’ Presiden Jokowi cenderung dibelokkan menjadi ‘kesalahan’ menteri. Ujung-ujungnya, beberapa menteri yang dinilai tidak cakap, kini masuk dalam bidikan reshuffle.

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI) Agus Pambagio mengatakan, dalam kasus lahirnya Perpres 39/2015 tentang pemberian fasilitas DP mobil pejabat beberapa menteri memang bertindak kurang pas. “Mereka tidak punya sensitifitas politik dan sosial,” ujarnya saat dihubungi kemarin (7/4).

Menurut Agus, tiga menteri yang dinilai paling bertanggung jawab dalam lahirnya Perpres DP mobil pejabat adalah Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Ketiganya, lanjut dia, memang belum memiliki jam terbang tinggi sebagai pejabat di ring satu presiden. “Karena itu, isu sensitif diperlakukan seperti isu biasa-biasa saja,” katanya.

Agus menyebut, dari sisi prosedur standar, lahirnya Perpres DP mobil pejabat memang tidak salah. Alurnya dari Setkab ke Menkeu untuk meminta pertimbangan atas usulan DPR, lalu oleh Menkeu dikembalikan ke Setkab, kemudian diteruskan ke Presiden Jokowi melalui Setneg.

Namun, kata Agus, untuk kebijakan yang menyangkut pemberian fasilitas kepada pejabat yang bisa dipastikan selalu memicu kontroversi publik, mestinya tiga orang menteri tersebut mengusulkannya agar masuk dalam agenda sidang kabinet (Sidkab) atau setidaknya rapat terbatas (Ratas). Dengan begitu, presiden mendapat informasi secara komprehensif dan bisa memberi masukan sebelum Perpres ditandatangani. Sayangnya hal itu tidak dilakukan. “Akhirnya, presiden cuma disodori draft Perpres dalam map yang sudah banyak diparaf. Jadi, wajar jika presiden langsung tanda tangan,” ucapnya.

Menurut Agus, baik Menkeu Bambang Brodjonegoro, Seskab Andi Widjajanto, maupun Mensesneg Pratikno, memang tidak memiliki latar belakang sebagai politikus, sehingga sense of politics-nya kurang. Kekurangan itulah yang harus segera ditutupi, terutama di pos Seskab dan Mensesneg sebagai filter utama setiap kebijakan sebelum sampai di meja presiden.

Karena itu, Seskab Andi Widjajanto dan Mensesneg Pratikno harus cepat belajar agar kejadian serupa tidak terulang. Menurut Agus, pencabutan Perpres memang pernah juga dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kasus pemberian fasilitas kesehatan untuk pejabat. Namun, jika kejadian serupa terulang lagi, maka kepercayaan publik pada kredibilitas lembaga kepresidenan bisa merosot. “Sebaiknya Seskab dan Mensesneg harus cepat berbenah. Jika tidak, desakan-desakan reshuffle akan makin kencang dan mengganggu stabilitas politik,” ujarnya.

Suara desakan reshuffle memang mulai bermunculan. Apalagi, survei Indo Barometer yang menyebut tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla sangat rendah, hanya 57,5 persen.

Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman menyebut, periode enam bulan pertama pemerintah seharusnya masih berada di masa bulan madu, sehingga tingkat kepuasan diharapkan bisa di kisaran 75 – 80 persen. “Kalau hanya 57 persen, ini sudah lampu kuning,” katanya.

Menurut Irman, dirinya bisa memahami rendahnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Selain kenaikan harga BBM dan Elpiji, masyarakat memang mulai mempertanyakan kemampuan pemerintah untuk meredam lonjakan harga bahan kebutuhan pokok. ‘Karena itu, presiden memang harus segera mengevaluasi kinerja menteri-menterinya, bisa diganti atau digeser posisinya,’ ucapnya.

Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional Yandri Susanto menilai, DPR secara kelembagaan harus betul-betul menolak penggunaan anggaran DP mobil pejabat. Yandri juga menilai ada kejanggalan dari alasan pemerintah, terutama Presiden yang mengaku kecolongan atas pengesahan Perpres itu. “Kita menyayangkan kenapa Jokowi bersama Menkeu menyetujui Perpres, agak gegabah dan sedikit ceroboh,” kata Yandri.

Menurut Yandri, sebagai kepala negara, Presiden seharusnya tidak menyatakan bahwa dirinya tidak tahu. Apalagi penetapan ini menggunakan Perpres yang notabene dia tandatangani. Di saat momen kenaikan harga berbagai komoditi saat ini, sudah saatnya pemerintah menciptakan situasi yang justru menguntungkan para pejabat. “Kalau ada yang bisa dihemat, hemat saja,” ujarnya.

Yandri menambahkan, selain anggaran untuk pejabat negara, alokasi yang sama nampaknya juga muncul untuk pejabat eselon I. Jika memang ada, sebaiknya pos anggaran semacam itu dihentikan, dan dimaksimalkan untuk kebutuhan rakyat. “Saya dengar anggarannya lebih besar mencapai Rp 700 juta. Ini jangan sampai tidak tuntas,” tegasnya. (owi/bay/jpnn/rbb)

141112151545-jokowi-512x288-afpJAKARTA, SUMUTPOS.CO- Bola panas kontroversi uang muka atau down payment (DP) mobil pejabat masih bergulir. Namun, ‘kesalahan’ Presiden Jokowi cenderung dibelokkan menjadi ‘kesalahan’ menteri. Ujung-ujungnya, beberapa menteri yang dinilai tidak cakap, kini masuk dalam bidikan reshuffle.

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI) Agus Pambagio mengatakan, dalam kasus lahirnya Perpres 39/2015 tentang pemberian fasilitas DP mobil pejabat beberapa menteri memang bertindak kurang pas. “Mereka tidak punya sensitifitas politik dan sosial,” ujarnya saat dihubungi kemarin (7/4).

Menurut Agus, tiga menteri yang dinilai paling bertanggung jawab dalam lahirnya Perpres DP mobil pejabat adalah Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Ketiganya, lanjut dia, memang belum memiliki jam terbang tinggi sebagai pejabat di ring satu presiden. “Karena itu, isu sensitif diperlakukan seperti isu biasa-biasa saja,” katanya.

Agus menyebut, dari sisi prosedur standar, lahirnya Perpres DP mobil pejabat memang tidak salah. Alurnya dari Setkab ke Menkeu untuk meminta pertimbangan atas usulan DPR, lalu oleh Menkeu dikembalikan ke Setkab, kemudian diteruskan ke Presiden Jokowi melalui Setneg.

Namun, kata Agus, untuk kebijakan yang menyangkut pemberian fasilitas kepada pejabat yang bisa dipastikan selalu memicu kontroversi publik, mestinya tiga orang menteri tersebut mengusulkannya agar masuk dalam agenda sidang kabinet (Sidkab) atau setidaknya rapat terbatas (Ratas). Dengan begitu, presiden mendapat informasi secara komprehensif dan bisa memberi masukan sebelum Perpres ditandatangani. Sayangnya hal itu tidak dilakukan. “Akhirnya, presiden cuma disodori draft Perpres dalam map yang sudah banyak diparaf. Jadi, wajar jika presiden langsung tanda tangan,” ucapnya.

Menurut Agus, baik Menkeu Bambang Brodjonegoro, Seskab Andi Widjajanto, maupun Mensesneg Pratikno, memang tidak memiliki latar belakang sebagai politikus, sehingga sense of politics-nya kurang. Kekurangan itulah yang harus segera ditutupi, terutama di pos Seskab dan Mensesneg sebagai filter utama setiap kebijakan sebelum sampai di meja presiden.

Karena itu, Seskab Andi Widjajanto dan Mensesneg Pratikno harus cepat belajar agar kejadian serupa tidak terulang. Menurut Agus, pencabutan Perpres memang pernah juga dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kasus pemberian fasilitas kesehatan untuk pejabat. Namun, jika kejadian serupa terulang lagi, maka kepercayaan publik pada kredibilitas lembaga kepresidenan bisa merosot. “Sebaiknya Seskab dan Mensesneg harus cepat berbenah. Jika tidak, desakan-desakan reshuffle akan makin kencang dan mengganggu stabilitas politik,” ujarnya.

Suara desakan reshuffle memang mulai bermunculan. Apalagi, survei Indo Barometer yang menyebut tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla sangat rendah, hanya 57,5 persen.

Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman menyebut, periode enam bulan pertama pemerintah seharusnya masih berada di masa bulan madu, sehingga tingkat kepuasan diharapkan bisa di kisaran 75 – 80 persen. “Kalau hanya 57 persen, ini sudah lampu kuning,” katanya.

Menurut Irman, dirinya bisa memahami rendahnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Selain kenaikan harga BBM dan Elpiji, masyarakat memang mulai mempertanyakan kemampuan pemerintah untuk meredam lonjakan harga bahan kebutuhan pokok. ‘Karena itu, presiden memang harus segera mengevaluasi kinerja menteri-menterinya, bisa diganti atau digeser posisinya,’ ucapnya.

Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional Yandri Susanto menilai, DPR secara kelembagaan harus betul-betul menolak penggunaan anggaran DP mobil pejabat. Yandri juga menilai ada kejanggalan dari alasan pemerintah, terutama Presiden yang mengaku kecolongan atas pengesahan Perpres itu. “Kita menyayangkan kenapa Jokowi bersama Menkeu menyetujui Perpres, agak gegabah dan sedikit ceroboh,” kata Yandri.

Menurut Yandri, sebagai kepala negara, Presiden seharusnya tidak menyatakan bahwa dirinya tidak tahu. Apalagi penetapan ini menggunakan Perpres yang notabene dia tandatangani. Di saat momen kenaikan harga berbagai komoditi saat ini, sudah saatnya pemerintah menciptakan situasi yang justru menguntungkan para pejabat. “Kalau ada yang bisa dihemat, hemat saja,” ujarnya.

Yandri menambahkan, selain anggaran untuk pejabat negara, alokasi yang sama nampaknya juga muncul untuk pejabat eselon I. Jika memang ada, sebaiknya pos anggaran semacam itu dihentikan, dan dimaksimalkan untuk kebutuhan rakyat. “Saya dengar anggarannya lebih besar mencapai Rp 700 juta. Ini jangan sampai tidak tuntas,” tegasnya. (owi/bay/jpnn/rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/