25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Saksi TPS Sedot Rp756M

JAKARTA-Angka fantastis muncul jelang Pemilu 2014. Per partai politik (Parpol) membutuhkan Rp63 miliar hanya untuk membayar saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Artinya, jika dikalikan dengan 12 parpol peserta Pemilu, maka untuk saksi saja dana yang tersedot mencapai Rp756 miliar!
Setidaknya hal ini diungkapkan Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Fernita Darwis. Dia mengatakan, wajar jika parpol mengeluarkan dana besar untuk kampanye saat Pemilu. Alokasi dana biasanya dihabisksn untuk iklan di media massa, pembuatan atribut kampanye, dan biaya acara partai seperti musyawarah kerja tingkat nasional. Namun, sejumlah pos pengeluaran itu, biaya terbesarn
sebenarnya untuk membayar saksi di TPS.

“Setiap tempat pemungutan suara (TPS) membutuhkan dua saksi,” kata Fernita, Jumat (7/6).

Dengan jumlah TPS seluruh Indonesia 630.000, maka jumlah saksi akan mencapai 1.260.000 orang. Seperti diketahui, honor saksi minimal Rp50.000. Artinya, setiap parpol akan mengeluarkan Rp63 miliar. Angka ini dikalikan 12 parpol, maka akan muncul Rp756 miliar. Dan, itu masih angka minimal. “Total bisa Rp1,2 triliun sampai Rp1,5 triliun untuk 12 parpol,” tambahnya.

Fernita mengatakan, untuk memenuhi pengeluaran tersebut, parpol mengandalkan dana pemasukan yang beradal dari iuran wajib kader yang duduk di parlemen, dan sumbangan sukarela dari sumber lain. Untuk itu, usulan subsidi dari negara muncul. “Ya, subsidi dari pemerintah yang berasal dari APBN,” katanya.

Fernita menjelaskan, subsidi yang berasal dari APBN besarnya tergantung pada jumlah perolehan suara yang diraih parpol saat Pemilu 2009. Ia mencontohkan, PPP, yang pada Pemilu 2009 mendapatkan sekitar 5 juta suara, mendapatkan subsidi Rp108 per suara. Dengan demikian, PPP memperoleh subsidi dari pemerintah sebesar Rp530 juta per tahun. “Subsidi sebesar itu tidak bisa untuk mengakomodir seluruhnya,” ujarnya.

Dengan perhitungan besarnya biaya pemilu dan jumlah pemasukan partai, ia mengaku tak heran jika ada potensi korupsi oleh calon anggota legislatif terpilih. “Dua tahun pertama akan digunakan untuk mencari pengganti modal. Dua tahun sisanya akan dibuat untuk mencari uang buat pemilu mendatang,” ujarnya.

Soal dana saksi yang idealnya disubsidi negara juga didengungkan calon legislator yang akan bertarung pada Pemili 2014 dari PPP. “Kenapa tidak direalisasikan usul negara ikut membayar saksi?” kata Taufik Hidayat, caleg PPP, belum lama ini.

Taufik mengatakan, biaya yang harus dikeluarkan calon dan partai untuk mengongkosi saksi cukup besar. Terlebih lagi, para saksi harus disebar di setiap tempat pemungutan suara untuk menjamin rekapitulasi suara sesuai dengan fakta.

Caleg Golkar, Leo Nababan, mengatakan hal serupa. Keharusan calon mempekerjakan saksi memakan banyak biaya. Namun, jika calon tak menyewa saksi, dikhawatirkan rekapitulasi suara dimanipulasi. “Hilang suara kami jika tak ada saksi,” ujarnya.

Wasekjen Partai Golkar ini mengusulkan agar negara membiayai saksi dalam Pemilu. Leo menilai pembiayaan saksi selama ini justru membebani para caleg.

“Wajar saja caleg keluar banyak uang karena kita harus membiayai saksi-saksi di TPS,” katanya.

Leo menuturkan, rata-rata seorang caleg harus mengeluarkan uang pribadi dari Rp300 ribu sampai dengan Rp400 ribu untuk membayar setiap saksi. Oleh karena itu, biaya politik yang dikeluarkan mereka cukup tinggi. “Negara harus bertanggung jawab kalau kita mau rendah biayanya,” ujarnya.
Leo melanjutkan, kondisi yang berbeda terjadi di negara lain. Di sana, katanya, negara menanggung biaya para saksi. “Wacana negara membiayai partai terlalu jauh. Cukup saksinya saja dibiayai,” terangnya.

Dalam disertasinya beberapa waktu lalu, Wakil Ketua DPR Pramono Anung memprediksi biaya politik yang dikeluarkan oleh para caleg dalam Pemilu tahun 2014 mendatang akan melonjak tajam. Sebab, sistem Pemilu yang dianut masih tetap sama, yaitu proporsional terbuka.

Dalam disertasinya, Pramono yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI itu meneliti tentang kecenderungan kenaikan biaya politik dari pemilu 2004 ke Pemilu 2009. Hasilnya adalah kenaikan yang kian ‘gila’, mencapai 3,5 kali lebih besar.

“Dari Rp800 juta menjadi Rp1,2 miliar sampai dengan Rp2 miliar untuk tahun 2009. Menunjukkan pembiayaan cukup besar,” ujarnya dalam satu seminar di Jakarta, pertengahan Maret lalu.

Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraeni, mengatakan, saksi yang dibiayai negara bisa mengurangi biaya kampanye dalam jumlah signifikan. Usul negara membiayai saksi sebenarnya sudah ada sejak lama, namun tindak lanjutnya nihil. “Agak aneh kenapa baru sekarang usul itu disampaikan lagi,” katanya. (bbs/umi/jpnn)

[table caption=”Megadana di TPS” delimiter=”:”]

Jumlah TPS: 630.000
Jumlah saksi: per TPS 2 orang/ partai
Jumlah total saksi: 630.000×2=1.260.000 orang
Honor saksi: Rp50.000/orang
Total honor saksi: 1.260.000xRp50.000= Rp63.000.000.000/partai
Jumlah partai: 12
Total biaya: 12x Rp63.000.000.000=756.000.000.000[/table]

JAKARTA-Angka fantastis muncul jelang Pemilu 2014. Per partai politik (Parpol) membutuhkan Rp63 miliar hanya untuk membayar saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Artinya, jika dikalikan dengan 12 parpol peserta Pemilu, maka untuk saksi saja dana yang tersedot mencapai Rp756 miliar!
Setidaknya hal ini diungkapkan Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Fernita Darwis. Dia mengatakan, wajar jika parpol mengeluarkan dana besar untuk kampanye saat Pemilu. Alokasi dana biasanya dihabisksn untuk iklan di media massa, pembuatan atribut kampanye, dan biaya acara partai seperti musyawarah kerja tingkat nasional. Namun, sejumlah pos pengeluaran itu, biaya terbesarn
sebenarnya untuk membayar saksi di TPS.

“Setiap tempat pemungutan suara (TPS) membutuhkan dua saksi,” kata Fernita, Jumat (7/6).

Dengan jumlah TPS seluruh Indonesia 630.000, maka jumlah saksi akan mencapai 1.260.000 orang. Seperti diketahui, honor saksi minimal Rp50.000. Artinya, setiap parpol akan mengeluarkan Rp63 miliar. Angka ini dikalikan 12 parpol, maka akan muncul Rp756 miliar. Dan, itu masih angka minimal. “Total bisa Rp1,2 triliun sampai Rp1,5 triliun untuk 12 parpol,” tambahnya.

Fernita mengatakan, untuk memenuhi pengeluaran tersebut, parpol mengandalkan dana pemasukan yang beradal dari iuran wajib kader yang duduk di parlemen, dan sumbangan sukarela dari sumber lain. Untuk itu, usulan subsidi dari negara muncul. “Ya, subsidi dari pemerintah yang berasal dari APBN,” katanya.

Fernita menjelaskan, subsidi yang berasal dari APBN besarnya tergantung pada jumlah perolehan suara yang diraih parpol saat Pemilu 2009. Ia mencontohkan, PPP, yang pada Pemilu 2009 mendapatkan sekitar 5 juta suara, mendapatkan subsidi Rp108 per suara. Dengan demikian, PPP memperoleh subsidi dari pemerintah sebesar Rp530 juta per tahun. “Subsidi sebesar itu tidak bisa untuk mengakomodir seluruhnya,” ujarnya.

Dengan perhitungan besarnya biaya pemilu dan jumlah pemasukan partai, ia mengaku tak heran jika ada potensi korupsi oleh calon anggota legislatif terpilih. “Dua tahun pertama akan digunakan untuk mencari pengganti modal. Dua tahun sisanya akan dibuat untuk mencari uang buat pemilu mendatang,” ujarnya.

Soal dana saksi yang idealnya disubsidi negara juga didengungkan calon legislator yang akan bertarung pada Pemili 2014 dari PPP. “Kenapa tidak direalisasikan usul negara ikut membayar saksi?” kata Taufik Hidayat, caleg PPP, belum lama ini.

Taufik mengatakan, biaya yang harus dikeluarkan calon dan partai untuk mengongkosi saksi cukup besar. Terlebih lagi, para saksi harus disebar di setiap tempat pemungutan suara untuk menjamin rekapitulasi suara sesuai dengan fakta.

Caleg Golkar, Leo Nababan, mengatakan hal serupa. Keharusan calon mempekerjakan saksi memakan banyak biaya. Namun, jika calon tak menyewa saksi, dikhawatirkan rekapitulasi suara dimanipulasi. “Hilang suara kami jika tak ada saksi,” ujarnya.

Wasekjen Partai Golkar ini mengusulkan agar negara membiayai saksi dalam Pemilu. Leo menilai pembiayaan saksi selama ini justru membebani para caleg.

“Wajar saja caleg keluar banyak uang karena kita harus membiayai saksi-saksi di TPS,” katanya.

Leo menuturkan, rata-rata seorang caleg harus mengeluarkan uang pribadi dari Rp300 ribu sampai dengan Rp400 ribu untuk membayar setiap saksi. Oleh karena itu, biaya politik yang dikeluarkan mereka cukup tinggi. “Negara harus bertanggung jawab kalau kita mau rendah biayanya,” ujarnya.
Leo melanjutkan, kondisi yang berbeda terjadi di negara lain. Di sana, katanya, negara menanggung biaya para saksi. “Wacana negara membiayai partai terlalu jauh. Cukup saksinya saja dibiayai,” terangnya.

Dalam disertasinya beberapa waktu lalu, Wakil Ketua DPR Pramono Anung memprediksi biaya politik yang dikeluarkan oleh para caleg dalam Pemilu tahun 2014 mendatang akan melonjak tajam. Sebab, sistem Pemilu yang dianut masih tetap sama, yaitu proporsional terbuka.

Dalam disertasinya, Pramono yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI itu meneliti tentang kecenderungan kenaikan biaya politik dari pemilu 2004 ke Pemilu 2009. Hasilnya adalah kenaikan yang kian ‘gila’, mencapai 3,5 kali lebih besar.

“Dari Rp800 juta menjadi Rp1,2 miliar sampai dengan Rp2 miliar untuk tahun 2009. Menunjukkan pembiayaan cukup besar,” ujarnya dalam satu seminar di Jakarta, pertengahan Maret lalu.

Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraeni, mengatakan, saksi yang dibiayai negara bisa mengurangi biaya kampanye dalam jumlah signifikan. Usul negara membiayai saksi sebenarnya sudah ada sejak lama, namun tindak lanjutnya nihil. “Agak aneh kenapa baru sekarang usul itu disampaikan lagi,” katanya. (bbs/umi/jpnn)

[table caption=”Megadana di TPS” delimiter=”:”]

Jumlah TPS: 630.000
Jumlah saksi: per TPS 2 orang/ partai
Jumlah total saksi: 630.000×2=1.260.000 orang
Honor saksi: Rp50.000/orang
Total honor saksi: 1.260.000xRp50.000= Rp63.000.000.000/partai
Jumlah partai: 12
Total biaya: 12x Rp63.000.000.000=756.000.000.000[/table]

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/