Insiden kematian lima tenaga kerja Indonesia dengan profesi anak buah kapal (TKI-ABK) perikanan terus menjadi perhatian publik. Salah satu fakta yang mencuat adalah wajah lama dari pihak-pihak yang terlibat dalam insiden tersebut. Poin terkait masih amburadulnya sistem penyaluran dan perlindungan TKI nelayan di Indonesia pun tak terelakkan.
JAKARTA, SUMUTPOS.CO-Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Lalu Muhammad Iqbal menjelaskan, pihaknya masih terus memantau terkait tindak lanjut pihak perusahaan soal insiden tersebut. Salah satunya, pemberian hak-hak kompensasi para korban oleh perusahaan yang mempekerjakan. Hal tersebut diakui sudah berhasil dipastikan akan dipenuhi oleh pihak perusahaan.
“Kami sudah mendapatkan pernyataan tertulis bahwa perusahaan siap bertanggung jawab penuh,” jelasnya saat dihubung Jawa Pos (Grup Sumut Pos) kemarin (7/6).
Hal tersebut, lanjut dia, juga berlaku bagi 17 TKI-ABK lainnya yang ada dalam dua kapal yang sama. Mereka bersama lima korban meninggal bekerja di bawah perusahaan Taiwan Chi Hsiang Fishery co. di Taiwan. Mereka terbagi dalam dua kapal yakni Bintang Samudera 68 dan Bintang Samudera 11 saat terombang-ambing di lautan wilayah Senegal selama dua bulan.
“Saat ini, 17 WNI yang berada di dua kapal yang sama dalam keadaan baik. Mereka sedang ditampung di tempat yang disediakan agen sekitar wilayah pelabuhan,” ungkap Pelaksana Fungsi Protokol dan Konsuler Kedutaan Besar RI di Dakar, Senegal, Setyo Hargianto.
Terkait pemulangan 17 WNI tersebut, Setyo mengaku sedang menunggu keputusan dari perusahaan. Namun, dia mendapatkan informasi jika pihak perusahaan sendiri tengah dalam kondisi kesulitan finansial. Karena itu, proses pemulangan diakui berjalan sedikit lambat. “Kami sudah sampaikan harapan agar mereka segera dipulangkan,” jelasnya.
Sebagai informasi, Chi Hsiang pun diakui bersedia untuk memenuhi semua hak 17 WNI tersebut meski belum selesai kontrak.
Lalu bagaimana soal penanganan terhadap perusahaan-perusahaan yang terkait” Iqbal sendiri enggan menjawab. Menurutnya, penanganan perusahaan penyalur para ABK tersebut sudah ada dalam kewenangan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI).
“Yang saya bingung kok ada perusahaan yang mengirim ABK tapi tak mengetahui kondisi mereka dalam sekian bulan,” celetuknya.
Yang jelas, pihak-pihak penyedia kerja pada insiden ini memang mencurigakan. Dari sisi Indonesia, beberapa agen penyalur yakni sempat mencuat dalam kasus ABK WNI lainnya. Misalnya, PT Puncak Jaya Samudera yang menjadi salah satu penyalur kapal Kapal Hsian Fu Chuen. Kapal yang mengakut 21 TKI-ABK itu hilang di perairan Selatan Argentina 26 Februari lalu. Sedangkan, PT Anugerah Bahari Pasifik dan PT Arrion Mitra Bersama pernah disangkutkan dengan kasus penelantaran TKI-ABK di Capetown, Afrika Selatan, 2014 lalu.
Dari sisi Taiwan, nama Chi Hsiang Fishery memang belum banyak dikenal. Namun, menurut sumber terpercaya, ABK yang diterima perusahaan ini juga terkait dengan Kwo Jeng yang sudah termahsyur. Perusahaan itu sempat terlibat insiden penelantaran 187 ABK di Trinidad dan Tobago pada 2013.
Saat insiden itu terjadi, Kementerian Luar Negeri pun menyewa pengacara untuk menuntut perusahaan tersebut untuk membayar gaji yang belum dibayar pada korban penelantaran. Saat itu, Kwo Jeng pun menyatakan telah bangkrut sehingga tidak bisa membayar kewajiban. (bil/jpnn/azw)