Ananda Sukarlan, Pianis Indonesia yang Jadi Anggota Dewan Musik Spanyol
Nama Ananda Sukarlan sudah berkibar di Eropa selama dua dekade. Salah seorang maestro piano asal Indonesia itu juga telah meraup banyak prestasi kelas dunia di ranah rantau. Karya-karya hebatnya pun tak lepas dari sentuhan musik daerah di tanah air.
Agung putu iskandar, Jakarta
Kendati sudah banyak meraih award dan pengalaman di bidang musik, Ananda termasuk orang yang sederhana. Ditemui di Ananda Sukarlan Center for Music and Dance di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, Jumat lalu (1/7), lelaki 43 tahun tersebut tampil sederhana dengan batik hitam-putih dan celana jins. “Kebetulan, saya sedang menunggu orang yang hendak latihan,” kata Ananda kepada Jawa Pos.
Hari-hari di Indonesia adalah hari yang sibuk bagi Ananda. Banyak orang yang menunggu giliran berguru langsung kepada maestro pianis berdarah Solo tersebut.
Kesempatan emas berguru langsung kepada Ananda memang harus dimanfaatkan dengan baik oleh para pianis Indonesia. Itu adalah momen yang langka. Sebab, ayah Alicia Pirena Sukarlan, 12, tersebut sangat jarang tinggal lama di Indonesia.
Karena itu, banyak pianis muda yang langsung mengontak Ananda untuk meminta jatah waktu begitu dirinya mendarat di Jakarta. Selain Jakarta, ada peserta yang berasal dari Manado, Surabaya, dan Bandung.
Bahkan, sebuah konser plus coaching intensif selama seminggu rencananya dilangsungkan di Bandung pada Senin mendatang (11/7). Kebanyakan peserta adalah pianis muda. “Sebab, sebulan lagi saya kembali ke Spanyol,” katanya.
Biasanya, Ananda mampir ke Indonesia setiap ada konser di Queensland, Australia. Karena cukup dekat, dia menyempatkan untuk mampir. “Juga, kadang-kadang kan harus transit di Indonesia. Jadi, ya sekalian saja,” ujar lelaki berkacamata tersebut.
Meski banyak yang ingin berguru kepada dirinya, lelaki kelahiran Jakarta itu tak ingin disebut “guru” atau menyebut anak-anak yang dididiknya dengan “murid”. Alasannya, dia merasa tak pantas disebut guru. Guru, kata Ananda, adalah mereka yang mengawasi dengan intensif perkembangan anak didiknya. “Padahal, saya kan hanya kebetulan memberikan latihan hanya saat sempat bertemu,” ujarnya.
Di Spanyol, Ananda saat ini berdomisili di Bilbao. Sebuah kawasan di bagian utara Spanyol. “Bisa dibilang, itu adalah “pantura”-nya Spanyol, langsung berhadapan dengan lautan yang memisahkan Spanyol dan Inggris,” tuturnya.
Sudah lebih dari 20 tahun Ananda tinggal di Spanyol. Bahkan, dia sudah mengantongi permanent resident (penghuni tetap) meski tetap mempertahankan status sebagai warga negara Indonesia. Pernikahannya dengan warga Spanyol, Raquel Gomez, membuahkan buah hati Alicia Pirena Sukarlan yang kini berusia 12 tahun.
Nama Ananda di Spanyol, bahkan Eropa, sudah kondang. Dia dianggap sebagai salah seorang maestro pianis sekaligus komponis Eropa. Dia sering berkeliling Eropa menggelar pertunjukan musik dan memimpin para kru yang umumnya asli Spanyol. Dia juga beberapa kali mengadakan konser solo di Rotterdam, Berlin, Madrid, Lisabon, hingga Queensland.
Perusahaan rekaman di Belanda, Austria, Italia, dan Spanyol telah merekam penampilannya dalam kemasan CD. Pada 1998, Ananda meraih hadiah kedua Vienna Modern Master Performers Recording Award. Rekaman yang terakhir bertajuk Complete Piano Works by Santiago Lanchares menjadi best seller di Spanyol untuk kategori musik klasik kontemporer.
Sederet prestasi telah diraih Ananda. Pada 1993, dia panen penghargaan. Di antaranya, First Prize “Nadia Boulanger”, Concours International d”Orleans, First Prize “Xavier Montsalvatge”, dan Concurso de Musica del Siglo XX Xavier Montsalvatge, Ginora, Spanyol.
Pada 1994, dia juga mendapatkan First Prize “Blanquefort Piano Competition”, Bordeaux, Prancis, serta First Prize and Special Prize for The Best Interpreter of Spanish Music “City of Ferrol Piano Competition”, Galicia, Spanyol, 2005.
Atas prestasinya itu, pada kurun 2003?2007, Ananda dilantik menjadi anggota Ambassador of Spanish Music atau semacam anggota dewan musik Spanyol yang hanya beranggota sepuluh orang. Dewan tersebut langsung berada di bawah kendali ratu Kerajaan Spanyol.
“Dalam musik-musik saya, saya selalu memasukkan unsur keindonesiaan. Banyak nada gamelan yang sudah saya modifikasi saya masukkan dalam komposisi-komposisi yang saya buat. Bahkan, tanpa sadar, saya juga memasukkan lagu-lagu seperti Jali-Jali dan Angin Mamiri,” jelasnya.
Ananda tidak pernah secara resmi belajar gamelan. Saat masih kecil, dia kerap nonton acara-acara gamelan di TVRI. Kadang-kadang, dia sampai tertidur dengan televisi masih menayangkan musik-musik gamelan. “Mungkin, dari situ secara tidak sadar saya memahami musik gamelan,” ujarnya.
Kendati sudah sukses di Eropa, dia juga tetap ingat kampung halaman. Dia beberapa kali mengadakan opera berdasar karya-karya sastrawan. Di antaranya, Pro Patria yang diadaptasi dari karya Sutan Takdir Alisjahbana berjudul Kalah dan Menang, Mengapa Kau Culik Anak Kami berdasar drama tulisan Seno Gumira Ajidarma, dan Ibu yang Anaknya Diculik Itu yang diadaptasi dari monolog Seno Gumira Adjidarma.
Ananda juga sibuk dengan rencana memberikan pendidikan musik bagi anak-anak tak mampu. Bersama Yayasan Musik Sastra Indonesia, dia akan merekrut 20 anak yang tinggal di sekitar Ananda Sukarlan Center for Music and Dance. Mereka akan diberi pendidikan musik gratis.
“Awalnya dari sekitar kita saja. Setelah itu, baru yang lebih luas. Saya berterima kasih dan bersyukur kepada Tuhan dengan cara mendidik anak-anak muda belajar piano,” katanya.
Ananda sejatinya bukan orang yang lahir dari kelurga pemusik. Bungsu di antara tujuh bersaudara tersebut bahkan sempat dikeluarkan dari sekolah musik karena dianggap tak berbakat. Namun, Ananda berhasil membuktikan bahwa bakat bukan satu-satunya faktor yang membuat musikus sukses. “Selain bakat, yang lebih penting adalah kerja keras,” tegasnya.
Selain itu, kata dia, yang penting adalah kecintaan terhadap piano dan musik. Dirinya sering menemui orang tua yang terlalu terobsesi terhadap anak-anaknya. Mereka memaksa buah hatinya untuk bekerja terlampau keras belajar piano.
Akibatnya, anak-anak itu menjadi “karbitan”. Mereka memang mahir bermain piano pada usia belia. Namun, pada usia yang lebih dewasa, mereka umumnya menghilang. Sebab, saat dewasa, mereka biasanya berontak kepada orang tua dengan tidak meneruskan keterampilan bermain piano. “Orang tua jangan terlalu memaksa. Selama anak enjoy, oke. Tapi, kalau nggak, jangan. Kasihan anak,” ujarnya.
Ananda mulai belajar musik pada usia 5 tahun. Setelah lulus dari Kolese Kanisius, Jakarta, 1986, dia melanjutkan ke University of Hartford di Connecticut, AS, dengan beasiswa dari Petrof Piano.
Saat masih berusia 17 tahun, dia pergi ke Eropa dan meraih summa cum laude dari the Royal Conservatory of Den Haag, Belanda. Sejak saat itu, Ananda berkali-kali tampil dalam festival dan simponi orkestra di berbagai kota di Eropa.
Dirinya ingat bahwa semua proses tersebut dilalui dengan kerja keras, bahkan terkadang harus bonek alias bondo nekat. Dia pernah harus “bonek” ke Prancis dari Spanyol. Karena tidak punya duit, dia nekat naik kereta tanpa bayar. “Ketika karcis hendak ditagih, saya pergi ke toilet,” ungkapnya lantas terkekeh.
Tapi, cara-cara nekat itu hanya dilakukan pada masa-masa “perjuangan”. Kini, Ananda menyatakan tak lagi melakukannya. “Selama saya bisa lurus, saya akan terus lurus. Tapi, kalau kondisi memaksa, kita perlu cara-cara yang tidak biasa,” tegasnya lantas tersenyum. (*/c5/iro)