Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pemeriksaan saksi-saksi terkait pelanggaran etik yang dilakukan Akil Mochtar, Senin (7/10) malam. Sidang tersebut bahkan dipancarluaskan secara live oleh salah satu televisi nasional.
Pakar Hukum Tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendra berpendapat langkah Majelis Kehormatan tersebut bisa mengacaukan proses penyidikan dugaan suap yang tengah dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu, pemeriksaan tersebut juga bisa merusak penyidikan Badan Narkota Nasional (BNN) terkait narkoba yang ditemukan di ruangan kerja Akil.
“Hemat saya, pemeriksaan pelanggaran etik sudah tidak perlu lagi dilakukan oleh Majelis Kehormatan. Sebab masalah terkait hakim dan ketua MK Akil Mochtar sudah ditangani aparat penegak hukum, dalam hal ini KPK dan BNN,” kata Yusril.
Yusril mempertanyakan Sidang Majelis Kehormatan yang dilakukan terbuka, sementara penyidikan KPK dan BNN bersifat tertutup sesuai hukum acara pidana. Apa jadinya, menurut Yusril, kalau saksi-saksi yang hanya terbatas diperiksa Majelis Kehormatan hasilnya beda dengan penyidikan yang dilakukan KPK dan BNN.
“Rakyat bisa tambah bingung dan ini bisa merusak kredibilitas Majelis Kehormatan MK. Rakyat awam susah untuk membedakan pemeriksaan etik dengan pemeriksaan hukum,” jelas Yusril.
“Keduanya memang berkaitan satu sama lain dan sulit dipisahkan. Karena itu saya berpendapat, kalau aparat penegak hukum telah menyidik hakim MK, maka sebaiknya Majelis Kehormatan tidak perlu lagi lakukan pemeriksaan,” demikian Yusril.
Sementara itu, Kabaghumas BNN Kombes Sumirat Dwiyanto menyatakan, salah satu narkoba yang ditemukan di ruang kerja mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar merupakan model baru. Bentuknya, pertama kali ditemukan sepanjang BNN menyelidiki kasus narkoba di Indonesia.
Menurut Sumirat, dua butir pil yang ditemukan awalnya diduga amphetamin (ekstasi). Namun, setelah diselidiki ternyata memiliki kandungan metamphetamin (sabu) padat yang dibentuk berupa pil.
“Itu modelnya baru. Untuk di Indonesia ini yang pertama, supaya penggunaannya lebih praktis saja,” kata Sumirat kemarin (07/10).
Sabu padat tersebut sengaja dimodifikasi oleh pengedar atau bandar agar penggunaannya lebih praktis dan juga sebagai cara mengelabui petugas. “Biasanya bentuknya kristal, tapi ini pil. Kalau kristal berarti butuh alat seperti bong. Jadi ini biasanya sudah dimodifikasi oleh para pengedar atau Bandar. Langsung telan,” katanya.
Sumirat menjelaskan, narkotika milik Akil itu memang telah beredar di luar negeri dan di wilayah Asia sudah ada di negara Thailand. Sedangkan di Indonesia, baru ditemukan dari ruang mantan Ketua MK itu.
Terkait hasil tes urine terhadap Akil Mochtar, Sumirat mengatakan, hasilnya masih dalam proses pemeriksaan di laboratorium sejak Minggu (6/10) kemarin. “Saat ini masih dilakukan pemeriksaan di laboratorium. Kemungkinan besar, hasilnya keluar besok. Nanti akan kita umumkan ,” kata perwira menengah senior ini.
Terpisah, anggota Kompolnas Edi Saputra Hasibuan menyoroti fungsi pencegahan yang dilakukan BNN dan Mabes Polri . “Bagaimana sekelas Ketua MK bisa mendapatkan narkoba dengan gampang dan disimpan di ruangannya tanpa diketahui,” katanya.
Jika hal itu bisa dilakukan oleh pejabat sekelas Akil, maka logika Edi, akan lebih gampang lagi bagi masyarakat umum. “Seharusnya ada pemantauan yang intensif terhadap para pejabat negara,” katanya.
Penemuan narkoba di ruang kerja Akil, menurut Edi, membuktikan upaya sosialisasi anti narkoba di lingkungan pemerintahan gagal. “Itu baru satu yang diketahui, bagaimana dengan pejabat pejabat lain, di instansi lain, mereka kok bisa steril dari pengawasan,” katanya. (dem/rm/rdl/jpnn)