30 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Hanya Diberhentikan sebagai Ketua, Anwar Usman Tetap Hakim MK, Putusan MKMK Dinilai Kompromi

SUMUTPOS.CO – Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK, dinilai berwajah dua. Dalam satu sisi putusan itu fungsional alias bisa dijalankan, namun juga dianggap berkompromi

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran (Unpad), Prof Susi Dwi Harijanti menuturkan, putusan MKMK memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK, namun masih menjadi hakim MK itu memang pilihan terbaik. Sebab, dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) yang ada semacam kekosongan hukum. “Kalau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai hakim konstitusi, seharusnya ada MKMK banding. Tapi, ini tidak ada, sehingga tidak bisa melakukan pembelaan diri,” paparnya.

Namun begitu, putusan tersebut terlihat sangat berkompromi. Sebab, sesuai PMK sanksi itu hanya ada terguran lisan, tertulis dan PTDH. “Tidak ada itu pemberhentian sebagai Ketua MK, hanya ada PTDH sebagai Hakim Konstitusi,” jelasnya.

Karena itu, lanjutnya, seharusnya dissenting opinion dari Hakim Bintan Saragih itu juga menjadi putusan dari MKMK. Dia mengatakan, bagaimana bisa MKMK menyatakan pelanggaran berat terjadi. Tapi, tetap dipertahankan sebagai hakim konstitusi. “Ini mungkin karena Prof Jimly menyebut soal ketenangan dan kepastian hukum,” paparnya.

Di sisi lain, yang juga menjadi tanda tanya adalah MKMK mengesampingkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. “Kami tadi tunggu apa alasan mengesampingkan itu, tapi ternyata tidak ada alasan untuk mengesampingkannya,” jelasnya di luar ruang sidang MK kemarin.

Sementara Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Yance Arizona menemukan kesamaan soal mengesampingkan Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman. “Ini aneh, dikesampingkan tapi tidak jelas alasannya,” paparnya.

Menurutnya, seharusnya pasal 17 Ayat 6 UU Kekuasaan Kehakiman itu menjadi terobosan hukum dalam menyatakan sah tidaknya putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023. Sebab, pintu masuknya adalah pelanggaran kode etik. Namun, dalam UU tersebut tidak menyebutkan siapa yang berwenang menyatakan sah tidaknya putusan. “Tapi, itu tidak digunakan oleh MKMK,” urainya.

Secara umum, putusan MKMK tersebut bisa dijalankan atau feasibility. Hakim MKMK sepertinya ingin kasus ini cepat diselesaikan. “Tapi muncul masalah lainnya, sebab dalam PMK itu tidak ada aturan pemberhentian sebagai Ketua MK. Hanya ada diberhentikan sebagai hakim konstitusi. Ini bisa dipertanyakan,” urainya.

Sementara Prof Susi menambahkan, dengan semua kejadian di MK tersebut, beserta putusan MKMK yang membuat Anwar Usman tidak lagi bisa terlibat dalam mengadili sengketa pilpres, maka sebaginya Anwar Usman mengundurkan diri dari posisi hakim konstitusi. “Saya menghimbau begitu karena telah melakukan judicial discualification sendiri,” paparnya.

Sementara itu, Ketua MKMK Jimly Ashiddiqie mengakui, sanksi pemberhentian dari ketua sebagai titik moderat. Dia beralasan, jika diberhentikan, maka wajib diberi hak pembelaan melalui MKMK Banding sesuai ketentuan.

Padahal, kelembagaan MKMK Banding juga belum dibentuk. Imbasnya, bisa menciptakan ketidakpastian hukum. “Membuat putusan majelis kehormatan tidak pasti,” ujarnya.

Padahal di sisi lain, Pemilu sudah di depan mata. Yang proses tahapannya membutuhkan kepastian hukum. Jika tidak, bisa menghancurkan kredibilitas pemilu. Jimly berharap, putusan MKMK bisa menjadi jalan keluar. “Mudah-mudahan dilaksanakan, dihormati sebagaimana mestinya,” harapnya.

Sebelumnya, saat membacakan pertimbangan putusan, Jimly menegaskan, pihaknya tidak berwenang menilai putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait dengan uji materi Pasal 169 huruf q dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. MKMK hanya berwenang memutuskan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi. “Majelis Kehormatan tidak berwenang menilai putusan Mahkamah Konstitusi, in casu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023,” kata Jimly.

MKMK menilai, ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak berlaku untuk putusan MK. “Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU 48/2009 tidak dapat diberlakukan dalam putusan perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi,” ucap Jimly.

MKMK menilai, Ketua MK Anwar Usman dan delapan hakim konstitusi lainnya terbukti melanggar kode etik, terkait bocornya informasi rapat permusyawaratan hakim (RPH) dan pembiaran atas konflik kepentingan yang terjadi di MK. Karena itu, MKMK menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan terhadap Saldi Isra dan delapan hakim konstitusi lainnya, termasuk Ketua MK Anwar Usman. “Menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif terhadap hakim terlapor dan hakim konstitusi lainnya,” tegas Jimly. (idr/far/jpg)

SUMUTPOS.CO – Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK, dinilai berwajah dua. Dalam satu sisi putusan itu fungsional alias bisa dijalankan, namun juga dianggap berkompromi

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran (Unpad), Prof Susi Dwi Harijanti menuturkan, putusan MKMK memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK, namun masih menjadi hakim MK itu memang pilihan terbaik. Sebab, dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) yang ada semacam kekosongan hukum. “Kalau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai hakim konstitusi, seharusnya ada MKMK banding. Tapi, ini tidak ada, sehingga tidak bisa melakukan pembelaan diri,” paparnya.

Namun begitu, putusan tersebut terlihat sangat berkompromi. Sebab, sesuai PMK sanksi itu hanya ada terguran lisan, tertulis dan PTDH. “Tidak ada itu pemberhentian sebagai Ketua MK, hanya ada PTDH sebagai Hakim Konstitusi,” jelasnya.

Karena itu, lanjutnya, seharusnya dissenting opinion dari Hakim Bintan Saragih itu juga menjadi putusan dari MKMK. Dia mengatakan, bagaimana bisa MKMK menyatakan pelanggaran berat terjadi. Tapi, tetap dipertahankan sebagai hakim konstitusi. “Ini mungkin karena Prof Jimly menyebut soal ketenangan dan kepastian hukum,” paparnya.

Di sisi lain, yang juga menjadi tanda tanya adalah MKMK mengesampingkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. “Kami tadi tunggu apa alasan mengesampingkan itu, tapi ternyata tidak ada alasan untuk mengesampingkannya,” jelasnya di luar ruang sidang MK kemarin.

Sementara Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Yance Arizona menemukan kesamaan soal mengesampingkan Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman. “Ini aneh, dikesampingkan tapi tidak jelas alasannya,” paparnya.

Menurutnya, seharusnya pasal 17 Ayat 6 UU Kekuasaan Kehakiman itu menjadi terobosan hukum dalam menyatakan sah tidaknya putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023. Sebab, pintu masuknya adalah pelanggaran kode etik. Namun, dalam UU tersebut tidak menyebutkan siapa yang berwenang menyatakan sah tidaknya putusan. “Tapi, itu tidak digunakan oleh MKMK,” urainya.

Secara umum, putusan MKMK tersebut bisa dijalankan atau feasibility. Hakim MKMK sepertinya ingin kasus ini cepat diselesaikan. “Tapi muncul masalah lainnya, sebab dalam PMK itu tidak ada aturan pemberhentian sebagai Ketua MK. Hanya ada diberhentikan sebagai hakim konstitusi. Ini bisa dipertanyakan,” urainya.

Sementara Prof Susi menambahkan, dengan semua kejadian di MK tersebut, beserta putusan MKMK yang membuat Anwar Usman tidak lagi bisa terlibat dalam mengadili sengketa pilpres, maka sebaginya Anwar Usman mengundurkan diri dari posisi hakim konstitusi. “Saya menghimbau begitu karena telah melakukan judicial discualification sendiri,” paparnya.

Sementara itu, Ketua MKMK Jimly Ashiddiqie mengakui, sanksi pemberhentian dari ketua sebagai titik moderat. Dia beralasan, jika diberhentikan, maka wajib diberi hak pembelaan melalui MKMK Banding sesuai ketentuan.

Padahal, kelembagaan MKMK Banding juga belum dibentuk. Imbasnya, bisa menciptakan ketidakpastian hukum. “Membuat putusan majelis kehormatan tidak pasti,” ujarnya.

Padahal di sisi lain, Pemilu sudah di depan mata. Yang proses tahapannya membutuhkan kepastian hukum. Jika tidak, bisa menghancurkan kredibilitas pemilu. Jimly berharap, putusan MKMK bisa menjadi jalan keluar. “Mudah-mudahan dilaksanakan, dihormati sebagaimana mestinya,” harapnya.

Sebelumnya, saat membacakan pertimbangan putusan, Jimly menegaskan, pihaknya tidak berwenang menilai putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait dengan uji materi Pasal 169 huruf q dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. MKMK hanya berwenang memutuskan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi. “Majelis Kehormatan tidak berwenang menilai putusan Mahkamah Konstitusi, in casu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023,” kata Jimly.

MKMK menilai, ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak berlaku untuk putusan MK. “Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU 48/2009 tidak dapat diberlakukan dalam putusan perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi,” ucap Jimly.

MKMK menilai, Ketua MK Anwar Usman dan delapan hakim konstitusi lainnya terbukti melanggar kode etik, terkait bocornya informasi rapat permusyawaratan hakim (RPH) dan pembiaran atas konflik kepentingan yang terjadi di MK. Karena itu, MKMK menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan terhadap Saldi Isra dan delapan hakim konstitusi lainnya, termasuk Ketua MK Anwar Usman. “Menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif terhadap hakim terlapor dan hakim konstitusi lainnya,” tegas Jimly. (idr/far/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/