Bertentangan dengan UUD 1945
JAKARTA-Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat keputusan yang mengejutkan. Kemarin, di ruang sidang lantai 2 Gedung MK, Mahfud MD dan para hakim lainnya memutuskan untuk menghilangkan status Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI). Lembaga penjaga institusi itu memastikan kalau RSBI bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh hakim Anwar Usman, MK menyoroti mahalnya masuk sekolah dengan status RSBI atau SBI (sekolah berstandar Internasional). Menurutnya, ada celah sekolah memungut biaya tambahan tanpa melalui komite sekolah. “Hanya keluarga mampu dan kaya yang bisa menyekolahkan anaknya di SBI/RSBI,” ujarnya.
Meski demikian, hakim MK tidak menutup mata ada program khusus untuk anak tidak mampu. Tetapi, kesempatan tersebut sangat sedikit dan hanya ditujukan pada anak-anak yang sangat cerdas. Sedangkan anak tidak mampu, kurang cerdas, latar belakang lingkungannya terbatas, tidak mungkin bisa sekolah di SBI/RSBI.
Komersialisasi sektor pendidikan itu bertentangan dengan prinsip konstitusi. Padahal jelas, berdasar UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 menyebutkan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Jika status sekolah itu tetap dipertahankan, perlakuan berbeda antara sekolah SBI/RSBI dan biasa makin terlihat.
“Baik dalam hal sarana dan prasarana, pembiayaan, maupun output pendidikan. Termasuk perlakuan beda terhadap siswa,” imbuhnya. Padahal, prinsip konsitusi menyebutkan harus ada perlakuan yang sama antarsekolah dan antarpeserta didik. Apalagi, jika sekolah itu sama-sama milik pemerintah.
MK tidak yakin keberadaan SBI/RSBI bisa memajukan pendidikan nasional. Menurutnya, segala perbedaan fasilitas justru membuat sekolah berstatus SBI/RSBI saja yang kualitas rata-ratanya lebih baik. Bagaimana dengan sekolah biasa? tentu saja tertatih mengejar. Padahal, sekolah yang berstatus SBI/RSBI sangat terbatas.
Lebih lanjut hakim Anwar Usman menjelaskan, Mahkamah bukan tidak mendukung adanya perlakuan khusus bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan lebih. Tetapi, tidak tepat jika dilakukan dengan model SBI/RSBI. Dia menyebut cara itu justru memperlihatkan sikap negara yang pilih-pilih pada sekolah.
“Jika negara hendak memajukan, serta meningkatkan kualitas sekolah yang dibiayai oleh negara, maka negara harus memperlakukan sama. Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin seluruh warga negaranya menjadi cerdas. Salah satunya, melalui penyelenggaraan satu sistem pendidikan yang dapat diakses seluruh warga tanpa terkecuali,” tegasnya.
MK juga mempertanyakan standar internasional yang menjadi embel-embel sekolah unggulan itu. Mahkamah berpendapat tidak ada standar internasional yang menjadi rujukan. Jadinya, SBI/RSBI mengambang. Lulusannya bisa kehilangan jati diri bangsa. Kalau sudah demikian, berarti telah mengkhianati maksud dan tujuan pendidikan nasional.
Salah satu yang diungkap dalam fakta persidangan adalah sekolah RSBI cenderung menonjolkan kemampuan siswa berbahasa internasional seperti bahasa Inggris. Mahkamah menilai, istilah standar internasional dalam Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas tidak sesempit itu. “Berpotensi mengikis kebanggaan terhadap bahasa dan budaya nasional Indonesia,” tandasnya.
Kehebatan peserta didik yang tolok ukurnya dengan kemampuan berbahasa asing dinilai tidak tepat. Itu justru bertentangan dengan hakikat pendidikan nasional yang harus menanamkan jiwa nasional dan kepribadian Indonesia kepada anak didik. Dia lantas mengutip Pasal 25 ayat 3 UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.
Isi peraturan itu menyebutkan kalau bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa resmi negara dan berfungsi sebagai bahasa pengantar pendidikan. Artinya, MK tidak melarang sekolah memberikan porsi lebih pada bahasa asing. Tetapi, tidak sebagai pengantar karena bahasa resmi Indonesia masih bahasa Indonesia.
Atas dasar itu, kemarin, Ketua MK, Mahfud MD tidak ragu untuk mengabulkan sepenuhnya gugatan tujuh warga terhadap pasal 50 ayat (3) UU 20/2003 tentang Sisdiknas. Tujuh dari delapan hakim sepakat jika RSBI dibatalkan, dan hanya satu hakim, Achmad Sodiki yang berbeda pendapat. “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Mahfud.
Kuasa hukum pemohon, Wahyu Wagiman, yang tergabung dalam Tim Advokasi Anti Komersialisasi Pendidikan, mengaku puas dengan hasil sidang. Dia menyebut kalau pendidikan memang tidak seharusnya di komesilkan. Keputusan itu, lanjutnya, juga berarti kemenangan bagi warga miskin yang selama ini kesulitan masuk sekolah bermutu. “Kalau SBI/RSBI tidak dihapus, di masa depan akan ada dua generasi berbeda,” terangnya. (dim/jpnn)
SMA dan SMK RSBI di Medan
1. SMAS Sutomo 1 Medan (Mandiri)
2. SMAS Plus Shafiyatul Amaliyah (Mandiri)
3. SMAN 1 Medan (APBN)
4. SMK N 8 Medan
5. SMK N 3 Medan
6. SMK Telkom Sandhy Putra Medan
7. SMK Teladan Medan