Dibukukan, Sisi Pelik Kehidupan Pribadi Pak Harto di Mata Orang-orang Dekatnya
Sebuah buku seputar kisah kehidupan pribadi mantan Presiden Soeharto yang selama ini tak pernah terekspos kemarin di-launching. Judulnya: Pak Harto, The Untold Stories. Tak tanggung-tanggung, ada 133 orang yang bersaksi dalam buku itu. Termasuk lawan-lawan politik Soeharto.
IBNU YUNIANTO, Jakarta
Maret 1981 pukul 03.00. Telepon di kediaman Presiden Soeharto di Jalan Cendana berdering dan diterima ajudan presiden, Letkol Soerjadi. Kala itu Kepala Pusat Intelijen Strategis Letjen TNI Benny Moerdani menelepon dari Bangkok. Dia meminta petunjuk soal operasi pembebasan pesawat DC-9 Woyla milik Garuda Indonesia yang tengah dibajak di Bandara Don Muang.
Soerjadi bergegas menuju kamar tidur presiden hendak membangunkannya. Ternyata, pintu kamar sudah terbuka dan Pak Harto (panggilan akrab Soeharto) sudah di depan pintu. Laporan singkat diberikan dan permohonan petunjuk diminta.
“Namun, Pak Harto hanya menjawab singkat, Benny wis ngerti kudu piye (sudah mengerti harus bagaimana),” ungkap Soerjadi yang kini menjadi ketua umum Pengurus Pusat Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat itu menirukan Soeharto.
Cerita tersebut dimaknai Soerjadi bahwa Pak Harto adalah sosok pemimpin yang memberikan kepercayaan penuh kepada anak buahnya yang tengah bertugas. Di mata Soerjadi, Pak Harto adalah tipe pemimpin yang bekerja tanpa mengenal waktu.
“Selama lima tahun menjadi ajudan, saya tak pernah tahu kapan Pak Harto tidur. Pagi, siang, sore, tengah malam, subuh, setiap kali hendak lapor, beliau selalu ada,” kata pensiunan jenderal berbintang tiga tersebut.
Selama lima tahun menjadi ajudan Pak Harto, Soerjadi mengaku belajar banyak dari bosnya itu. Salah satunya adalah kebiasaan untuk terus belajar dan banyak membaca. “Setiap saat selalu ada kertas di tangan beliau. Entah itu buku, koran, laporan, atau catatan. Ketika sedang ganti baju pun selalu ada buku atau kertas yang terbuka di dekatnya. Entah di lantai, di meja, atau di tempat tidur,” tuturnya.
Penggalan kesaksian itu merupakan salah satu cuplikan isi buku berjudul Pak Harto, The Untold Stories. Bertempat di Museum Purnabakti Pertiwi di kompleks TMII, Jakarta, buku tersebut di-launching sekitar pukul 09.00 kemarin.
Peluncuran buku tersebut dihadiri sejumlah tokoh nasional. Di antaranya, Ketua MPR Taufik Kiemas, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie, mantan Menperin Fahmi Idris, mantan Menkeu J.B. Sumarlin, mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta, Mayjen TNI (pur) Sutoyo N.K., serta Sukardi Rinakit.
Hadir pula mantan Menteri Penerangan Malaysia Zainudin Maidin yang menggantikan eks PM Malaysia Mahathir Mohamad.
Dalam pidatonya, Taufik Kiemas menyatakan memiliki kenangan indah dengan Soeharto menjelang ajalnya. Meski Soeharto berseberangan dengan keluarga Soekarno, Kiemas tak menemukan dendam itu dalam pertemuannya di kediaman Tutut dua minggu sebelum meninggalnya Pak Harto.
“Saya menjenguk Pak Harto yang tengah sakit. Dalam pertemuan itu, Pak Harto menyapa saya dengan sebutan Mas Taufik. Saya merasa ada kesan kekeluargaan yang dalam dengan sebutan itu,” ujarnya.
Dalam pembicaraan singkatnya, Soeharto pun menitip salam untuk mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. “Terima kasih ya, Bu Mega telah berjuang mempertahankan NKRI dan Pancasila. Sampaikan salam saya kepada Ibu Mega,” kata Kiemas menirukan pesan Soeharto.
Kenangan indah tentang Soeharto juga datang dari luar negeri. Mantan Menteri Penerangan Malaysia Tun Sri Zainudin Mahidin menyatakan, negaranya berutang budi kepada Soeharto yang mengakhiri konflik Indonesia-Malaysia pada akhir periode kepemimpinan Soekarno.
“Karena itu, terpatri di benak masyarakat Malaysia untuk mengabadikan nama Soeharto. Kini ada nama Kampong Soeharto, Masjid Soeharto, Rumah Sakit Soeharto, dan Sekolah Kebangsaan Soeharto,” jelasnya.
Zainudin juga menyitir pidato Mahathir saat pemakaman Soeharto yang membela Pak Harto dari tuduhan orang-orang yang telah melupakan jasa-jasanya.
Pak Harto, The Untold Stories adalah buku yang diluncurkan sebagai perayaan ulang tahun ke-90 almarhum Soeharto. Buku 600 halaman itu berisi kisah 133 orang yang pernah bekerja pada Soeharto. Mulai para pejabat tinggi negara, sahabat, hingga orang-orang yang pernah menjadi lawan politiknya.
Eks ajudan Soeharto lainnya, mantan Wakil Presiden Try Soetrisno, mengungkapkan, hal yang paling berkesan dari Soeharto adalah kegemarannya menyamar ketika melakukan kunjungan dadakan (incognito). Pada awal-awal menjabat presiden, dia memang kerap melakukan perjalanan ke berbagai daerah tanpa pemberitahuan kepada pimpinan daerah setempat. Rombongan berangkat dengan tiga mobil kecil yang terdiri atas ajudan, pengawal pribadi, serta dokter kepresidenan.
“Biasanya kami disangoni Bu Tien kering tempe dan ikan teri. Kalau sudah jam makan, biasanya ajudan dan pengawal disuruh makan dulu, beliau meneruskan diskusi dengan petani soal harga pupuk dan beras. Kami sering makan bersama karena kata Pak Harto makan bersama pengawal itu mengingatkannya pada zaman perjuangan,” tuturnya.
Rombongan kecil tersebut sengaja mblusuk ke pedalaman, berhenti di persawahan, bertemu langsung dengan petani, atau ke tempat pelelangan ikan saat subuh. “Kami biasa tidur di mana saja. Pak Harto juga pernah tidur di pinggir jalan, di atas selokan, duduk tanpa alas, dan kepalanya disandarkan ke pagar. Foto yang dijadikan sampul buku ini adalah asli, tidak ada rekayasa,” tegas Try.
Lain lagi cerita mantan Menteri Penerangan Harmoko yang disampaikan dalam buku itu. Mantan wartawan yang ketika menjabat pada era Soeharto terkenal dengan kalimat “atas petunjuk Bapak Presiden” itu menyatakan pernah dinasihati Soeharto. Dia dinasehati agar menjaga kesehatan dengan sering-sering mengonsumsi tiwul dan tempe goreng. “Katanya bisa menurunkan kolesterol. Saya jawab saja, susah mencari tiwul di Jakarta,” ujarnya.
Soeharto terkenal dengan kebiasaannya memancing. Dengan kapal kecil, dia kerap mengajak pengawal dan ajudannya memancing ikan di Teluk Jakarta, Selat Sunda, hingga ke Pangandaran. Soeharto sering difoto media ketika tengah memamerkan ikan besar di ujung tali pancingnya. Nah, suatu ketika berembus isu bahwa Soeharto sebenarnya hebat memancing karena ada Marinir yang menyelam di bawah kapalnya dan memasangkan ikan besar di kail yang dia pegang.
Harmoko pun tergelitik untuk menanyakan kebenaran kabar itu kepada Soeharto. Namun, Soeharto hanya tertawa dan mengajaknya mancing ke Teluk Jakarta. “Ternyata, Pak Harto sering mendapat ikan besar karena mancingnya di atas rumpon dari becak yang sengaja dibuang ke laut untuk menjadi rumah ikan,” tuturnya lantas tergelak.
Karena kegemarannya memancing itu, Soeharto pernah dicemburui Bu Tien. Brigjen TNI (pur) Eddie Marzuki Nalapraya dalam buku tersebut bercerita, suatu ketika dirinya diajak Soeharto memancing ke Pelabuhan Ratu bersama sejumlah pengawal. Ketika hendak berangkat, Bu Tien tiba-tiba menghentikan mobil dan mengetuk kaca.
“Saya segera menurunkan kaca mobil. Sambil tersenyum, Bu Tien berkata, jangan memancing ikan yang rambutnya panjang ya,” ungkapnya.
Putri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut), mengaku paling terkesan dengan falsafah Jawa yang kerap diberikan bapaknya. Salah satunya adalah sa-sa-sa. Yakni, sabar atine, sabar pikolahe, sareh tumindake (selalu sabar, selalu saleh, dan selalu bijaksana).
“Setelah memutuskan berhenti dari jabatan sebagai presiden Republik Indonesia, Bapak tak pernah jemu mengingatkan kami untuk tetap sabar dan jangan dendam,” kenang Tutut.
Dia juga menunjuk satu lagi falsafah yang dituturkan Pak Harto yang kini menjadi pegangannya. Falsafah itu ditulis di bawah foto Pak Harto sepuh yang tengah tersenyum yang dipajang di tengah-tengah ruangan peluncuran buku. Falsafah tersebut berbunyi wong iku kudu ngudi kabecikan, jalaran kabecikan iku sanguning urip (orang itu harus mencari kebaikan, karena kebaikan itu bekal hidup).
Dengan falsafah tersebut, Tutut menyatakan tak memiliki motif politik dalam peluncuran buku itu, selain menguak sisi manusiawi Soeharto untuk mengenang budi baiknya. “Kami mencatat kenang-kenangan itu dalam sebuah buku secara jujur dan tanpa rekayasa. Semua apa adanya,” terangnya. (c5/kum/jpnn)