28.9 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Rika Loretta, Sembilan Tahun Divonis Positif HIV/AIDS

Bangkit Setelah Terjaring Razia Badan Narkotika Nasional

Mengingat tahun 2002 membuat Rika Loretta miskin kata-kata. Ya, pada tahun itulah dia divonis positif HIV/AIDS. Di saat bersamaan, dia pun harus kehilangan pekerjaannya di Malaysia.

Kesuma Ramadhan, Medan

Rika duduk setengah jongkok di samping toilet Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Sumatera Utara, di Jalan  Brigjend Katamso, Selasa (30/11) lalu. Saat itu di gedung milik pemerintah tersebut memang sedang ada acara peluncuran buku, artikel, dan kisah penderita HIV/AIDS, buah karya dr Umar Zein dan Forum Wartawan Kesehatan (Forwakes). “Jangan jauhi penderita HIV, tapi jauhilah penyakitnya,” buka Rika.

Kalimat pendek sarat makna ini dikeluarkannya ketika Sumut Pos mencari tahu latar belakang yang menjadikan Rika positif HIV/AIDS. Sesaat Sumut Pos merasa Rika akan menutup diri. Ternyata tidak. Buktinya, dia mulai bercerita tentang kisahnya.

Awalnya, wanita kelahiran 1976 ini mengaku memiliki kehidupan wajar. Namun, pada 1990-an ketika usia Rika genap 17 tahun, perkenalannya dengan narkoba dimulai. Saat itu, di hari jadinya, sang kakak (seorang pecandu narkoba jenis jarum suntik) menawarkan dirinya untuk mengadakan pesta narkoba. Layaknya lupa akan dunia dan akal sehat, tiga hari berturut-turut Erika terus menggunakan narkoba jarum suntik.

Setelah itu, hidup sebagai pecandu pun terbentuk. Cukup beruntung, Rika memiliki keluarga yang mapan, jadi untuk mendapatkan barang haram itu bukanlah sesuatu yang sulit. “Kalau dulunya ayah saya terbilang memiliki kemampauan finansial yang lumayan sehingga kami tidak terlalu sulit untuk mendapatkan uang buat membeli putaw,” sebutnya.

Hingga pada 1999, Rika mengakui menambatkan hatinya kepada seorang pria setelah berpacaran lima lima tahun. Keduanya melangsungkan pernikahan dengan status sebagai pecandu narkoba. Namun, baru setahun menjalin bahtera rumah tangga, Rrika memutuskan untuk berpisah dengan sang suami karena tak ingin terlarut dalam jurang kehancuran. Dari pernikahan ini, Rika mendapat seorang anak. Sayang, sang pencipta mengambil sang buah hati saat berumur satu hari.

Setelah bercerai, Rika kembali berupaya hidup normal dan kembali ke tengah kehidupan berkeluarga yang selama ini tak pernah dihiraukannya. “Aku memilih bercerai dengan suamiku karena aku gak mau terus terjerumus dalam dunia narkoba. Saat itu yang aku pikirkan bagaimana bisa hidup normal dan diterima kembali oleh keluarga meskipun harus menahankan sakit yang luar biasa akibat sakaw,” ungkapnya.

Ingin mengakhiri penderitaan dari kejamnya dampak narkoba, Rika berusa mengalihkan perhatian dengan memutuskan untuk bekerja sebagai TKW di Malaysia pada 2002, lewat travel milik pamannya. Namun baru beberapa bulan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, penyakit kulit yang tak kunjung sembuh hadir di tengah-tengah kehidupannya.

Saat itu sang majikan memutuskan untuk membawa dirinya menjalani pemeriksaan di sebuah rumah sakit.
Dari pemeriksaan itu, sang majikan mengetahui kalau Rika positif HIV. Tak pelak, Rika langsung dipulangkan tanpa dijelaskan alasannya. Hal ini membuat Rika bingung. Sesampainya di kediaman kedua orangtuanya di Jakarta, Rika baru tersadar jika dirinya dinyatakan positif HIV. Hal ini diketahui setelah ada faks yang sampai ke kantor ayahnya.
Awal mengetahui vonis penyakit yang dideritanya, tak ada kesan takut yang berlebih. Bahkan, Rika hanya bersikap tak acuh, mengingat itu merupakan sebuah konsekuensi yang harus diterimanya. Namun, guncangan psikologis baru dirasakan Rika dua minggu setelah dijatuhi vonis sebagai seorang penderita HIV positif.

Terkesan terasing di keluarga yang masih menganggap tabu penyakit HIV sempat membuat Rika semakin terjerembab dalam lubang kehinaan dan kenistaan. “Saat itu aku seakan terasing, bahkan ayah memilih untuk pindah dari rumah yang biasa mereka tempati. Aku merasa saat itu ayah malu jika tetangga dan masyarakat akan mengetahui penyakitku. Hal itu membuat mentalku semakin jatuh dan mengambil jalan pintas dengan memutuskan kembali untuk menggunakan narkoba,” ucapnya.

Namun seakan mendapatkan sebuah ilham dari Yang Maha Kuasa, pada 2003 Rika terjaring razia yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional. Saat, itu Erika harus menjalani rehabilitasi fisik, mental, dan spiritual lebih kurang dua tahun lamanya.

Di saat-saat masa rehabilitasi, anak ketiga dari empat bersaudara tersebut seakan menemukan kembali dunianya, setelah menjalani rehabilitasi psikologi yang terus mencoba mengembalikan alam sadarnya.
Kesadaran yang semakin tumbuh, menambah kepercayaan Rika untuk bertahan hidup dan mencoba kembali normal dengan memutuskan untuk bekerja di sebuah perusahaan swasta. Hal ini tak lain untuk memenuhi kebutuhan obat ARV yang terbilang cukup mahal.

Mengambil hikmah dari pengalamannya, pada 2005 Erika memutuskan untuk  bergabung dalam sebuah lembaga peduli HIV  Medan Plus, yang dikenalkan oleh sang kakak yang juga memiliki riwayat positif HIV. Bahkan, lewat keseriusannya membantu para penderita yang senasib dengannya, pada 2006 Erika bersama sang kakak, memutuskan untuk ke Aceh dan membangun sebuah LSM peduli HIV,  yakni Medan Aceh Partnership selama empat tahun lamanya sesuai masa kontrak.

Begitulah, hari-hari yang memiliki makna dalam hidupnya terus tumbuh dan berkembang seiring berjalannya waktu. Bahkan pada 2006, Rika seakan mendapatkan kebahagian yang tak ternilai harganya. Dia dipertemukan dengan Sandi, seorang pria yang notabenenya sehat dan tidak berstatus HIV. Sandi memutuskan siap merajut hidup dengan Rika, meskipun harus mengambil resiko yang cukup riskan; tertular HIV.

“Suami saya juga orang yang aktif di beberapa LSM, jadi dia sudah paham akan hal ini. Kendala saya saat itu meyakni kedua orangtua Sandi, namun dengan pendekatan yang cukup lama akhirnya saya diterima dan hidup layaknya orang normal bersama suami,” tutur Rika.

Bahkan di usia pernikahannya yang memasuki lima tahun, sang suami masih dengan status awalnya yakni negatif HIV meskipun telah melakukan berbagai kegiatan bersama hingga kepada hubungan suami isteri. Namun untuk melalui hidup agar tetap terjaga kondisi kesehatannya, Rika membatasi sang suami untuk mendekatinya ketika dirinya sakit maupun sebaliknya.

“Saya rasa saling memahami di antara keduanya adalah kunci hubungan ini tetap bertahan. Karena untuk diketahui HIV tidak mudah ditularkan, bahkan ketika dalam masa subur dan kondisi saya fit kami bahkan pernah melakukan hubungan tanpa alat pengaman (kondom). Alhamdulillah suamiku aman, mengingat penularan HIV dari perempuan ke laki-laki lewat hubungan intim risikonya cukup kecil. Tapi apapun yang terjadi kondom selalu tersedia di rumahku,” ujarnya sembari tersenyum.

Di akhir perbincangan, Rika berpesan kepada masyarakat untuk tidak melakukan diskriminasi kepada para penderita HIV baik lewat media apapun maupu secara langsung. (*)

Bangkit Setelah Terjaring Razia Badan Narkotika Nasional

Mengingat tahun 2002 membuat Rika Loretta miskin kata-kata. Ya, pada tahun itulah dia divonis positif HIV/AIDS. Di saat bersamaan, dia pun harus kehilangan pekerjaannya di Malaysia.

Kesuma Ramadhan, Medan

Rika duduk setengah jongkok di samping toilet Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Sumatera Utara, di Jalan  Brigjend Katamso, Selasa (30/11) lalu. Saat itu di gedung milik pemerintah tersebut memang sedang ada acara peluncuran buku, artikel, dan kisah penderita HIV/AIDS, buah karya dr Umar Zein dan Forum Wartawan Kesehatan (Forwakes). “Jangan jauhi penderita HIV, tapi jauhilah penyakitnya,” buka Rika.

Kalimat pendek sarat makna ini dikeluarkannya ketika Sumut Pos mencari tahu latar belakang yang menjadikan Rika positif HIV/AIDS. Sesaat Sumut Pos merasa Rika akan menutup diri. Ternyata tidak. Buktinya, dia mulai bercerita tentang kisahnya.

Awalnya, wanita kelahiran 1976 ini mengaku memiliki kehidupan wajar. Namun, pada 1990-an ketika usia Rika genap 17 tahun, perkenalannya dengan narkoba dimulai. Saat itu, di hari jadinya, sang kakak (seorang pecandu narkoba jenis jarum suntik) menawarkan dirinya untuk mengadakan pesta narkoba. Layaknya lupa akan dunia dan akal sehat, tiga hari berturut-turut Erika terus menggunakan narkoba jarum suntik.

Setelah itu, hidup sebagai pecandu pun terbentuk. Cukup beruntung, Rika memiliki keluarga yang mapan, jadi untuk mendapatkan barang haram itu bukanlah sesuatu yang sulit. “Kalau dulunya ayah saya terbilang memiliki kemampauan finansial yang lumayan sehingga kami tidak terlalu sulit untuk mendapatkan uang buat membeli putaw,” sebutnya.

Hingga pada 1999, Rika mengakui menambatkan hatinya kepada seorang pria setelah berpacaran lima lima tahun. Keduanya melangsungkan pernikahan dengan status sebagai pecandu narkoba. Namun, baru setahun menjalin bahtera rumah tangga, Rrika memutuskan untuk berpisah dengan sang suami karena tak ingin terlarut dalam jurang kehancuran. Dari pernikahan ini, Rika mendapat seorang anak. Sayang, sang pencipta mengambil sang buah hati saat berumur satu hari.

Setelah bercerai, Rika kembali berupaya hidup normal dan kembali ke tengah kehidupan berkeluarga yang selama ini tak pernah dihiraukannya. “Aku memilih bercerai dengan suamiku karena aku gak mau terus terjerumus dalam dunia narkoba. Saat itu yang aku pikirkan bagaimana bisa hidup normal dan diterima kembali oleh keluarga meskipun harus menahankan sakit yang luar biasa akibat sakaw,” ungkapnya.

Ingin mengakhiri penderitaan dari kejamnya dampak narkoba, Rika berusa mengalihkan perhatian dengan memutuskan untuk bekerja sebagai TKW di Malaysia pada 2002, lewat travel milik pamannya. Namun baru beberapa bulan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, penyakit kulit yang tak kunjung sembuh hadir di tengah-tengah kehidupannya.

Saat itu sang majikan memutuskan untuk membawa dirinya menjalani pemeriksaan di sebuah rumah sakit.
Dari pemeriksaan itu, sang majikan mengetahui kalau Rika positif HIV. Tak pelak, Rika langsung dipulangkan tanpa dijelaskan alasannya. Hal ini membuat Rika bingung. Sesampainya di kediaman kedua orangtuanya di Jakarta, Rika baru tersadar jika dirinya dinyatakan positif HIV. Hal ini diketahui setelah ada faks yang sampai ke kantor ayahnya.
Awal mengetahui vonis penyakit yang dideritanya, tak ada kesan takut yang berlebih. Bahkan, Rika hanya bersikap tak acuh, mengingat itu merupakan sebuah konsekuensi yang harus diterimanya. Namun, guncangan psikologis baru dirasakan Rika dua minggu setelah dijatuhi vonis sebagai seorang penderita HIV positif.

Terkesan terasing di keluarga yang masih menganggap tabu penyakit HIV sempat membuat Rika semakin terjerembab dalam lubang kehinaan dan kenistaan. “Saat itu aku seakan terasing, bahkan ayah memilih untuk pindah dari rumah yang biasa mereka tempati. Aku merasa saat itu ayah malu jika tetangga dan masyarakat akan mengetahui penyakitku. Hal itu membuat mentalku semakin jatuh dan mengambil jalan pintas dengan memutuskan kembali untuk menggunakan narkoba,” ucapnya.

Namun seakan mendapatkan sebuah ilham dari Yang Maha Kuasa, pada 2003 Rika terjaring razia yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional. Saat, itu Erika harus menjalani rehabilitasi fisik, mental, dan spiritual lebih kurang dua tahun lamanya.

Di saat-saat masa rehabilitasi, anak ketiga dari empat bersaudara tersebut seakan menemukan kembali dunianya, setelah menjalani rehabilitasi psikologi yang terus mencoba mengembalikan alam sadarnya.
Kesadaran yang semakin tumbuh, menambah kepercayaan Rika untuk bertahan hidup dan mencoba kembali normal dengan memutuskan untuk bekerja di sebuah perusahaan swasta. Hal ini tak lain untuk memenuhi kebutuhan obat ARV yang terbilang cukup mahal.

Mengambil hikmah dari pengalamannya, pada 2005 Erika memutuskan untuk  bergabung dalam sebuah lembaga peduli HIV  Medan Plus, yang dikenalkan oleh sang kakak yang juga memiliki riwayat positif HIV. Bahkan, lewat keseriusannya membantu para penderita yang senasib dengannya, pada 2006 Erika bersama sang kakak, memutuskan untuk ke Aceh dan membangun sebuah LSM peduli HIV,  yakni Medan Aceh Partnership selama empat tahun lamanya sesuai masa kontrak.

Begitulah, hari-hari yang memiliki makna dalam hidupnya terus tumbuh dan berkembang seiring berjalannya waktu. Bahkan pada 2006, Rika seakan mendapatkan kebahagian yang tak ternilai harganya. Dia dipertemukan dengan Sandi, seorang pria yang notabenenya sehat dan tidak berstatus HIV. Sandi memutuskan siap merajut hidup dengan Rika, meskipun harus mengambil resiko yang cukup riskan; tertular HIV.

“Suami saya juga orang yang aktif di beberapa LSM, jadi dia sudah paham akan hal ini. Kendala saya saat itu meyakni kedua orangtua Sandi, namun dengan pendekatan yang cukup lama akhirnya saya diterima dan hidup layaknya orang normal bersama suami,” tutur Rika.

Bahkan di usia pernikahannya yang memasuki lima tahun, sang suami masih dengan status awalnya yakni negatif HIV meskipun telah melakukan berbagai kegiatan bersama hingga kepada hubungan suami isteri. Namun untuk melalui hidup agar tetap terjaga kondisi kesehatannya, Rika membatasi sang suami untuk mendekatinya ketika dirinya sakit maupun sebaliknya.

“Saya rasa saling memahami di antara keduanya adalah kunci hubungan ini tetap bertahan. Karena untuk diketahui HIV tidak mudah ditularkan, bahkan ketika dalam masa subur dan kondisi saya fit kami bahkan pernah melakukan hubungan tanpa alat pengaman (kondom). Alhamdulillah suamiku aman, mengingat penularan HIV dari perempuan ke laki-laki lewat hubungan intim risikonya cukup kecil. Tapi apapun yang terjadi kondom selalu tersedia di rumahku,” ujarnya sembari tersenyum.

Di akhir perbincangan, Rika berpesan kepada masyarakat untuk tidak melakukan diskriminasi kepada para penderita HIV baik lewat media apapun maupu secara langsung. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/