26.7 C
Medan
Wednesday, May 22, 2024

PKS Balik Gagang

 PKS di Simpang Jalan Koalisi

PKS di Simpang Jalan Koalisi

SUMUTPOS.CO- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memutuskan mengubah keputusan dari pilkada langsung ke DPRD. Sikap ini bak balik gagang karena sevelumnya partai ini cenderung ngotot mendukung pilkada langsung.

Perubahan sikap ini dibenarkan oleh Sekretaris Fraksi PKS Abdul Hakim. Da mengatakan keputusan itu diambil berdasar rapat internal DPP PKS. “Kita sudah pleno DPP hari Rabu. Pimpinan PKS sudah mengarahkan bahwa pilihannya adalah dipilih oleh DPRD,” ujarnya.

Menurut Hakim, PKS memandang pemilihan DPRD juga merupakan proses yang demokratis. Prosesnya dalam hal ini lebih efektif, karena bisa menjamin terpilihnya kepemimpinan yang berkualitas, memiliki integritas, dan efektif untuk mengawal proses pembangunan untuk masyarakat.

“Kalau dibilang kehendak rakyat adalah pemilihan langsung, itu (masih) pro dan kontra. Memang tidak pernah ada keputusan yang bisa disepakati semua pihak. Itu wajar-wajar saja, tapi nanti keputusan politik yang akan menentukan,” ujarnya.

Hakim menyebut, ada juga sebagian masyarakat yang nyaman dengan sistem pemilihan langsung, namun ada juga sebagian lain yang tidak setuju. Karena itu, menjadi tugas bagi DPR untuk menentukan pilihan tersebut. “Karena masyarakat sudah memberikan mandatnya kepada para anggota DPR, nantinya dinamika di DPR yang akan menentukan itu,” jelasnya.

Hal ini menjadim menarik karena sejatinya PKS bakal mengalami kerugian jika pada akhirnya nanti Undang-undang pilkada mengatur pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD. Pasalnya, perolehan kursi PKS di DPRD hasil pileg 2014, tidak lah signifikan dibanding rekannya di Koalisi Merah Putih, seperti Golkar, Gerindra, atau pun Partai Demokrat yang ikut mendukung opsi pemilahan kepala daerah dilakukan DPRD.

Sementara, dengan pilkada langsung, PKS terbukti mampu menempatkan tiga kadernya menjadi gubernur, yakni Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, dan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan. Di ketiga provinsi tersebut, PKS bukan peraih kursi terbanyak di DPRD. Tapi karena jagonya populer, bisa merebut kursi gubernur.

“Tapi jika gubernur dipilih oleh DPRD, sangat sulit PKS bisa mendapatkan tiga kursi gubernur. Paling banter satu kursi, misal di Sumut,” ujar Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti, kepada koran ini di Jakarta, kemarin (8/9).

Bagaimana jika kekuatan Koalisi Merah Putih membagi jatah kursi gubernur kepada para partai anggota koalisinya? Ray mengatakan, hal itu bukan perkara mudah. Dikatakan, para politisi Gerindra atau Golkar di daerah misalnya, tidak akan mau jika mereka harus mengusung dan memilih politisi PKS, PAN, atau PPP, yang perolehan kursinya di DPRD tidak lah seberapa.

“Misal Golkar sebagai peraih suara terbanyak di provinsi itu, apa mau mengusung kader PAN atau PKS misalnya. Apa yang mereka bayangkan (KMP bisa menguasai DPRD dan memenangkan pilkada, Red), akan sulit terwujud. Justru mekanisme pilkada dipilih DPRD berpotensi menjadi awal perpecahan Koalisi Merah Putih,” kata Ray.

Menurut aktifis asal Madina yang lama berkutat pada persoalan pemilu dan pilkada ini, pilkada oleh DPRD justru menguntungkan PDIP, Golkar, Gerindra, dan Demokrat. Alasannya, PDIP menguasai kursi DPRD di sekitar 16 hingga 17 provinsi. Golkar di sekitar 14-15 provinsi, Gerindra di 10 provinsi, dan Demokrat di 2 atau 3 provinsi.

Dengan menguasai jumlah kursi di DPRD provinsi, ditambah dengan dukungan suara dari anggota fraksi lain, peluang partai yang menguasai DPRD cukup besar menggolkan kadernya jadi gubernur.

“Sedang partai seperti PKS, PAN, PPP, akan dirugikan dengan model pemilihan oleh DPRD karena hampir pasti mereka tidak bisa sendirian mencalonkan kadernya. Padahal dengan pilkada langsung, PAN bisa menang di pilkada misal di Kota Bogor (Walikota Bogor Bima Arya, kader PAN, Red) meski kursinya di DPRD Bogor sedikit,” kata Ray.

 

Ray yakin, semula PKS sudah mempertimbangkan hal tersebut. Indikasinya, sejak awal pembahasan RUU pilkada, PKS mendukung pilkada tetap langsung oleh rakyat. Namun yang mengherankan, PKS akhirnya berubah sikap, menjadi mendukung pilkada oleh DPRD.

Selagi masih ada waktu, Ray mengingatkan PKS, juga PAN dan PPP, agar mengkaji kembali pilihannya itu. “PKS mestinya melakukan kajian mendalam, melakukan simulasi. Saya yakin, PKS tidak dapat apa-apa jika pilkada dilakukan oleh DPRD,” terangnya lagi.

Malahan, Ray menduga, Demokrat yang paling diuntungkan dengan pilkada oleh DPRD. Selama ini, sangat minim kepala daerah berasal dari partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono itu, meski kekuatannya di DPRD lumayan.

“Menurut saya, Demokrat yang begitu memaksakan kepala daerah dipilih DPRD. Ini karena kekuatan Demokrat masih bagus di daerah. Harapannya, mereka punya banyak kader yang duduk sebagai kepala daerah. Ini strategi Demokrat untuk mengembalikan masa kejayaannya,” pungkas Ray. (bay/dyn/jpnn/sam/rbb)

 PKS di Simpang Jalan Koalisi

PKS di Simpang Jalan Koalisi

SUMUTPOS.CO- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memutuskan mengubah keputusan dari pilkada langsung ke DPRD. Sikap ini bak balik gagang karena sevelumnya partai ini cenderung ngotot mendukung pilkada langsung.

Perubahan sikap ini dibenarkan oleh Sekretaris Fraksi PKS Abdul Hakim. Da mengatakan keputusan itu diambil berdasar rapat internal DPP PKS. “Kita sudah pleno DPP hari Rabu. Pimpinan PKS sudah mengarahkan bahwa pilihannya adalah dipilih oleh DPRD,” ujarnya.

Menurut Hakim, PKS memandang pemilihan DPRD juga merupakan proses yang demokratis. Prosesnya dalam hal ini lebih efektif, karena bisa menjamin terpilihnya kepemimpinan yang berkualitas, memiliki integritas, dan efektif untuk mengawal proses pembangunan untuk masyarakat.

“Kalau dibilang kehendak rakyat adalah pemilihan langsung, itu (masih) pro dan kontra. Memang tidak pernah ada keputusan yang bisa disepakati semua pihak. Itu wajar-wajar saja, tapi nanti keputusan politik yang akan menentukan,” ujarnya.

Hakim menyebut, ada juga sebagian masyarakat yang nyaman dengan sistem pemilihan langsung, namun ada juga sebagian lain yang tidak setuju. Karena itu, menjadi tugas bagi DPR untuk menentukan pilihan tersebut. “Karena masyarakat sudah memberikan mandatnya kepada para anggota DPR, nantinya dinamika di DPR yang akan menentukan itu,” jelasnya.

Hal ini menjadim menarik karena sejatinya PKS bakal mengalami kerugian jika pada akhirnya nanti Undang-undang pilkada mengatur pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD. Pasalnya, perolehan kursi PKS di DPRD hasil pileg 2014, tidak lah signifikan dibanding rekannya di Koalisi Merah Putih, seperti Golkar, Gerindra, atau pun Partai Demokrat yang ikut mendukung opsi pemilahan kepala daerah dilakukan DPRD.

Sementara, dengan pilkada langsung, PKS terbukti mampu menempatkan tiga kadernya menjadi gubernur, yakni Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, dan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan. Di ketiga provinsi tersebut, PKS bukan peraih kursi terbanyak di DPRD. Tapi karena jagonya populer, bisa merebut kursi gubernur.

“Tapi jika gubernur dipilih oleh DPRD, sangat sulit PKS bisa mendapatkan tiga kursi gubernur. Paling banter satu kursi, misal di Sumut,” ujar Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti, kepada koran ini di Jakarta, kemarin (8/9).

Bagaimana jika kekuatan Koalisi Merah Putih membagi jatah kursi gubernur kepada para partai anggota koalisinya? Ray mengatakan, hal itu bukan perkara mudah. Dikatakan, para politisi Gerindra atau Golkar di daerah misalnya, tidak akan mau jika mereka harus mengusung dan memilih politisi PKS, PAN, atau PPP, yang perolehan kursinya di DPRD tidak lah seberapa.

“Misal Golkar sebagai peraih suara terbanyak di provinsi itu, apa mau mengusung kader PAN atau PKS misalnya. Apa yang mereka bayangkan (KMP bisa menguasai DPRD dan memenangkan pilkada, Red), akan sulit terwujud. Justru mekanisme pilkada dipilih DPRD berpotensi menjadi awal perpecahan Koalisi Merah Putih,” kata Ray.

Menurut aktifis asal Madina yang lama berkutat pada persoalan pemilu dan pilkada ini, pilkada oleh DPRD justru menguntungkan PDIP, Golkar, Gerindra, dan Demokrat. Alasannya, PDIP menguasai kursi DPRD di sekitar 16 hingga 17 provinsi. Golkar di sekitar 14-15 provinsi, Gerindra di 10 provinsi, dan Demokrat di 2 atau 3 provinsi.

Dengan menguasai jumlah kursi di DPRD provinsi, ditambah dengan dukungan suara dari anggota fraksi lain, peluang partai yang menguasai DPRD cukup besar menggolkan kadernya jadi gubernur.

“Sedang partai seperti PKS, PAN, PPP, akan dirugikan dengan model pemilihan oleh DPRD karena hampir pasti mereka tidak bisa sendirian mencalonkan kadernya. Padahal dengan pilkada langsung, PAN bisa menang di pilkada misal di Kota Bogor (Walikota Bogor Bima Arya, kader PAN, Red) meski kursinya di DPRD Bogor sedikit,” kata Ray.

 

Ray yakin, semula PKS sudah mempertimbangkan hal tersebut. Indikasinya, sejak awal pembahasan RUU pilkada, PKS mendukung pilkada tetap langsung oleh rakyat. Namun yang mengherankan, PKS akhirnya berubah sikap, menjadi mendukung pilkada oleh DPRD.

Selagi masih ada waktu, Ray mengingatkan PKS, juga PAN dan PPP, agar mengkaji kembali pilihannya itu. “PKS mestinya melakukan kajian mendalam, melakukan simulasi. Saya yakin, PKS tidak dapat apa-apa jika pilkada dilakukan oleh DPRD,” terangnya lagi.

Malahan, Ray menduga, Demokrat yang paling diuntungkan dengan pilkada oleh DPRD. Selama ini, sangat minim kepala daerah berasal dari partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono itu, meski kekuatannya di DPRD lumayan.

“Menurut saya, Demokrat yang begitu memaksakan kepala daerah dipilih DPRD. Ini karena kekuatan Demokrat masih bagus di daerah. Harapannya, mereka punya banyak kader yang duduk sebagai kepala daerah. Ini strategi Demokrat untuk mengembalikan masa kejayaannya,” pungkas Ray. (bay/dyn/jpnn/sam/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/