SUMUTPOS.CO- BEGITU diumumkan sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti langsung memantik reaksi negatif masyarakat. Seperti soal kebiasaannya merokok, memiliki tato dan latar pendidikannya yang hanya lulusan SMP. Namun hal itu perlahan sirna setelah beberapa hari Susi bekerja.
“Saya hanya ingin bekerja cepat, tapi memakai sistem yang sesederhana mungkin. Yang penting do less, get more. Cepat selesai, cepat berhasil, dan bagus hasilnya,” ujar Susi di kantornya Jumat (7/11) lalu.
Dia mengaku cukup terbantu dengan pengalamannya sebagai pengusaha ikan selama ini. Susi sudah 31 tahun menggeluti bisnis perikanan di Pangandaran, Jawa Barat.
Meskipun tidak langsung ngantor usai dilantik Presiden pada 27 Oktober 2014 lalu, namun Susi terlihat cepat memahami persoalan di Kementerian yang dipimpinnya. Rapat perdana yang digelar 28 Oktober 2014 membuat dirjen dan pejabat eselon II terlihat tegang.
“Saya minta semua data dikumpulkan, berapa kita dapat dan berapa kita keluar duit untuk sektor ini,” tukasnya.
Dari penjelasan bawahannya, sektor kelautan dan perikanan setiap tahun menghabiskan uang negara sekitar Rp18 triliun. Anggaran itu digunakan untuk anggaran KKP sekitar Rp6,5 trilun, serta subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk kapal sebesar Rp11,5 triliun.
Namun, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor ini hanya Rp 300 miliar per tahun.”Ini tidak masuk akal,” katanya.
Mengetahui angka itu suara Susi meninggi. Dia menilai secara bisnis negara akan terus merugi kalau sistemnya tidak dirubah. Dia langsung memerintahkan agar PNBP dari sektor kelauatan dan perikanan tahun depan naik lima kali lipat.
“Bisa nggak Rp 1,2 triliun?” tanya Susi di ruangan rapat Gedung Mina Bahari. Para Dirjen KKP yang hadir saat itu hanya mengangguk tanpa bersuara.
Alasan Susi masuk akal. Jika PNBP sebesar Rp 300 miliar itu dibagi dengan jumlah kapal penangkap ikan berukuran jumbo, di atas 30 GT (gross ton) yang sebanyak 5.000 unit, maka rata-rata setiap kapal hanya membayar Rp 60 juta per tahun, atau Rp 5 juta per bulan.
“Padahal sekali melaut mereka bisa dapat 10 ton ikan tongkol yang harganya USD 1 (perkilo),” tukasnya.
Kondisi itu yang membuat Susi langsung mengeluarkan kebijakan moratorium pemberian izin untuk kapal penangkap ikan berukuran jumbo, diatas 30 GT (gross ton). Untuk kapal yang sudah memiliki izin tetap dipersilahkan mengambil ikan sembari didata secara akurat berapa volume tangkapannya. “Moratorium sampai batas waktu yang belum ditentukan,” tegasnya.
Kebijakan lain yang sedang diperjuangkan Susi adalah menghapus retribusi bagi kapal kecil dibawah 10 GT (gross ton). Sebab kapal jenis itu banyak digunakan nelayan-nelayan kecil yang layak dibantu Pemerintah.
Dia juga mengusulkan agar subsidi BBM bagi kapal diberikan langsung kepada nelayan-nelayan ini. “Kita berikan langsung aja dalam bentuk pembelian mesin, atau alat tangkap ikan,” sebutnya.
Masih ada hal lain yang menjadi perhatian serius Susi yaitu memberantas pencurian ikan secara illegal (ilegal fishing).
Untuk itu dia langsung memanggil enam Duta Besar negara-negara yang kapal ikannya sering dipergoki masuk ke Indonesia yaitu Malaysia, Vietnam, Tiongkok, Thailand, Filipina dan Australia untuk bersama-sama mencegah illegal fishing.”Kami juga minta TNI dan Polri sikat habis para pencuri ikan,” jelasnya. (wir)