JAKARTA, SUMUTPOS.Co- Tiongkok menjadi pijakan pertama kunjungan luar negeri Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di negeri tirai bambu ini, Jokowi bertemu dengan Presiden Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Keqiang kemarin (9/11). Urusan jalur sutra maritim yang digagas Tiongkok serta program Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) menjadi topik utama pertemuan ini.
Kunjungan Jokowi ke Beijing, Tiongkok dalam rangka pertemuan para pemimpin negara anggota Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). Pertemuan dengan para petinggi Tiongkok itu merupakan pembicaraan bilateral sebelum agenda inti dilaksanakan hari ini sampai besok (10-11/9).
Dari foto dokumentasi yang dikirim Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Jokowi melakoni lawatan luar negeri perdananya ini dengan busana resmi. Dia mengenakan setelah jas hitam dan dasi merah. Rombongan Jokowi ke Tiongkok antara lain Menlu Retno Marsudi, Menko Perekonomian Sofyan Djalil, dan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel.
Kemudian juga ada Wakil Ketua GKR Hemas, pakar dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Rizal Sukma, serta Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto. Putri Jokowi, Kahiyang Ayu juga ikut rombongan
Dalam pertemuan ini, kedua pemimpin sepakat meningkatkan hubungan kerjasama kedua negara dalam berbagai bidang yang selama ini sudah terjalin. Kerjasama ini dibagung dengan semangat kemitraan setrategis dan komperhensif. Peningkatan kualitas kerjasama ini diantaranya terkait urusan keamanan dan penegakan hukum. Termasuk juga tentang pemberantasan korupsi dan terorisme.
Kerjasama di urusan budaya, juga menjadi salah satu poin peningkatan hubungan Indonesia dengan Tiongkok. Diantaranya terkait dengan rencana pembentukan pusat budaya dan kerjasama sister city antar kota/provinsi di keuda negara.
Pembahasan kerjasama baru yang dibahas dalam pertemuan ini adalah, keinginan Jokowi memasukkan Indonesia dalam anggota AAIB dalam waktu dekat. Rencana ini mengisaratkan perluasan akses lembaga donor. Selama ini Indonesia mendapatkan suntikan utang dari International Monetary Fund (IMF) dan World Bank.
Pada pertemuan ini, kedua pemimpin negara juga menyelaraskan agenda maritim RI dan gagasan jalur sutra maritim milik Tiongkok. “Pembahasan tentang jalur sutra ini adalah fous baru kerjasama saling menguntungkan kedua negara,” kata Jokowi melalui rilis Kemenlu.
Di kesempatan ini, Jokowi juga mengundang Presiden Xi Jinping datang ke Indonesia tahun depan. Tepatnya untuk ikut memperingati 60 tahun Konferensi Asia Afrika dan 65 tahun hubungan diplomatik Indonesia dengan Tiongkok.
Pengamat ekonomi Aviliani merespons baik upaya Jokowi untuk memperkuat hubungan diplomatik dengan Tiongkok. Namun demikian, mantan sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN) tersebut mengatakan, Jokowi tetap perlu selektif terhadap rencana-rencana penguatan kerja sama antar kedua negara. Salah satu yang dia sorot adalah rencana Indonesia bergabung dengan AIIB.
AIIB merupakan institusi finansial internasional yang digagas oleh Tiongkok. Lembaga dengan bentuk bank pembangunan multilateral tersebut menyediakan pembiayaan proyek-proyek infrastruktur di wilayah Asia Pasifik. Lembaga ini didirikan untuk menandingi IMF, World Bank, Asian Development Bank (ADB) yang didominasi negara-negara maju seperti AS dan Jepang. Sebaliknya, AIIB beranggotakan 21 negara di Asia seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Filiphina, hingga Kazakhstan.
Menurut Aviliani, apabila Indonesia masuk ke AIIB agar bisa mendapatkan pembiayaan, itu dinilai kurang tepat. “Sebab problem kita sebetulnya bukan di pendanaan. Tapi kesiapan project itu sendiri. Kalau dana, investor itu sangat banyak yang menginginkan (investasi di) Indonesia,” ujarnya saat dihubungi koran ini.
Kesiapan proyek seringkali molor karena beberapa permasalahan di tataran lokal. Misalnya persoalan sulitnya pembebasan lahan dan panjangnya birokrasi perizinan. Belum lagi adanya pungutan liar yang membebani biaya proyek. Hal itu dinilai banyak pihak yang justru memicu high cost economy atau ekonomi biaya tinggi.
Di samping itu, kata Aviliani, Jokowi juga perlu memprioritaskan proyek-proyek infrastruktur. Tiga proyek yang seharusnya didahulukan adalah penguatan konektivitas arus barang di darat maupun laut, infrastruktur antar pulau dan daerah, dan perbaikan serta penambahan transportasi umum. “Karena itu perlu prioritas. Kalau hanya ingin menggenjot pertumbuhan 7 persen dengan memperbanyak investasi, nanti rupiah kita yang kena (dampak). Karena investasi tinggi selaras dengan impor yang tinggi,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, pemerintah Indonesia harusnya fokus dalam undangan investasi dari Tiongkok ke Indonesia. Pasalnya, kebutuhan Indonesia paling mendesak saat ini justru dana investasi untuk mengembangkan industri dan infrastruktur Indonesia.
“Tentu harusnya pemerintah meminta apa yang Indonesia perlukan. Seperti yang sudah dinyatakan Jokowi, Indonesia kan perlunya infrastruktur. Dari mulai pembangkit listrik hingga pelabuha. Nah, Tiongkok kan punya uang yang banyak. Mungkin bisa ditarik untuk investasi disini,” ungkapnya di Jakarta kemarin (9/11).
Tiongkok sebenarnya merupakan negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Hal itu dibuktikan dengan produk domestik bruto negara tirai bambu yang mencapai USD 8,9 triliun. Sayangnya, investasi yang dikucurkan ke Indonesia belum besar.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada periode Januari-September 2014, investor asal Tiongkok dan Hongkong baru memperoleh peringkat keenam dengan dana USD 282,4 juta. Dana tersebut dialokasikan untuk 72 proyek. Sedangkan, peringkat pertama dipegang oleh negara tetangga Singapura dengan dana USD 1,5 miliar.
“Lalu Tiongkok apa untungnya? Ya mereka kan bisa menjual barang-barang bahan baku infrastrukturnya kesini. Misalnya kalau investasi pembangkit listrik, mereka bisa sekaligus menjual produk yang menjadi bahan bakunya. Kan sama-sama untung,” ungkapnya.
Soal kerjasama perdagangan, Sofjan menyarankan agar pemerintah berhati-hati. Pasalnya, neraca perdagangan Indonesia-Tiongkok tercatat defisit besar. Hingga kuartal III 2014, defisit neraca ekspor impor untuk Indonesia sudah mencapai USD 9,8 miliar.
“Perdagangan itu tak perlu perjanjian juga sudah dibanjiri barang dari sana. Mereka sudah jual dari produk konsumen hingga mesin-mesin. Sedangkan, Indonesia hanya jual barang mentah seperti gas, batubara, dan barang tambang. Jadi harusnya mengajak invetsasi agar disini juga ada nilai tambah,” terangnya.
Sebelumnya, Deputy Director-General Department of Asian Affair Kemenlu Tiongkok Yang Jian menjelaskan bahwa Tiongkok sebenarnya sangat menanti kedatangan Presiden Jokowi. “Indonesia sangat penting bagi Presiden Xi (Jinping). Itu terbukti oleh keputusannya memilih Indonesia sebagai negara pertama yang dikunjungi di regional ASEAN setelah beliau dilantik,” ujar Yang saat menerima kedatangan Jawa Pos September lalu.
Tiongkok saat ini sedang getol membangun kembali jalur sutera yang merupakan jalur perdagangan utama di masa lampau. Yakni, antara Tiongkok dengan kawasan Timur tengah. Kala itu, perdagangan di jalur tersebut amat tersohor.
Saat ini, selain mereka ulang jalur Sutera darat di Provinsi Ningxia, Tiongkok juga merintis jalur sutera laut. Khususnya, yang mengarah ke Laut Tiongkok Selatan. Pemerintah Tiongkok menyiapkan dana USD 484 juta untuk mendorong terwujudnya poros maritime Tiongkok-ASEAN.
Tentu saja, posisi Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN sangat diutamakan. Terlebih, selama 10 tahun terakhir kerjasama kedua negara khususnya bidang infrastruktur cukup berkembang. Seiring visi Jokowi mengembangkan sektor maritim, Tiongkok juga berminat untuk serta. (wan/gal/bil/jpnn/tom)