30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Terdakwa, Ahok Langsung Nonaktif

Dilarang Siaran Live

Sementara, Ketua Dewan Pers Yosep “Stanley” Adi Prasetyo mengumpulkan para pimpinan redaksi media elektronik untuk membahas soal teknis peliputan persidangan Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama. Belajar dari pengalaman liputan live di kasus Mbah Priuk, dan sidang Jessica “sianida”, maka para pimred yang hadir sepakat untuk tidak menyiarkan live secara running di persidangan Ahok, karena untuk menghindari gesekan yang terjadi di publik.

“Saya usulkan, boleh meliput ketika pembacaan dakwaan dan vonis. Pemeriksaan saksi dan ahli sebaiknya tidak. Karena akan membuat dua kelompok masyarakat yang terbelah akan berhadap-hadapan,” kata Stanley di Dewan Pers, Jakarta, Jumat, (9/12).

Usulan ini kemudian akhirnya menjadi kesepakatan para pimpinan redaksi televisi yang hadir. Keputusan ini adalah setelah berkaca dari peliputan kasus Jessica “sianida” yang sebenarnya telah melanggar asas praduga tak bersalah.

Televisi yang menyiarkan secara live persidangan ini, lanjutnya, telah “kebablasan” melakukan peliputan hingga penggiringan opini publik, dengan cara menghadirkan para ahli gesture, pengamat, untuk membahas soal sisi pribadi terdakwa Jessica. Proses persidangan tiap detailnya juga disiarkan ke publik. Di luar pengadilan, news room mini sengaja dibuat untuk me-running berita pengadilan Jessica. Para ahli gesture sengaja diundang untuk membahas kenapa Jessica nampak tenang-tenang saja padahal terancam dihukum mati.

Hal-hal seperti ini kata Stanley tidak boleh dilakukan oleh pers. “Judgement-judgement dari pengadilan ditampilkan, ini tidak tepat. Ini bukan pengadilan, ini adalah pers. Prinsip asas praduga tak bersalah tidak terjadi,” kritik Stanley.

Dikhawatirkan juga, jika live report pengadilan Ahok dilakukan, maka para saksi yang menyatakan kesaksian di persidangan akan menjadi bulan-bulanan di media sosial. “Kita seringkali dikejar-kejar rating, sharing, jadi tidak tahu aturan,” kritik Stanley lagi.

Ia mengimbau agar para pemimpin media untuk tidak terlalu bernafsu membuat siaran live, dengan dalih memberikan edukasi kepada publik. Yang terjadi malahan publik kebingungan, akibat begitu banyak persepsi dalam suatu perkara persidangan.

Seperti di persidangan Jessica misalnya, menurut Stanley, yang ada hanyalah kebingungan masyarakat tentang racun atau toksikologi, karena baik di kubu Jessica ataupun Jaksa, sama-sama menampilkan penjelasan yang kredibel tentang racun sianida.

“Orang nggak belajar apapun, malah jadi bingung seperti di kasus Jessica,” kata dia.

Stanley membeberkan, bahwa Dewan Pers mendapat masukan dari berbagai kalangan, termasuk dari DPR yang mengkritik bahwa pers Indonesia telah kebablasan. Karenanya, ada ide untuk mengembalikan rezim bredel dan kontrol untuk pers Indonesia.

“Kita akan mengalami kemunduran jika hal ini tidak dipikirkan. Kita perbaiki diri sendiri sebelum diperbaiki orang lain,” tutup Stanley. (rmol/jpg/adz)

Dilarang Siaran Live

Sementara, Ketua Dewan Pers Yosep “Stanley” Adi Prasetyo mengumpulkan para pimpinan redaksi media elektronik untuk membahas soal teknis peliputan persidangan Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama. Belajar dari pengalaman liputan live di kasus Mbah Priuk, dan sidang Jessica “sianida”, maka para pimred yang hadir sepakat untuk tidak menyiarkan live secara running di persidangan Ahok, karena untuk menghindari gesekan yang terjadi di publik.

“Saya usulkan, boleh meliput ketika pembacaan dakwaan dan vonis. Pemeriksaan saksi dan ahli sebaiknya tidak. Karena akan membuat dua kelompok masyarakat yang terbelah akan berhadap-hadapan,” kata Stanley di Dewan Pers, Jakarta, Jumat, (9/12).

Usulan ini kemudian akhirnya menjadi kesepakatan para pimpinan redaksi televisi yang hadir. Keputusan ini adalah setelah berkaca dari peliputan kasus Jessica “sianida” yang sebenarnya telah melanggar asas praduga tak bersalah.

Televisi yang menyiarkan secara live persidangan ini, lanjutnya, telah “kebablasan” melakukan peliputan hingga penggiringan opini publik, dengan cara menghadirkan para ahli gesture, pengamat, untuk membahas soal sisi pribadi terdakwa Jessica. Proses persidangan tiap detailnya juga disiarkan ke publik. Di luar pengadilan, news room mini sengaja dibuat untuk me-running berita pengadilan Jessica. Para ahli gesture sengaja diundang untuk membahas kenapa Jessica nampak tenang-tenang saja padahal terancam dihukum mati.

Hal-hal seperti ini kata Stanley tidak boleh dilakukan oleh pers. “Judgement-judgement dari pengadilan ditampilkan, ini tidak tepat. Ini bukan pengadilan, ini adalah pers. Prinsip asas praduga tak bersalah tidak terjadi,” kritik Stanley.

Dikhawatirkan juga, jika live report pengadilan Ahok dilakukan, maka para saksi yang menyatakan kesaksian di persidangan akan menjadi bulan-bulanan di media sosial. “Kita seringkali dikejar-kejar rating, sharing, jadi tidak tahu aturan,” kritik Stanley lagi.

Ia mengimbau agar para pemimpin media untuk tidak terlalu bernafsu membuat siaran live, dengan dalih memberikan edukasi kepada publik. Yang terjadi malahan publik kebingungan, akibat begitu banyak persepsi dalam suatu perkara persidangan.

Seperti di persidangan Jessica misalnya, menurut Stanley, yang ada hanyalah kebingungan masyarakat tentang racun atau toksikologi, karena baik di kubu Jessica ataupun Jaksa, sama-sama menampilkan penjelasan yang kredibel tentang racun sianida.

“Orang nggak belajar apapun, malah jadi bingung seperti di kasus Jessica,” kata dia.

Stanley membeberkan, bahwa Dewan Pers mendapat masukan dari berbagai kalangan, termasuk dari DPR yang mengkritik bahwa pers Indonesia telah kebablasan. Karenanya, ada ide untuk mengembalikan rezim bredel dan kontrol untuk pers Indonesia.

“Kita akan mengalami kemunduran jika hal ini tidak dipikirkan. Kita perbaiki diri sendiri sebelum diperbaiki orang lain,” tutup Stanley. (rmol/jpg/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/