25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Pantai Sumut Favorit Mafia

1.300 Km Garis Pantai hanya Dijaga 95 Petugas

JAKARTA-Garis pantai di Sumatera Utara (Sumut) sepanjang 1.300 kilometer menjadi pintu masuk ideal bagi peredaran narkoba. Pasalnya, untuk mengawasi kawasan sepanjang itu, Direkrorat Polisi Perairan (Ditpolair) Polda Sumut hanya memiliki kemampuan tak seberapa.

Dari data yang didapat, Ditpolair hanya memiliki  8 unit kapal patroli tipe C, masing-masing Kapal Patroli Tipe C-1 dengan jumlah personel satu pleton 20 hingga 30 polisi, Tipe C-2 sebanyak 6 unit dengan jumlah personel masing-masing 10 polisi dan Tipe C-3 satu unit dengan jumlah lima polisi. Dengan kata lain, 1.300 km hanya dijaga 95 personel. Sedangkan kemampuan kapal patroli hanya mampu menjaga sampai 6 mil, sementara perbatasan dengan laut tetangga jaraknya 12 mil.

Keadaan inilah yang sudah dibaca sindikat narkoba internasional, hingga memilih Medan sebagai transit sebelum dipasok ke Jakarta.  Selain kawasan pantai Sumut relatif gampang dijadikan pintu masuk, begitu berhasil masuk Medan, jaringan narkoba yakin bakal aman untuk melanjutkan perjalanan darat menuju Jakarta.

“Dengan menggunakan kapal-kapal kecil, mereka masuk ke Sumut. Dari Medan, jalan darat ke Jakarta. Bandar-bandar itu sudah mempelajari situasi. Bisa aman hingga Lampung. Dari Lampung mobil begitu saja masuk (ke kapal menuju Jakarta),” ujar Juru Bicara Badan Narkotika  Nasional (BNN) Kombes Pol Sumirat Dwiyanto kepada Sumut Pos di Jakarta, Jumat (10/2).

Apakah segampang itu? Sumirat mengatakan, bandar narkoba selalu punya jaringan yang luas dengan menanamkan orang-orangnya di banyak tempat. “Ada yang warga biasa, ada juga petugas. Atau mereka berhasil mengelabui,” ujarnya.

Lantas, apa yang dilakukan BNN untuk menutup jalur masuk ke pantai Sumut? Dijelaskan Sumirat, persoalan yang dihadapi BNN adalah keterbatasan petugas. Sementara, panjang pantai Indonesia 81 ribu kilometer.  Dengan panjang pantai segitu, BNN memfokuskan perhatian ke daerah-daerah terluar, yang berpotensi besar menjadi pintu masuk. “Kita tak hanya bergerak di perairan Sumut, tapi juga hingga ke Miangas yang berbatasan dengan Filipina, Pulau Rupat, Riau, yang berbatasan dengan Malaysia, hingga ke Pulau Rote. Tapi namanya maling, begitu patroli pergi, mereka masuk,” terangnya.

Tim BNN, dengan menggandeng TNI, kata Sumirat, juga rutin menggelar patroli di kawasan perairan di Sumut.  Jika memergoki ada yang mencurigakan, BNN tidak bisa langsung melakukan penangkapan, jika belum memastikan orang itu membawa narkoba.

Sumirat menjelaskan, biasanya mengendusan dan penguntitan dilakukan setelah ada laporan dari badan narkotika negara tetangga. Informasi dari negara tetangga biasanya menyebutkan adanya orang yang mencurigakan yang akan masuk ke wilayah Indonesia. “Informasi awal hanya mengatakan ‘mencurigakan’, belum menyebut membawa narkoba. Lantas kita kawal diam-diam, kita kuntit,” papar Sumirat.

Untuk memperkuat kecurigaan, BNN membandingkan dengan data yang ada di BNN mengenai orang-orang yang dicurigai sudah masuk jaringan sindikat narkoba internasional.  “Nah, begitu masuk Indonesia kok cuman 20 menit, 30 menit, berarti dia hanya untuk menyerahkan barang kiriman,” terang Sumirat. Jika dianggap yakin ada barang bukti, barulah dilakukan penyergapan.

Apakah lima tersangka yang diduga anggota jaringan narkoba lintas negara yang berpusat di Iran dan transit di Medan sebelum ke Jakarta, yang dibekuk BNN beberapa hari lalu, merupakan hasil penguntitan seperti itu? Sumirat tak berani memastikan. “Saya belum mendapat penjelasan soal itu,” kilahnya.

Jadi, kebutuhan mendesak saat ini adalah penambahan petugas? Sumirat membenarkan. Hanya saja, lanjutnya, yang lebih penting dari itu adalah kepedulian masyarakat, agar mau memberikan informasi kepada BNN jika menemukan orang yang dicurigai jaringan dan pengedar narkoba.

Selama ini, lanjutnya, BNN sangat terbantu oleh informasi masyarakat. “Dalam setahun ada delapan ribuan laporan masyarakat. Begitu ada laporan, kita dalami dulu karena tidak 100 persen benar. Jangan sampai laporan hanya untuk maksud pembunuhan karakter seseorang,” bebernya.

Sebelumnya diberitakan, Mantan Kalahar Badan Narkotikan Nasional (BNN) Pusat, Komjen (Purn) Togar Sianipar, mengatakan, Medan memang daerah yang menggiurkan bagi mafia narkoba internasional, sebagai daerah transit.
Togar bahkan menyebut, bukan mafia yang berpusat di Iran saja yang menggunakan Medan sebagai daerah transit.  Dua kelompok jaringan menjadikan kawasan Sumut sebagai pintu masuk.

Pertama, pasokan narkoba dari kawasan Bulan Sabit Emas (Golden Crescent) yang berada di antara Pakistan, Afganistan, dan Iran. Kedua, pasokan dari kawasan Segi Tiga Emas yakni Laos-Myanmar-Thailand.

Sementara itu, anggota DPRDSU tampaknya menyalahkan pihak penegak hukum terkait Medan yang dijadikan kota transit narkoba. Setidaknya hal ini diungkapkan Anggota Komisi A, Raudin Purba.  “Pencuri itu lebih tahu dari orang yang dicuri. Begitu juga dengan masalah peredaran narkoba ini.

Para pengedar lebih lihai dari kepolisian. Tapi, tidak menutup kemungkinan juga bila polisi tahu namun terkesan tidak tahu. Tapi yang pasti, polisi lalai dalam mengatasi masalah peredaran narkoba dan memberantas sindikat yang ada,” tegasnya, kemarin.

Sedangkan pengamat hukum Medan, Muslim Muis SH menilai, peredaran narkoba di Medan yang seolah tidak terpantau oleh aparat kepolisian tersebut menunjukkan fungsi intelijen di kepolisian tidak berfungsi maksimal. “Kalau tidak lemah, kenapa ini terus terjadi dan terulang. Kalau disebut mandul, sudah pasti karena tidak mungkin berulang-ulang,” tegasnya. (sam/ari)

1.300 Km Garis Pantai hanya Dijaga 95 Petugas

JAKARTA-Garis pantai di Sumatera Utara (Sumut) sepanjang 1.300 kilometer menjadi pintu masuk ideal bagi peredaran narkoba. Pasalnya, untuk mengawasi kawasan sepanjang itu, Direkrorat Polisi Perairan (Ditpolair) Polda Sumut hanya memiliki kemampuan tak seberapa.

Dari data yang didapat, Ditpolair hanya memiliki  8 unit kapal patroli tipe C, masing-masing Kapal Patroli Tipe C-1 dengan jumlah personel satu pleton 20 hingga 30 polisi, Tipe C-2 sebanyak 6 unit dengan jumlah personel masing-masing 10 polisi dan Tipe C-3 satu unit dengan jumlah lima polisi. Dengan kata lain, 1.300 km hanya dijaga 95 personel. Sedangkan kemampuan kapal patroli hanya mampu menjaga sampai 6 mil, sementara perbatasan dengan laut tetangga jaraknya 12 mil.

Keadaan inilah yang sudah dibaca sindikat narkoba internasional, hingga memilih Medan sebagai transit sebelum dipasok ke Jakarta.  Selain kawasan pantai Sumut relatif gampang dijadikan pintu masuk, begitu berhasil masuk Medan, jaringan narkoba yakin bakal aman untuk melanjutkan perjalanan darat menuju Jakarta.

“Dengan menggunakan kapal-kapal kecil, mereka masuk ke Sumut. Dari Medan, jalan darat ke Jakarta. Bandar-bandar itu sudah mempelajari situasi. Bisa aman hingga Lampung. Dari Lampung mobil begitu saja masuk (ke kapal menuju Jakarta),” ujar Juru Bicara Badan Narkotika  Nasional (BNN) Kombes Pol Sumirat Dwiyanto kepada Sumut Pos di Jakarta, Jumat (10/2).

Apakah segampang itu? Sumirat mengatakan, bandar narkoba selalu punya jaringan yang luas dengan menanamkan orang-orangnya di banyak tempat. “Ada yang warga biasa, ada juga petugas. Atau mereka berhasil mengelabui,” ujarnya.

Lantas, apa yang dilakukan BNN untuk menutup jalur masuk ke pantai Sumut? Dijelaskan Sumirat, persoalan yang dihadapi BNN adalah keterbatasan petugas. Sementara, panjang pantai Indonesia 81 ribu kilometer.  Dengan panjang pantai segitu, BNN memfokuskan perhatian ke daerah-daerah terluar, yang berpotensi besar menjadi pintu masuk. “Kita tak hanya bergerak di perairan Sumut, tapi juga hingga ke Miangas yang berbatasan dengan Filipina, Pulau Rupat, Riau, yang berbatasan dengan Malaysia, hingga ke Pulau Rote. Tapi namanya maling, begitu patroli pergi, mereka masuk,” terangnya.

Tim BNN, dengan menggandeng TNI, kata Sumirat, juga rutin menggelar patroli di kawasan perairan di Sumut.  Jika memergoki ada yang mencurigakan, BNN tidak bisa langsung melakukan penangkapan, jika belum memastikan orang itu membawa narkoba.

Sumirat menjelaskan, biasanya mengendusan dan penguntitan dilakukan setelah ada laporan dari badan narkotika negara tetangga. Informasi dari negara tetangga biasanya menyebutkan adanya orang yang mencurigakan yang akan masuk ke wilayah Indonesia. “Informasi awal hanya mengatakan ‘mencurigakan’, belum menyebut membawa narkoba. Lantas kita kawal diam-diam, kita kuntit,” papar Sumirat.

Untuk memperkuat kecurigaan, BNN membandingkan dengan data yang ada di BNN mengenai orang-orang yang dicurigai sudah masuk jaringan sindikat narkoba internasional.  “Nah, begitu masuk Indonesia kok cuman 20 menit, 30 menit, berarti dia hanya untuk menyerahkan barang kiriman,” terang Sumirat. Jika dianggap yakin ada barang bukti, barulah dilakukan penyergapan.

Apakah lima tersangka yang diduga anggota jaringan narkoba lintas negara yang berpusat di Iran dan transit di Medan sebelum ke Jakarta, yang dibekuk BNN beberapa hari lalu, merupakan hasil penguntitan seperti itu? Sumirat tak berani memastikan. “Saya belum mendapat penjelasan soal itu,” kilahnya.

Jadi, kebutuhan mendesak saat ini adalah penambahan petugas? Sumirat membenarkan. Hanya saja, lanjutnya, yang lebih penting dari itu adalah kepedulian masyarakat, agar mau memberikan informasi kepada BNN jika menemukan orang yang dicurigai jaringan dan pengedar narkoba.

Selama ini, lanjutnya, BNN sangat terbantu oleh informasi masyarakat. “Dalam setahun ada delapan ribuan laporan masyarakat. Begitu ada laporan, kita dalami dulu karena tidak 100 persen benar. Jangan sampai laporan hanya untuk maksud pembunuhan karakter seseorang,” bebernya.

Sebelumnya diberitakan, Mantan Kalahar Badan Narkotikan Nasional (BNN) Pusat, Komjen (Purn) Togar Sianipar, mengatakan, Medan memang daerah yang menggiurkan bagi mafia narkoba internasional, sebagai daerah transit.
Togar bahkan menyebut, bukan mafia yang berpusat di Iran saja yang menggunakan Medan sebagai daerah transit.  Dua kelompok jaringan menjadikan kawasan Sumut sebagai pintu masuk.

Pertama, pasokan narkoba dari kawasan Bulan Sabit Emas (Golden Crescent) yang berada di antara Pakistan, Afganistan, dan Iran. Kedua, pasokan dari kawasan Segi Tiga Emas yakni Laos-Myanmar-Thailand.

Sementara itu, anggota DPRDSU tampaknya menyalahkan pihak penegak hukum terkait Medan yang dijadikan kota transit narkoba. Setidaknya hal ini diungkapkan Anggota Komisi A, Raudin Purba.  “Pencuri itu lebih tahu dari orang yang dicuri. Begitu juga dengan masalah peredaran narkoba ini.

Para pengedar lebih lihai dari kepolisian. Tapi, tidak menutup kemungkinan juga bila polisi tahu namun terkesan tidak tahu. Tapi yang pasti, polisi lalai dalam mengatasi masalah peredaran narkoba dan memberantas sindikat yang ada,” tegasnya, kemarin.

Sedangkan pengamat hukum Medan, Muslim Muis SH menilai, peredaran narkoba di Medan yang seolah tidak terpantau oleh aparat kepolisian tersebut menunjukkan fungsi intelijen di kepolisian tidak berfungsi maksimal. “Kalau tidak lemah, kenapa ini terus terjadi dan terulang. Kalau disebut mandul, sudah pasti karena tidak mungkin berulang-ulang,” tegasnya. (sam/ari)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/