29.3 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Tim Kemendagri Takut Dibacok

Penentuan Tapal Batas Sumut-Riau tanpa Data Lapangan

JAKARTA-Situasi panas di perbatasan Padang Lawas (Sumut) dengan Rokan Hulu (Riau) yang beberapa waktu lalu sempat bentrok ternyata membuat ciut nyali Tim Penegasan Batas yang dikoordinir Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri). Tim dari pusat ini tidak berani turun ke lapangan untuk memastikan titik-titik perbatasan karena takut dibacok.

Alasannya, situasi di lapangan sangat membahayakan.  “Pemda masuk saja mau dibacok,” ujar Direktur Administrasi Wilayah dan Perbatasan Kemendagri, Eko Subowo, kepada Sumut Pos di Jakarta, Jumat (10/2).

Lantas, bagaimana bisa mendapatkan data akurat batas di dua kabupaten beda provinsi itu? Eko menjelaskan, nantinya digunakan mekanisme kartografi. Yakni, memastikan data cukup dengan melihat peta yang tingkat akurasinya sudah terjamin dan sudah disepakati kedua pihak.  “Cukup di atas peta, di meja,” ujarnya.

Dia juga meyakinkan, tahun ini masalah sengketa batas Rokan Hulu (Rohul)-Padanglawas (Palas) itu ditargetkan bisa diselesaikan. Tahapan penyelesaikan saat ini sedang berjalan.  Pekan ini, beberapa hari lalu, Kemendagri sudah mengundang Asisten Pemprov Sumut dan Kabiro Pemerintahan Pemprov Riau.

Pada Maret mendatang, pembicaraan diperluas lagi, yakni dengan mengundang empat bupati, yakni bupati Palas, Labuhan Batu Selatan, Rohul, dan Rokan Hilir (Rohil). Pasalnya, ada juga sengketa batas antara Rohil dengan Labuhan Batu Selatan.

Eko yakin, penyelesaian bisa cepat dilakukan. “Karena hanya menyelesaikan yang bolong, yang lain sudah ada pilar batasnya. Jadi ini untuk yang krusial saja,” ungkapnya.

Menurutnya, meletusnya bentrok panas beberapa hari lalu itu, lebih dipicu masalah perizinan usaha. Konfliknya terjadi antara warga penggarap dengan pihak perusahaan. Ini terjadi, menurut Eko, ada izin usaha yang dikeluarkan oleh bupati, tapi lahannya masuk dalam area yang disengketakan.

“Jadi ini karena di saat batas belum jelas, bupati mengeluarkan izin usaha, tapi lahannya sampai di sana,” katanya tanpa mau menyebut siapa bupati yang mengeluarkan izin tanpa memastikan lahan siapa yang akan digunakan untuk usaha itu.

Sumber koran ini menyebutkan, izin yang dikeluarkan bupati itu adalah bagian dari permainan mafia tanah. Para mafia ini yang berusaha dan mendapatkan izin bupati, yang lantas dijual ke perusahaan.

Kembali ke soal upaya penyelesaian konflik batas itu. Eko menjelaskan, tahapannya diawali dengan penelitian dokumen, termasuk yang berupa peta-peta historis. Setelah itu, tim akan berupaya mendapatkan kesepakatan kedua belah pihak, peta mana yang akan disepakati sebagai acuan perundingan.
Setelah itu, mestinya, tim lantas turun ke lapangan untuk melacak batas wilayah. Hanya saja, karena situasi panas, cukup dengan peta yang sudah disepakati, dengan mekanisme kartografi.

Disusul pengukuran pilar batas.  Tim pusat selanjutnya melakukan verifikasi lagi. Jika sudah klir, barulah dibuat peta batas, yang akan menjadi dasar keluarnya Permendagri mengenai penetapan batas.

Soal tapal batas ini memang menjadi masalah pelik. Setidaknya, sejak dibuka kran pemekaran daerah, hingga saat ini tercatat ada 946 konflik sengketa perbatasan, baik antarkabupaten/kota dalam satu provinsi, maupun kabupaten/kota dalam satu provinsi dengan kabupaten/kota di provinsi tetangga.

Eko menyebutkan, dari jumlah itu sebanyak 131 segmen batas telah terselesaikan, dengan telah dikeluarkannya Permendagri yang menetapkan batas.

Sedang yang masih dalam proses penyelesaian, sebanyak 206. “Yang belum dilakukan penegasan sebanyak 609 segmen atau sekitar 64 persen. Ini yang sama sekali belum tersentuh,”  ujarnya.

Ditargetkan, pada 2012 bisa terselesaikan lagi 50 segmen batas wilayah yang disengketakan. Hingga 2014, ditargetkan semua sudah beres.
Eko menjelaskan, kondisi geografif, misal batas yang disengketakan adalah daerah pegunungan dan berawa, sulit untuk cepat diselesaikan.

Sulitnya akses juga jadi hambatan. Di seluruh Sumatera misalnya, hingga saat ini masih 261 segmen yang konfliknya belum diselesaikan, dari 311 kasus yang ada. Di Jawa, yang relatif kondisi geografisnya mendukung, dari 260 kasus, sudah selesai 102. Yang belum ditangani hanya 70. (sam)

Penentuan Tapal Batas Sumut-Riau tanpa Data Lapangan

JAKARTA-Situasi panas di perbatasan Padang Lawas (Sumut) dengan Rokan Hulu (Riau) yang beberapa waktu lalu sempat bentrok ternyata membuat ciut nyali Tim Penegasan Batas yang dikoordinir Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri). Tim dari pusat ini tidak berani turun ke lapangan untuk memastikan titik-titik perbatasan karena takut dibacok.

Alasannya, situasi di lapangan sangat membahayakan.  “Pemda masuk saja mau dibacok,” ujar Direktur Administrasi Wilayah dan Perbatasan Kemendagri, Eko Subowo, kepada Sumut Pos di Jakarta, Jumat (10/2).

Lantas, bagaimana bisa mendapatkan data akurat batas di dua kabupaten beda provinsi itu? Eko menjelaskan, nantinya digunakan mekanisme kartografi. Yakni, memastikan data cukup dengan melihat peta yang tingkat akurasinya sudah terjamin dan sudah disepakati kedua pihak.  “Cukup di atas peta, di meja,” ujarnya.

Dia juga meyakinkan, tahun ini masalah sengketa batas Rokan Hulu (Rohul)-Padanglawas (Palas) itu ditargetkan bisa diselesaikan. Tahapan penyelesaikan saat ini sedang berjalan.  Pekan ini, beberapa hari lalu, Kemendagri sudah mengundang Asisten Pemprov Sumut dan Kabiro Pemerintahan Pemprov Riau.

Pada Maret mendatang, pembicaraan diperluas lagi, yakni dengan mengundang empat bupati, yakni bupati Palas, Labuhan Batu Selatan, Rohul, dan Rokan Hilir (Rohil). Pasalnya, ada juga sengketa batas antara Rohil dengan Labuhan Batu Selatan.

Eko yakin, penyelesaian bisa cepat dilakukan. “Karena hanya menyelesaikan yang bolong, yang lain sudah ada pilar batasnya. Jadi ini untuk yang krusial saja,” ungkapnya.

Menurutnya, meletusnya bentrok panas beberapa hari lalu itu, lebih dipicu masalah perizinan usaha. Konfliknya terjadi antara warga penggarap dengan pihak perusahaan. Ini terjadi, menurut Eko, ada izin usaha yang dikeluarkan oleh bupati, tapi lahannya masuk dalam area yang disengketakan.

“Jadi ini karena di saat batas belum jelas, bupati mengeluarkan izin usaha, tapi lahannya sampai di sana,” katanya tanpa mau menyebut siapa bupati yang mengeluarkan izin tanpa memastikan lahan siapa yang akan digunakan untuk usaha itu.

Sumber koran ini menyebutkan, izin yang dikeluarkan bupati itu adalah bagian dari permainan mafia tanah. Para mafia ini yang berusaha dan mendapatkan izin bupati, yang lantas dijual ke perusahaan.

Kembali ke soal upaya penyelesaian konflik batas itu. Eko menjelaskan, tahapannya diawali dengan penelitian dokumen, termasuk yang berupa peta-peta historis. Setelah itu, tim akan berupaya mendapatkan kesepakatan kedua belah pihak, peta mana yang akan disepakati sebagai acuan perundingan.
Setelah itu, mestinya, tim lantas turun ke lapangan untuk melacak batas wilayah. Hanya saja, karena situasi panas, cukup dengan peta yang sudah disepakati, dengan mekanisme kartografi.

Disusul pengukuran pilar batas.  Tim pusat selanjutnya melakukan verifikasi lagi. Jika sudah klir, barulah dibuat peta batas, yang akan menjadi dasar keluarnya Permendagri mengenai penetapan batas.

Soal tapal batas ini memang menjadi masalah pelik. Setidaknya, sejak dibuka kran pemekaran daerah, hingga saat ini tercatat ada 946 konflik sengketa perbatasan, baik antarkabupaten/kota dalam satu provinsi, maupun kabupaten/kota dalam satu provinsi dengan kabupaten/kota di provinsi tetangga.

Eko menyebutkan, dari jumlah itu sebanyak 131 segmen batas telah terselesaikan, dengan telah dikeluarkannya Permendagri yang menetapkan batas.

Sedang yang masih dalam proses penyelesaian, sebanyak 206. “Yang belum dilakukan penegasan sebanyak 609 segmen atau sekitar 64 persen. Ini yang sama sekali belum tersentuh,”  ujarnya.

Ditargetkan, pada 2012 bisa terselesaikan lagi 50 segmen batas wilayah yang disengketakan. Hingga 2014, ditargetkan semua sudah beres.
Eko menjelaskan, kondisi geografif, misal batas yang disengketakan adalah daerah pegunungan dan berawa, sulit untuk cepat diselesaikan.

Sulitnya akses juga jadi hambatan. Di seluruh Sumatera misalnya, hingga saat ini masih 261 segmen yang konfliknya belum diselesaikan, dari 311 kasus yang ada. Di Jawa, yang relatif kondisi geografisnya mendukung, dari 260 kasus, sudah selesai 102. Yang belum ditangani hanya 70. (sam)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/