23.9 C
Medan
Sunday, June 23, 2024

Ponpes Al Hidayah Siap Tampung WNI Eks ISIS

PENDIRI PONPES: Pimpinan dan Pendiri Pondok Pesantren Al-Hidayah, Khairul Ghozali saat berbincang dengan wartawan, Senin (10/2).
PENDIRI PONPES: Pimpinan dan Pendiri Pondok Pesantren Al-Hidayah, Khairul Ghozali saat berbincang dengan wartawan, Senin (10/2).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemerintah belum memutuskan untuk memulangkan atau tidak warga Negara Indonesia (WNI) yang sempat ikut gerakan terorisme ISIS. Hingga kini, pemerintah masih mengkalkulasi dampak baik maupun buruk akibat pemulangan eks WNI tersebut. Dan keputusannya akan diambil Presiden Joko Widodo saat rapat terbatas dalam waktu dekat.

Namun begitu, Satuan Intelkam Polrestabes Medan disebut-sebut telah meninjau Pesantren Al Hidayah, di Kecamatan Kutalimbaru, Deliserdang, Senin (10/2). Peninjauan itu dimaksudkan untuk melihat saran dan prasarana di pesantren tersebut. Karena kabarnya, akan dijadikan tempat penampungan ratusan WNI eks ISIS yang akan dipulangkan ke Tanah Air.

Pimpinan dan Pendiri Pesantren Al-Hidayah, Khairul Ghozali kepada wartawan mengatakan, peninjauan yang dilakukan Intelkam Polrestabes Medan itu hanya sekadar melihat fasilitas di pesantren yang mengasuh anak-anak mantan napi terorisme itu.

“Memang ada meninjau aparat kepolisian, tapi belum ada kami berkordinasi dengan BNPT. Kalau itu, domainnya BNPT. Kalau Polisi hanya keamanan,” sebutnya.

Ghozali mengakui, pesantren yang ia pimpin itu belum memadai keseluruhannya. Namun begitu dia yakin, mampu menampung sebagian WNI eks ISIS yang akan dipulangkan. “Bisa-bisa saja, untuk mengembalikan pemahaman cinta NKRI dan deradikalisasi. Tadi (Polisi) masih melakukan peninjauan dan persiapan, kalau kita ya siap-siap saja. Kalau dibangun sarana dan prasarana kita juga siap-siap saja,” tutur mantan narapidana teroris dalam kasus perampokan Bank CIMB Niaga pada 2010 ini.

Ghozali juga mengaku belum tahu, apa rencana yang akan dilakukan Pemerintah Indonesia ke depan untuk pemulangan ratusan WNI mantan ISIS itu. Namun begitu, bila diperlukan lokasi penampungan sementara, pihaknya siap membantu. “Kalau jadi pemulangan, antara Mei atau Juni 2020. Mereka (Polisi) mau lihat persiapan dan prasarana yang ada,” jelasnya.

Disebut Ghozali, di pesantren itu mereka memiliki 35 tenaga pengajar dari keseluruhan mantan napiter. Dengan begitu, pesantren ini sudah siapkan jadi instruktur untuk mengembalikan pemahaman WNI eks ISIS tersebut agar anti terorisme. “Sudah siap menjadi instruktur untuk mengajak kembali ke NKRI. Membantu pemerintah dalam mengatasi pemahaman radikal langsung dari pelaku sejarah,” kata Ghozali.

Ia pun, menanggapi isu pro dan kontra pemulangan ratusan eks ISIS itu. Ghozali menilai, mereka adalah anak bangsa dan berwarganegaraan Indonesia. Dengan begitu, layak untuk dipulangkan dan mendapatkan pelayanan dari pemerintah. “Harus dipulangkan, walau kita berbeda. Mereka internasional dan kita lokal. Pemikiran sama, jangankan paspor, KTP saja kita bakar,” sebut Ghozali.

Walau bagaimana pun, Ghozali menjelaskan, mereka harus diakui oleh bangsa. Karena kampung dan tumpah darah mereka ada di Indonesia dan jangan dibuang. “Karena kita setanah air, hal itu sering diucapkan oleh pimpin negeri ini. Harus dibawa pulang, jangan ada pro dan kontra,” harapnya.

Namun begitu, Ghozali mengatakan, bila ratusan WNI eks ISIS itu melanggar hokum, silakan untuk dihukum sesuai dengan apa yang dilakukannya. Di luar itu, berikan hak mereka sebagai WNI di Tanah Air ini. “Saya di masa lalu juga merasakan itu. Kalau mereka melanggar hukum dengan membakar paspor dan KTP atau dokumen Negara, harus dihukum sebatas itu. Mereka anak-anak bangsa yang dikembalikan oleh bangsa,” jelasnya.

Ghozali yakin pemikiran dan pemahaman ratusan WNI tersebut, bisa dikembalikan dengan anti pemahaman radikalisme. “Bila negara ‘membuang’ mereka, lantas negara mana yang mau menerima mereka? Kalau mereka salah, dihukum dan direhabilitasi saja,” kata Ghozali.

Ia mencontokan pelaku penjahat, seperti bandar narkoba dengan jumlah besar. Negara hadir memberikan hak dan pelayanan kepada pelaku narkoba itu. Harus hal yang sama juga diberikan kepada mereka. “Penjahat narkoba, mereka dihukum sebagai anak bangsa. Pemerintah harus bertanggung jawab. Karena, 95 persen mereka adalah korban. Anak-anak, wanita. Bukan semua yang dialogis,” pungkasnya. (gus)

PENDIRI PONPES: Pimpinan dan Pendiri Pondok Pesantren Al-Hidayah, Khairul Ghozali saat berbincang dengan wartawan, Senin (10/2).
PENDIRI PONPES: Pimpinan dan Pendiri Pondok Pesantren Al-Hidayah, Khairul Ghozali saat berbincang dengan wartawan, Senin (10/2).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemerintah belum memutuskan untuk memulangkan atau tidak warga Negara Indonesia (WNI) yang sempat ikut gerakan terorisme ISIS. Hingga kini, pemerintah masih mengkalkulasi dampak baik maupun buruk akibat pemulangan eks WNI tersebut. Dan keputusannya akan diambil Presiden Joko Widodo saat rapat terbatas dalam waktu dekat.

Namun begitu, Satuan Intelkam Polrestabes Medan disebut-sebut telah meninjau Pesantren Al Hidayah, di Kecamatan Kutalimbaru, Deliserdang, Senin (10/2). Peninjauan itu dimaksudkan untuk melihat saran dan prasarana di pesantren tersebut. Karena kabarnya, akan dijadikan tempat penampungan ratusan WNI eks ISIS yang akan dipulangkan ke Tanah Air.

Pimpinan dan Pendiri Pesantren Al-Hidayah, Khairul Ghozali kepada wartawan mengatakan, peninjauan yang dilakukan Intelkam Polrestabes Medan itu hanya sekadar melihat fasilitas di pesantren yang mengasuh anak-anak mantan napi terorisme itu.

“Memang ada meninjau aparat kepolisian, tapi belum ada kami berkordinasi dengan BNPT. Kalau itu, domainnya BNPT. Kalau Polisi hanya keamanan,” sebutnya.

Ghozali mengakui, pesantren yang ia pimpin itu belum memadai keseluruhannya. Namun begitu dia yakin, mampu menampung sebagian WNI eks ISIS yang akan dipulangkan. “Bisa-bisa saja, untuk mengembalikan pemahaman cinta NKRI dan deradikalisasi. Tadi (Polisi) masih melakukan peninjauan dan persiapan, kalau kita ya siap-siap saja. Kalau dibangun sarana dan prasarana kita juga siap-siap saja,” tutur mantan narapidana teroris dalam kasus perampokan Bank CIMB Niaga pada 2010 ini.

Ghozali juga mengaku belum tahu, apa rencana yang akan dilakukan Pemerintah Indonesia ke depan untuk pemulangan ratusan WNI mantan ISIS itu. Namun begitu, bila diperlukan lokasi penampungan sementara, pihaknya siap membantu. “Kalau jadi pemulangan, antara Mei atau Juni 2020. Mereka (Polisi) mau lihat persiapan dan prasarana yang ada,” jelasnya.

Disebut Ghozali, di pesantren itu mereka memiliki 35 tenaga pengajar dari keseluruhan mantan napiter. Dengan begitu, pesantren ini sudah siapkan jadi instruktur untuk mengembalikan pemahaman WNI eks ISIS tersebut agar anti terorisme. “Sudah siap menjadi instruktur untuk mengajak kembali ke NKRI. Membantu pemerintah dalam mengatasi pemahaman radikal langsung dari pelaku sejarah,” kata Ghozali.

Ia pun, menanggapi isu pro dan kontra pemulangan ratusan eks ISIS itu. Ghozali menilai, mereka adalah anak bangsa dan berwarganegaraan Indonesia. Dengan begitu, layak untuk dipulangkan dan mendapatkan pelayanan dari pemerintah. “Harus dipulangkan, walau kita berbeda. Mereka internasional dan kita lokal. Pemikiran sama, jangankan paspor, KTP saja kita bakar,” sebut Ghozali.

Walau bagaimana pun, Ghozali menjelaskan, mereka harus diakui oleh bangsa. Karena kampung dan tumpah darah mereka ada di Indonesia dan jangan dibuang. “Karena kita setanah air, hal itu sering diucapkan oleh pimpin negeri ini. Harus dibawa pulang, jangan ada pro dan kontra,” harapnya.

Namun begitu, Ghozali mengatakan, bila ratusan WNI eks ISIS itu melanggar hokum, silakan untuk dihukum sesuai dengan apa yang dilakukannya. Di luar itu, berikan hak mereka sebagai WNI di Tanah Air ini. “Saya di masa lalu juga merasakan itu. Kalau mereka melanggar hukum dengan membakar paspor dan KTP atau dokumen Negara, harus dihukum sebatas itu. Mereka anak-anak bangsa yang dikembalikan oleh bangsa,” jelasnya.

Ghozali yakin pemikiran dan pemahaman ratusan WNI tersebut, bisa dikembalikan dengan anti pemahaman radikalisme. “Bila negara ‘membuang’ mereka, lantas negara mana yang mau menerima mereka? Kalau mereka salah, dihukum dan direhabilitasi saja,” kata Ghozali.

Ia mencontokan pelaku penjahat, seperti bandar narkoba dengan jumlah besar. Negara hadir memberikan hak dan pelayanan kepada pelaku narkoba itu. Harus hal yang sama juga diberikan kepada mereka. “Penjahat narkoba, mereka dihukum sebagai anak bangsa. Pemerintah harus bertanggung jawab. Karena, 95 persen mereka adalah korban. Anak-anak, wanita. Bukan semua yang dialogis,” pungkasnya. (gus)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/