Pengabdian Sarjana Sumut di Kepulauan Simeulue (3/Habis)
Gempa tetap menjadi momok bagi sarjana asal Sumut yang menjadi Guru SM-3T dan mengabdi di Kepulauan Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam. Namun masih banyak lagi kasus yang membuat mereka harus kerja ekstra. Misalnya, saat musim cengkeh dan ketiadaan upacara bendera.
Kesuma Ramadhan, Kepulauan Simeulue
Soal gempa seperti yang dirasakan beberapa guru di SMPN 1 Desa Kampung Aie, Kecamatan Simeulue Tengah. Roby, seorang koordinator guru SM-3T, mengakui gempa yang berulang membuat mereka tak nyaman. Ya, meskipun secara teknis tidak ada kendala, namun bagi Roby fenomena gempa yang rutin terjadi memberikan trauma bagi para guru SM-3T.
“Bahkan akibat gempa besar yang terjadi pertengahan April kemarin, kami harus lari ke daerah pegunungan bersama masyarakat untuk menyelamatkan diri jika terjadi tsunami seperti 2004 lalu,” sebutnya.
Gambaran memprihatinkan lainnya begitu terasa ketika masa musim cengkeh tiba. Saat musim itu berlangsung, maka ruang sekolah akan terasa sepi karena ketidakhadiran para siswa didik. “Mereka meminta izin membantu orang tuanya memetik hasil panen,”ujar Roby yang diamini seluruh temannya yang lain.
Selain itu, pengakuan mengejutkan juga datang dari guru SM-3T lainnya, Reza Pohan.
Mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Makmur Jaya, Kecamatan Salam, Reza mengaku terkejut dengan pola jam belajar di sekolah itu. Sebelum kehadirannya, guru yang menetap di sekolah tersebut, selalu menerapkan masuk belajar pukul 11.00 WIB dan berakhir pukul 13.00 WIB.
Padahal menurut Reza, seharusnya jam belajar sudah dimulai pada pukul 08.00 WIB.
Selain itu dari pengakuan Reza, sekolah swasta itu juga tidak pernah melaksanakan upacara bendera sejak sekolah itu berdiri.
Alhasil, kedatangan Reza menambah tugas baru untuk mengubah sistem yang telah mendarah daging bagi seluruh siswa dan guru. “Agar ini bisa berubah secara bertahap, setiap pagi saya selalu memukul lonceng pukul 08.00 pagi. Saya juga selalu membiasakan upacara bendera dan bergantian mengajak guru lain menjadi pembina upacara,” ungkapnya.
Menariknya lagi, lagu Indonesia Raya dan Hening Cipta di Daerah Simeuleu Tengah terkadang agak asing terdengar di telinga. Selain lebih merdu dan mendayu, para siswa mendendangkan kedua lagu itu sesuai dengan dialek daerahnya yang cenderung bernuansa pesisir.
Ternyata sesuai informasi yang didapat dari sejumlah masyarakat, dialek yg digunakan penduduk Simeuleu, terbagi dalam tiga dialek dengan daerahnya masing-masing. Yakni untuk masyarakat Kecamatan Simeleue Timur, Simeuleu Selatan, Teupa Barat, dan Teluk Dalam menggunakan dialek Defayan.
Masyarakat Kecamatan Simelueu Barat, Alafan dan Salang, dalam kesehariannya menggunakan dialek Sigulai. Sementara masyarakat Simeulue Timur, dialek yang digunakan agak berbeda dengan keduanya, yakni menggunakan dialek Jame.
Berjuang Sendiri di Pulau Terpencil
Perjuangan lebih berat tampaknya dihadapi Leonard Tambunan. Dia bertugas di SMPN 3 Kecamatan Teluk dalam Desa Bulu Hadik. Nah, berbeda dengan nasib teman-temannya yang lain, pria kelahiran 29 September 1985 ini, harus mampu berjuang sendiri di sebuah pulau kecil bernama Siumat yang letaknya sedikit terpisah dari Kepulauan Simeuleu.
Untuk bisa sampai ke Kota Sinabang, Leonar setidaknya harus menyeberangi lautan lepas menggunakan kapal kecil, yang sering disebut masyrakat setempat dengan sebutan Robin.
Namun tidak mudah untuk melaluinya, selain harus memakan waktu sekitar dua jam lamanya, pengendara Robin juga harus memperhatikan kondisi cuaca yang sangat tidak menentu di daerah tersebut.
“Sebulan yang lalu, seorang guru kontrak asal Sinabang baru saja meninggal dunia akibat disapu ombak saat menyeberang dari Siumat ke Kota Sinabang. Kondisi inilah yang membuat saya harus berpikir matang untuk pergi ke Kota,” ujarnya.
Dibalik bayang-bayang yang mengancam keselamatan jiwanya, Leonar harus membiasakan hidup sendiri mengajar di SD dan SMP satu atap di daerah pengabdiannnya.
Anak keempat dari enam bersaudara ini tak tahu harus mengadu kemana, jika terjadi sesuatu hal buruk yang menimpa dirinya. Pasalnya keterbatasan sinyal untuk berkomunikasi juga menghantui hari-harinya. Selain itu ketiadaan bahan makanan hingga pasokan air bersih menambah warna lika-liku pengabdian Leonar di daerah yang terasing baginya .
Yang lebih memilukan lagi murid seakan tak begitu peduli dengan keberadaan guru, dan ini didukung dengan ketidakpedulian para orangtua murid atas pendidikan yang ditempuh anaknya. “Mereka juga berani melawan ketika dinasihati bahkan sering bolos, itu jugalah yang membuat saya kesulitan ketika memberikan materi di kelas,”tuturnya.
Beruntungnya, Leonar mendapatkan kesempatan untuk tinggal di sebuah rumah dinas milik pemerintah daerah setempat untuk tinggal tanpa dikenakan biaya. Ditemani dua orang guru bantu asal daerah setempat, menjadi pelipur lara bagi Leonar untuk bisa berbagi pengalaman dalam melewati hari-harinya.
Meskipun begitu, Leonar tak pernah menyerah untuk tetap mengabdi meskipun aral dan rintangan menghadang. Karena bagi pria kelahiran Desa Batang Serangan, Kabutaen Langkat ini, menjadi guru dan bisa berbagi ilmu adalah mimpi yang telah lama diimpikannya.
Melihat kondisi itu, Tim Monev Ditjen Dikti, Ganefri serta staf ditjen Dikti, Riyanto, mengaku akan mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi Leonar dan seluruh masalah yang dihadapi guru SM 3T di Simeuleu.
“Beragam masalah telah saya dengarkan dan lihat langsung. Tapi untuk diketahui bahwa ke-244 guru SM 3T di sini adalah orang-orang yang beruntug. Karena dengan pengabdian selama setahun nantinya kalian akan mendapatkan prioritas untuk mengikuti program profesi guru (PPG) tanpa melalui seleksi. Selain itu para guru SM-3T juga akan mendapatkan sertifikasi yang nantinya akan secara langsung mendapatkan tunjangan sertifikasi,” ujar Ganefri, didampingi Riyanto saat melakukan pertemuan dengan puluhan guru SM-3T di SMPN 3 Kecamatan Teluk Dalam Desa Bulu Hadik, belum lama ini.
Kalimat akhir itu juga menjadi kisah akhir perjalanan dan penelusuran Sumut Pos di Simeuleu. Minggu (29/4) lalu, sekitar pukul 10.00 WIB, tim akhirnya bertolak kembali ke Kota Medan. Perjalanan hingga ke Kota Medan dicapai selama 50 menit bersama Merpati Air. Tak terasa, empat hari telah terlalui. Begitu banyak duka dan cerita yang dialami para sarjana Sumut yang mengabdi di kepulauan itu. Salut. Sebagai generasi muda, ternyata mereka mau bersusah payah di sana dibanding sekadar di belakang meja. Sekali lagi, salut. (*)