26.7 C
Medan
Monday, June 17, 2024

Tak Mau Menyerah, Nikmati Hidup Apa Adanya

Nur’aini Lubis, Ibu Empat Anak yang Berjuang sebagai Tukang Urut

Sejak ditinggal sang suami 10 tahun lalu, Nur’aini hanya memikirkan bekerja, agar dapurnya tetap berasap. Segala hal tentang gemerlap dunia dilupakan, agar dapat menyekolahkan dan membesarkan keempat buah hatinya. Seperti apa perjuangannya?

Juli Ramadhani Rambe, Medan

Sebelum suaminya Almarhum Sulaiman meninggal, pekerjaan yang dilakoninya hanya mengurus keluarga kecilnya dan bekerja sebagai guru honorer di Madrasah, yang tidak terlalu memakan waktu. Saat sang suami di vonis mengindap penyakit gula, dan tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai kepala keluarga. Keputusan penting pun diambilnya, dengan mengambil alih tugas suami, sebagai kepala keluarga. Keahlian sebagai tukang urut, yang didapatnya dari keturunan keluarga, dijadikan pekerjaan untuk mendapatkan rezeki. Padahal, saat sang suami masih sehat dan dapat memenuhi kebutuhan keluarga, urut bukan menjadi keahliannya. Nur’aini pun memutuskan untuk keluar sebagai guru honorer karena penghasilan yang kecil yang didapatnya, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup.

“Aneh, tapi itulah yang terjadi. Keahlian mengurut (kusuk) semakin bagus, dan alhamdulillah banyak yang suka,” ungkap wanita kelahiran Sei Banbam, 1959 ini. Walau awalnya tidak yakin untuk menjalani pekerjaan sebagai tukang urut, tapi melihat buah hatinya yang masih kecil dan butuh makan, keyakinan untuk mejalani pekerjaan inipun dimantapkannya. “Sempat nggak yakin kalau saya bisa ngurut, bigung, tapi saat melihat anak-anak yang masih tanggung, jadi mau tidak mau harus dilakukan. Pilihannya, kelaparan atau malu,” tambahnya.

Nur’ani tidak pernah berpikir, nantinya akan menjadi seorang tukang urut. Selain karena tidak memiliki keterampilan, dirinya juga tidak pernah belajar otot dan sendi tubuh manusia. Tetapi, karena keluarganya memiliki keahlian urut, secara tidak langsung “ilmu urut” ini pun turun kepadanya. Inilah yang dianggapnya sebagai kuasa Tuhan. “Dari dulu tidak pintar ngurut, bahkan tidak pernah belajar sama sekali. Tapi, keluarga saya tukang urut. Kan katanya ilmu urut itu turun secara temurun, dan saya yang mendapatkannya,” ungkapnya. Dengan ilmu urut yang dimilikinya inilah, Nur’ani dapat menghidupi keluarganya. Bahkan dengan uang yang seadanya, salah satu anaknya, Yunita berhasil menyelesaikan bangku kuliahnya.

Selama 3 tahun, Nur’aini dan anak-anaknya berganti untuk merawat sang suami sebelum meninggal. Setiap pagi, sebelum ayam berkokok, Nur’aini sudah mulai beraktivitas, seperti memasak, menyuci baju, dan membersihkan rumah. Saat matahari sudah mulai meninggi, dirinya akan menuju rumah pasien yang mengharapkan jasa urutnya. “Lebih sering dipanggil ke rumah ya, kalaupun sebenarnya, saya juga menerima pasien urut dirumah,” ungkap ibunda dari Ruslan, Edi, Aswin dan Yunita ini.

Selama menjalani 3 tugas sekaligus, Nur’aini mengaku sering keteteran, sehingga mengakibatkan anak-anaknya kekurangan makanan. Karena masak hanya di pagi hari, saat tiba makan sore atau makan, biasanya lauk sudah habis. Satu-satunya cara yang dilakukannya hanyalah masak telur agar anak-anaknya dapat makan. Malah, terkadang, anak-anaknya lah yang memasak sendiri. “Kalau lauk sudah habis, ya mereka masak, kalau tidak mereka masak ya mereka kelaparan,” ungkapnya.

Selain rumah, hal lain yang harus diperhatikannya adalah menyimpan uang untuk dapat digunakan untuk besok hari. pekerjaannya sebagai tukang urut, yang hanya dibayar mulai dari Rp25 hingga Rp50 ribu, dirasa tidak dapat memenuhi kebutuhan. Apalagi, saat harus membeli obat untuk sang suami dan membayar uang kuliah. Kadang, karena uang yang dimiliki terbatas, untuk menebus obat sang suami pun dilakukan secara menyicil, atau tidak dibeli sama sekali. “Kalau sudah tidak ada duit, sementara obat juga sudah habis, kadang belinya setengah, atau tidak beli sama sekali,” ungkapnya. Dan bila sudah seperti ini, biasanya dirinya akan merodi dirinya untuk dapat menghasilkan uang. “Ya, urut hingga 5 sampai 6 orang la, yang penting ada duit,” tambahnya.

Walau memorsir tenaga, tapi Nur’aini tidak mau memporsir pikirannya. Segala hal yang sulit dan ribet akan dibuangnya jauh-jauh. Prinsipnya dalam menjalani hidup hanyalah nikmati apa yang ada, jangan pikirkan yang tidak ada. “Pikiran yang buat orang cepat tua dan sakitan. Saya tidak mau sakit, kalau saya sakit, siapa yang jaga cucu-cucu saya?” tambahnya. Biasanya, untuk mencari hiburan, dirinya kan mengunjungi adiknya yang bekerja sebagai pedagang di Pasar Simpang Limun Medan. “Disini banyak lihat orang, dan bisa bicara dengan adik, mengeluarkan unek-unek dan lainnya,” ungkapnya.

Saat ini, Nur’aini yang tinggal di Jalan Deli Tua Perumahan Deli Kencana, tinggal bersama dua cucunya yang masih remaja tanggung. Kedua cucunya, Satria (14) dan Suci (12) juga dibiayai. “Tetapi tidak semuanya, kadang bapaknya juga ngasih uang untuk mereka,” tambahnya.

Walau sudah berusia 58 tahun, tetapi Nur’aini tidak mau manja. Satu-satunya anak gadisnya, Yunita, sudah bekerja sebagai Pegawai Administrasi di salah satu pebrik yang ada di Tanjung Morawa. Sedangkan anak pertama (Ruslan), telah menikah dan bekerja di Bandara Polonia sebagai petugas tiket, Aswin juga telah berumah tangga dan bekerja, sedangkan Edi masih lajang dan bekerja di perusahaan elektronik. “Biarkan mereka menikmati hidup, selama ini kan mereka ada, tetapi tidak banyak, malah bisa dikatakan kekurangan,” ungkapnya. Karena itu, hidup di rumah anak pertama, tetapi untuk kebutuhannya masih didapat melalui urut. “Saya masih urut orang, 2 ata 3 orang sehari, atau tidak sama sekali, tergantung enaknya dan kebutuhan uang saja,” tambahnya.

Baginya, menjalani hidup ini, tidak ada yang perlu ditakuti, setiap waktu dan tindakan pasti akan mendapatkan imbalan. Saat suami sudah mulai sakit-sakitan, dan tidak dapat memenuhi kebutuhan, dirinya gamang untuk melakukan apa. “Tetapi buktinya, saya diberi keahlian dan rezeki saya ada di urut, semua jalan pasti ada rezekinya, jangan takut,” tambahnya. (ram)

Nur’aini Lubis, Ibu Empat Anak yang Berjuang sebagai Tukang Urut

Sejak ditinggal sang suami 10 tahun lalu, Nur’aini hanya memikirkan bekerja, agar dapurnya tetap berasap. Segala hal tentang gemerlap dunia dilupakan, agar dapat menyekolahkan dan membesarkan keempat buah hatinya. Seperti apa perjuangannya?

Juli Ramadhani Rambe, Medan

Sebelum suaminya Almarhum Sulaiman meninggal, pekerjaan yang dilakoninya hanya mengurus keluarga kecilnya dan bekerja sebagai guru honorer di Madrasah, yang tidak terlalu memakan waktu. Saat sang suami di vonis mengindap penyakit gula, dan tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai kepala keluarga. Keputusan penting pun diambilnya, dengan mengambil alih tugas suami, sebagai kepala keluarga. Keahlian sebagai tukang urut, yang didapatnya dari keturunan keluarga, dijadikan pekerjaan untuk mendapatkan rezeki. Padahal, saat sang suami masih sehat dan dapat memenuhi kebutuhan keluarga, urut bukan menjadi keahliannya. Nur’aini pun memutuskan untuk keluar sebagai guru honorer karena penghasilan yang kecil yang didapatnya, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup.

“Aneh, tapi itulah yang terjadi. Keahlian mengurut (kusuk) semakin bagus, dan alhamdulillah banyak yang suka,” ungkap wanita kelahiran Sei Banbam, 1959 ini. Walau awalnya tidak yakin untuk menjalani pekerjaan sebagai tukang urut, tapi melihat buah hatinya yang masih kecil dan butuh makan, keyakinan untuk mejalani pekerjaan inipun dimantapkannya. “Sempat nggak yakin kalau saya bisa ngurut, bigung, tapi saat melihat anak-anak yang masih tanggung, jadi mau tidak mau harus dilakukan. Pilihannya, kelaparan atau malu,” tambahnya.

Nur’ani tidak pernah berpikir, nantinya akan menjadi seorang tukang urut. Selain karena tidak memiliki keterampilan, dirinya juga tidak pernah belajar otot dan sendi tubuh manusia. Tetapi, karena keluarganya memiliki keahlian urut, secara tidak langsung “ilmu urut” ini pun turun kepadanya. Inilah yang dianggapnya sebagai kuasa Tuhan. “Dari dulu tidak pintar ngurut, bahkan tidak pernah belajar sama sekali. Tapi, keluarga saya tukang urut. Kan katanya ilmu urut itu turun secara temurun, dan saya yang mendapatkannya,” ungkapnya. Dengan ilmu urut yang dimilikinya inilah, Nur’ani dapat menghidupi keluarganya. Bahkan dengan uang yang seadanya, salah satu anaknya, Yunita berhasil menyelesaikan bangku kuliahnya.

Selama 3 tahun, Nur’aini dan anak-anaknya berganti untuk merawat sang suami sebelum meninggal. Setiap pagi, sebelum ayam berkokok, Nur’aini sudah mulai beraktivitas, seperti memasak, menyuci baju, dan membersihkan rumah. Saat matahari sudah mulai meninggi, dirinya akan menuju rumah pasien yang mengharapkan jasa urutnya. “Lebih sering dipanggil ke rumah ya, kalaupun sebenarnya, saya juga menerima pasien urut dirumah,” ungkap ibunda dari Ruslan, Edi, Aswin dan Yunita ini.

Selama menjalani 3 tugas sekaligus, Nur’aini mengaku sering keteteran, sehingga mengakibatkan anak-anaknya kekurangan makanan. Karena masak hanya di pagi hari, saat tiba makan sore atau makan, biasanya lauk sudah habis. Satu-satunya cara yang dilakukannya hanyalah masak telur agar anak-anaknya dapat makan. Malah, terkadang, anak-anaknya lah yang memasak sendiri. “Kalau lauk sudah habis, ya mereka masak, kalau tidak mereka masak ya mereka kelaparan,” ungkapnya.

Selain rumah, hal lain yang harus diperhatikannya adalah menyimpan uang untuk dapat digunakan untuk besok hari. pekerjaannya sebagai tukang urut, yang hanya dibayar mulai dari Rp25 hingga Rp50 ribu, dirasa tidak dapat memenuhi kebutuhan. Apalagi, saat harus membeli obat untuk sang suami dan membayar uang kuliah. Kadang, karena uang yang dimiliki terbatas, untuk menebus obat sang suami pun dilakukan secara menyicil, atau tidak dibeli sama sekali. “Kalau sudah tidak ada duit, sementara obat juga sudah habis, kadang belinya setengah, atau tidak beli sama sekali,” ungkapnya. Dan bila sudah seperti ini, biasanya dirinya akan merodi dirinya untuk dapat menghasilkan uang. “Ya, urut hingga 5 sampai 6 orang la, yang penting ada duit,” tambahnya.

Walau memorsir tenaga, tapi Nur’aini tidak mau memporsir pikirannya. Segala hal yang sulit dan ribet akan dibuangnya jauh-jauh. Prinsipnya dalam menjalani hidup hanyalah nikmati apa yang ada, jangan pikirkan yang tidak ada. “Pikiran yang buat orang cepat tua dan sakitan. Saya tidak mau sakit, kalau saya sakit, siapa yang jaga cucu-cucu saya?” tambahnya. Biasanya, untuk mencari hiburan, dirinya kan mengunjungi adiknya yang bekerja sebagai pedagang di Pasar Simpang Limun Medan. “Disini banyak lihat orang, dan bisa bicara dengan adik, mengeluarkan unek-unek dan lainnya,” ungkapnya.

Saat ini, Nur’aini yang tinggal di Jalan Deli Tua Perumahan Deli Kencana, tinggal bersama dua cucunya yang masih remaja tanggung. Kedua cucunya, Satria (14) dan Suci (12) juga dibiayai. “Tetapi tidak semuanya, kadang bapaknya juga ngasih uang untuk mereka,” tambahnya.

Walau sudah berusia 58 tahun, tetapi Nur’aini tidak mau manja. Satu-satunya anak gadisnya, Yunita, sudah bekerja sebagai Pegawai Administrasi di salah satu pebrik yang ada di Tanjung Morawa. Sedangkan anak pertama (Ruslan), telah menikah dan bekerja di Bandara Polonia sebagai petugas tiket, Aswin juga telah berumah tangga dan bekerja, sedangkan Edi masih lajang dan bekerja di perusahaan elektronik. “Biarkan mereka menikmati hidup, selama ini kan mereka ada, tetapi tidak banyak, malah bisa dikatakan kekurangan,” ungkapnya. Karena itu, hidup di rumah anak pertama, tetapi untuk kebutuhannya masih didapat melalui urut. “Saya masih urut orang, 2 ata 3 orang sehari, atau tidak sama sekali, tergantung enaknya dan kebutuhan uang saja,” tambahnya.

Baginya, menjalani hidup ini, tidak ada yang perlu ditakuti, setiap waktu dan tindakan pasti akan mendapatkan imbalan. Saat suami sudah mulai sakit-sakitan, dan tidak dapat memenuhi kebutuhan, dirinya gamang untuk melakukan apa. “Tetapi buktinya, saya diberi keahlian dan rezeki saya ada di urut, semua jalan pasti ada rezekinya, jangan takut,” tambahnya. (ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/