28 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Debat Pengaruhi 20 Persen Pemilih

FOTO : WAHYUDIN/JAWAPOS Pasangan Peserta Pemilu Presiden 2014 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla saling menyapa sebelum Debat Capres-Cawapres di Jakarta, Senin (9/6/2014). Debat pertama tersebut mengambil tema Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan Yang Bersih dan Kepastian Hukum.
FOTO : WAHYUDIN/JAWAPOS
Pasangan Peserta Pemilu Presiden 2014 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla saling menyapa sebelum Debat Capres-Cawapres di Jakarta, Senin (9/6/2014). Debat pertama tersebut mengambil tema Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan Yang Bersih dan Kepastian Hukum.

 

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Lembaga penelitian, Cyrus Network, menyatakan bahwa 80 persen masyarakat Indonesia tertarik atau ingin mengetahui debat pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Selain itu, sebanyak 20-30 persen dari mereka akan memantapkan pilihan usai mengetahui hasil debat.

“Jadi ini terbuka bagi masing-masing kandidat untuk membuka peta,” kata Direktur Eksekutif Cyrus Network, Hasan Nasbi, dalam konferensi pers di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa 10 Juni 2014.

Menurut Hasan, debat menjadi kesempatan memperlebar jarak bagi Jokowi apabila dia mampu unggul. Sedangkan, untuk Prabowo debat sebagai cara memperkecil jarak jika sukses membalikkan keadaan. “Tapi, tadi malam tidak terjadi kejutan yang berarti di dalam debat,” ujarnya.

Hasan mencatat, dalam debat perdana tersebut, Prabowo di bawah ekspektasi. Mantan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) itu tidak sebagus ketika berpidato di Bidakara, Jakarta. Justru Jokowi yang di Bidakara ada di bawah, tadi malam sedikit ada di atas perkiraan.

“Jokowi tidak istimewa tapi di atas perkiraan. Kira-kira kalau diberi nilai unggul tipis dibanding Prabowo,” katanya.

Dalam survei terbaru pada 25-31 Mei 2014, Cyrus menemukan selisih 12,5 persen antara Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta. Jokowi-JK 53,6 persen. Sedangkan, Prabowo-Hatta 41,1 persen.

“Angka unidentified voters 5 persen. Kecenderungannya ke mana? 2,5 Persen ke Joko Widodo, 0,4 untuk Jusuf Kalla, total 2,9 persen. Ada 0,6 ke Prabowo, dan 0,2 ke Hatta. Jadi 0,8 Prabowo-Hatta,” katanya.

Karena itu, salah satu cara utama agar Prabowo-Hatta melampaui elektabilitas Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah dengan memaksimalkan ajang debat untuk mempengaruhi pilihan 30 persen masyarakat. Keduanya masih memiliki waktu sekitar 3 minggu sebelum 9 Juli 2014.

“Prabowo-Hatta bisa membuat perubahan jika kejutan direncanakan sejak lama. Kalau hari ini, sulit bagi mereka karena waktu tinggal 3 minggu,” ucapnya.

Lebih lanjut, Hasan memprediksi Joko Widodo-Jusuf Kalla akan unggul dengan meraih suara 56,5 persen, kemudian Prabowo Subianto-Hatta Rajasa 43,5 persen dalam Pilpres mendatang jika pasangan yang diusung oleh Gerindra, Golkar, PKS, PPP, Demokrat, PBB, itu gagal memaksimalkan 30 persen pemilih di atas.

Survei Cyrus Network ini dilakukan di 34 provonsi di Tanah Air, dengan melibatkan 1.500 responden dan dilakukan dengan metode multistage random sampling dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Pengamat politik dari Pusat Demokrasi dan HAM Universitas Airlangga, Muhammad Asfar, mengatakan debat capres sebenarnya hanya mempengaruhi pilihan dari 20 persen pemilih di Indonesia.

“Pemilih rasional itu kurang lebih sekitar 20 persen, yaitu yang memilih karena program dari kandidat. Hanya saja kalau misalnya calon ini tidak membawa perdebatan yang berkualitas tentang positioning program dan juga sikap maka orang akan kembali memilih dengan berdasarkan variabel lain bukan variabel rasional,” jelas Asfar.

Asfar menambahkan dalam debat pertama yang digelar KPU, dua pasangan capres masih tampak memiliki visi dan program yang sama.

Hal itu disebabkan pertanyaan yang diajukan kepada capres tidak dipertajam. Dikatakan, ketika Prabowo menyebutkan pilkada menghabiskan biaya mahal, tetapi tidak ditanya apakah akan pemilihan kepala daerah akan dikembalikan ke DPRD.

“Demikian pula soal hukuman mati bagi koruptor yang sempat disampaikan oleh tim sukses Prabowo-Hatta, padahal itu bisa menjadi perdebatan yang menunjukkan sikap para capres,” jelas Asfar.

Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengatakan debat capres dan cawapres di Indonesia tidak banyak berpengaruh pada perubahan dukungan pemilih. Termasuk debat tadi malam antara pasangan Prabowo-Hatta dengan Jokowi-JK.

Pertama, survei LSI lima tahun lalu soal debat serupa, menunjukkan, yang menonton debat itu kurang dari 30 persen pemilih. Penonton debat umumnya kalangan menengah kota saja, terutama yang pendidikannya SMA ke atas, yang totalnya hanya 30 persen. Sementara 70 persen pemilih Indonesia yang pendidikan akhirnya adalah SMP ke bawah sangat jarang yang menonton debat presiden itu.

“Kondisi ini berbeda dengan debat presiden di Amerika Serikat, yang ditonton lebih dari 60 persen pemilihnya,” kata Denny JA, Selasa (10/6).

Kedua, dalam debat capres dan cawapres Indonesia, umumnya hasilnya berimbang saja. Tak ada yang menang dan kalah mencolok. Seperti antara pasangan Prabow-Hatta dan Jokowi-JK semalam. Prabowo lebih konsepsional dan Jokowi lebih praktikal. Dalam enam sesi debat itu, Jokowi lebih kuat pengalaman praktisnya di birokrasi dan Prabowo lebih kuat di abstraksi.

“Tak semua penonton debat lebih mengutamakan substansi debat. Banyak juga yang lebih fokus pada gaya berdebat. Tak ada yang menang atau kalah mencolok dalam debat presiden semalam, sebagaimana juga di lima tahun lalu,” jelas Denny JA lewat akun twitter @DennyJA_WORLD.

Ketiga, debat capres dan cawapres di Indonesia umumnya hanya mengkonfirmasi pilihan dari pemilih yang sudah punya pilihan saja. Bagi pendukung Prabowo sebelum debat, debat semalam lebih menguatkan dukungannya ke Prabowo. Hal yang sama juga berlaku bagi pendukung Jokowi.

Denny JA melanjutkan, penilaian mengenai siapa yang menang dan kalah dalam debat semalam, lebih banyak dipengaruhi oleh pilihan atas capres sebelum debat. Penilaian yang lebih obyektif dan atas debat lebih terjadi di kalangan elit akademisi yang non-partisan saja, dan mereka itu sangat minoritas.

“Sejak 2004, debat capres dan cawapres di Indonesia memang kurang punya efek elektoral. Namun debat itu tetap penting ditradisikan karena sehat bagi perkembangan demokrasi. Seiiring dengan waktu, semakin banyaknya para terdidik di Indonesia, debat capres akan semakin berpengaruh,” demikian Denny JA. (bbs/val)

 

Fakta Seputar Debat Capres/Cawapres

 

  • Survei LSI lima tahun lalu soal debat serupa, menunjukkan yang menonton debat itu kurang dari 30 persen pemilih.

 

  • Penonton debat umumnya kalangan menengah kota saja, terutama yang pendidikannya SMA ke atas, yang totalnya hanya 30 persen.

 

  • Dalam debat capres/cawapres di Indonesia, umumnya hasilnya berimbang saja. Tak ada yang menang dan kalah mencolok. Prabowo lebih konsepsional dan Jokowi lebih praktikal.

 

  • Debat capres/cawapres di Indonesia umumnya hanya mengkonfirmasi pilihan dari pemilih yang sudah punya pilihan saja.

 

  • Sejak 2004, debat capres dan cawapres di Indonesia memang kurang punya efek elektoral.

 

FOTO : WAHYUDIN/JAWAPOS Pasangan Peserta Pemilu Presiden 2014 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla saling menyapa sebelum Debat Capres-Cawapres di Jakarta, Senin (9/6/2014). Debat pertama tersebut mengambil tema Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan Yang Bersih dan Kepastian Hukum.
FOTO : WAHYUDIN/JAWAPOS
Pasangan Peserta Pemilu Presiden 2014 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla saling menyapa sebelum Debat Capres-Cawapres di Jakarta, Senin (9/6/2014). Debat pertama tersebut mengambil tema Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan Yang Bersih dan Kepastian Hukum.

 

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Lembaga penelitian, Cyrus Network, menyatakan bahwa 80 persen masyarakat Indonesia tertarik atau ingin mengetahui debat pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Selain itu, sebanyak 20-30 persen dari mereka akan memantapkan pilihan usai mengetahui hasil debat.

“Jadi ini terbuka bagi masing-masing kandidat untuk membuka peta,” kata Direktur Eksekutif Cyrus Network, Hasan Nasbi, dalam konferensi pers di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa 10 Juni 2014.

Menurut Hasan, debat menjadi kesempatan memperlebar jarak bagi Jokowi apabila dia mampu unggul. Sedangkan, untuk Prabowo debat sebagai cara memperkecil jarak jika sukses membalikkan keadaan. “Tapi, tadi malam tidak terjadi kejutan yang berarti di dalam debat,” ujarnya.

Hasan mencatat, dalam debat perdana tersebut, Prabowo di bawah ekspektasi. Mantan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) itu tidak sebagus ketika berpidato di Bidakara, Jakarta. Justru Jokowi yang di Bidakara ada di bawah, tadi malam sedikit ada di atas perkiraan.

“Jokowi tidak istimewa tapi di atas perkiraan. Kira-kira kalau diberi nilai unggul tipis dibanding Prabowo,” katanya.

Dalam survei terbaru pada 25-31 Mei 2014, Cyrus menemukan selisih 12,5 persen antara Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta. Jokowi-JK 53,6 persen. Sedangkan, Prabowo-Hatta 41,1 persen.

“Angka unidentified voters 5 persen. Kecenderungannya ke mana? 2,5 Persen ke Joko Widodo, 0,4 untuk Jusuf Kalla, total 2,9 persen. Ada 0,6 ke Prabowo, dan 0,2 ke Hatta. Jadi 0,8 Prabowo-Hatta,” katanya.

Karena itu, salah satu cara utama agar Prabowo-Hatta melampaui elektabilitas Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah dengan memaksimalkan ajang debat untuk mempengaruhi pilihan 30 persen masyarakat. Keduanya masih memiliki waktu sekitar 3 minggu sebelum 9 Juli 2014.

“Prabowo-Hatta bisa membuat perubahan jika kejutan direncanakan sejak lama. Kalau hari ini, sulit bagi mereka karena waktu tinggal 3 minggu,” ucapnya.

Lebih lanjut, Hasan memprediksi Joko Widodo-Jusuf Kalla akan unggul dengan meraih suara 56,5 persen, kemudian Prabowo Subianto-Hatta Rajasa 43,5 persen dalam Pilpres mendatang jika pasangan yang diusung oleh Gerindra, Golkar, PKS, PPP, Demokrat, PBB, itu gagal memaksimalkan 30 persen pemilih di atas.

Survei Cyrus Network ini dilakukan di 34 provonsi di Tanah Air, dengan melibatkan 1.500 responden dan dilakukan dengan metode multistage random sampling dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Pengamat politik dari Pusat Demokrasi dan HAM Universitas Airlangga, Muhammad Asfar, mengatakan debat capres sebenarnya hanya mempengaruhi pilihan dari 20 persen pemilih di Indonesia.

“Pemilih rasional itu kurang lebih sekitar 20 persen, yaitu yang memilih karena program dari kandidat. Hanya saja kalau misalnya calon ini tidak membawa perdebatan yang berkualitas tentang positioning program dan juga sikap maka orang akan kembali memilih dengan berdasarkan variabel lain bukan variabel rasional,” jelas Asfar.

Asfar menambahkan dalam debat pertama yang digelar KPU, dua pasangan capres masih tampak memiliki visi dan program yang sama.

Hal itu disebabkan pertanyaan yang diajukan kepada capres tidak dipertajam. Dikatakan, ketika Prabowo menyebutkan pilkada menghabiskan biaya mahal, tetapi tidak ditanya apakah akan pemilihan kepala daerah akan dikembalikan ke DPRD.

“Demikian pula soal hukuman mati bagi koruptor yang sempat disampaikan oleh tim sukses Prabowo-Hatta, padahal itu bisa menjadi perdebatan yang menunjukkan sikap para capres,” jelas Asfar.

Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengatakan debat capres dan cawapres di Indonesia tidak banyak berpengaruh pada perubahan dukungan pemilih. Termasuk debat tadi malam antara pasangan Prabowo-Hatta dengan Jokowi-JK.

Pertama, survei LSI lima tahun lalu soal debat serupa, menunjukkan, yang menonton debat itu kurang dari 30 persen pemilih. Penonton debat umumnya kalangan menengah kota saja, terutama yang pendidikannya SMA ke atas, yang totalnya hanya 30 persen. Sementara 70 persen pemilih Indonesia yang pendidikan akhirnya adalah SMP ke bawah sangat jarang yang menonton debat presiden itu.

“Kondisi ini berbeda dengan debat presiden di Amerika Serikat, yang ditonton lebih dari 60 persen pemilihnya,” kata Denny JA, Selasa (10/6).

Kedua, dalam debat capres dan cawapres Indonesia, umumnya hasilnya berimbang saja. Tak ada yang menang dan kalah mencolok. Seperti antara pasangan Prabow-Hatta dan Jokowi-JK semalam. Prabowo lebih konsepsional dan Jokowi lebih praktikal. Dalam enam sesi debat itu, Jokowi lebih kuat pengalaman praktisnya di birokrasi dan Prabowo lebih kuat di abstraksi.

“Tak semua penonton debat lebih mengutamakan substansi debat. Banyak juga yang lebih fokus pada gaya berdebat. Tak ada yang menang atau kalah mencolok dalam debat presiden semalam, sebagaimana juga di lima tahun lalu,” jelas Denny JA lewat akun twitter @DennyJA_WORLD.

Ketiga, debat capres dan cawapres di Indonesia umumnya hanya mengkonfirmasi pilihan dari pemilih yang sudah punya pilihan saja. Bagi pendukung Prabowo sebelum debat, debat semalam lebih menguatkan dukungannya ke Prabowo. Hal yang sama juga berlaku bagi pendukung Jokowi.

Denny JA melanjutkan, penilaian mengenai siapa yang menang dan kalah dalam debat semalam, lebih banyak dipengaruhi oleh pilihan atas capres sebelum debat. Penilaian yang lebih obyektif dan atas debat lebih terjadi di kalangan elit akademisi yang non-partisan saja, dan mereka itu sangat minoritas.

“Sejak 2004, debat capres dan cawapres di Indonesia memang kurang punya efek elektoral. Namun debat itu tetap penting ditradisikan karena sehat bagi perkembangan demokrasi. Seiiring dengan waktu, semakin banyaknya para terdidik di Indonesia, debat capres akan semakin berpengaruh,” demikian Denny JA. (bbs/val)

 

Fakta Seputar Debat Capres/Cawapres

 

  • Survei LSI lima tahun lalu soal debat serupa, menunjukkan yang menonton debat itu kurang dari 30 persen pemilih.

 

  • Penonton debat umumnya kalangan menengah kota saja, terutama yang pendidikannya SMA ke atas, yang totalnya hanya 30 persen.

 

  • Dalam debat capres/cawapres di Indonesia, umumnya hasilnya berimbang saja. Tak ada yang menang dan kalah mencolok. Prabowo lebih konsepsional dan Jokowi lebih praktikal.

 

  • Debat capres/cawapres di Indonesia umumnya hanya mengkonfirmasi pilihan dari pemilih yang sudah punya pilihan saja.

 

  • Sejak 2004, debat capres dan cawapres di Indonesia memang kurang punya efek elektoral.

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/