26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kemendagri Simulasikan Dua Opsi Pilkada Serentak

Usulan Pilkada secara serentak belum mendapat persetujuan kalangan DPR RI. Meski demikian, pemerintah telah menyiapkan berbagai antisipasi jika Pilkada serentak jadi dilaksanakan.

Salah satunya dengan menggelar simulasi Pilkada serentak. Ada dua metode yang rencananya bakal dipakai dalam Pilkada serentak nanti, yakni pengelompokan Pilkada dan menyerentakkan pemilihan umum legislatif (Pileg) dan pemilihan umum presiden (Pilpres).

Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Djohermansyah Johan, mengatakan, pemerintah mencoba melihat alternatif yang sesuai dengan perkembangan demokrasi lokal. Dari telaah Kemendagri, ujarnya, ada sejumlah alternatif yang bisa dilakukan jika Pilkada jadi diserentakkan.

Pertama, Pilkada dilakukan secara pengelompokan melalui tiga tahapan, yakni tahap pertama adalah masa jabatan kepala daerah yang habis pada 2014 akan dikelompokkan dengan kepala daerah yang habis masa jabatan pada 2015. Untuk 2014, ada 43 Pilkada yang bakal ditunda pelaksanaannya ke 2015. “Kira-kira ada 246 kepala daerah yang habis masa jabatannya. Jadi, pada 2015, Pilkada yang bakal digelar mencapai 289 dan direncanakan akan dilaksanakan pada September 2015,” ungkap Djohermansyah di Jakarta, kemarin.

Kemudian untuk tahap kedua, adalah bagi kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2016. Para kepala daerah ini akan dikumpulkan kembali seperti tahap pertama, bersama dengan kepala daerah yang habis masa jabatan pada 2017, untuk pelaksanaan Pilkada pada akhir 2017. Adapun tahap ketiga, akan melihat masa jabatan kepala daerah yang terpilih pada 2015 dan 2017. Untuk Pilkada 2015, masa jabatan habis pada 2020 dan Pilkada 2017 habis pada 2022. Di sini baru dapat digelar Pilkada serentak dengan mengisi penjabat atas masa jabatan kepala daerah yang sudah habis pada 2020 sampai 2021.

Kemudian, kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2022 akan dipercepat Pilkadanya pada 2021. Untuk opsi kedua, lanjutnya, Pilkada diserentakkan dengan Pileg yang sudah ditetapkan KPU pada 9 April 2014.Selain itu,juga digabungkan dengan pelaksanaan Pilpres yang rencananya digelar pada 9 Juli 2014.“Dengan format ini maka akan dipilih 524 gubernur,bupati/wali kota,serta 1 presiden.Tapi kelemahan dari opsi ini adalah,adanya pemotongan masa jabatan kepala daerah,”ungkapnya.

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, rencana pemerintah untuk menyerentakkan Pilkada adalah langkah tepat. Menurut dia, langkah itu bisa mengurangi pembengkakan anggaran yang selama ini terjadi.

Sementara itu, usulan tentang pilkada yang dilakukan secara serentak mendapat respons positif oleh KPU Pusat. Namun perlu ada analisis teknis yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR untuk menghasilkan aturan baru ini.

“Usulan itu bagus sebenarnya. Tapi perlu ada analisis teknisnya. Problemnya adalah apakah pihak pemerintah dan DPR mampu menghasilkan aturan sampai nanti bulan Oktober,” kata Ketua KPU Pusat, Husni Kamil Manik, saat ditemui di kantor KPU di Jakarta, Kamis (9/8).

Menurut Husni, KPU tidak masalah dengan digelarnya pilkada secara serentak. Apalagi KPU sudah berpengalaman sejak tahun 2008.
“Jadi secara teknis kita sudah berpengalaman. Nanti kita membutuhkan kepastian biaya,” ujarnya.

Pelaksanaan pilkada secara serentak perlu kepastian biaya, apakah akan dibiayai APBD atau tidak. Kalau aturan mengenai hal ini tidak ada, maka pembahasan di daerah akan sulit dilakukan. “Bahkan tidak mungkin disetujui karena tidak ada dasar hukumnya,” ucap Husni. (net/jpnn)

Usulan Pilkada secara serentak belum mendapat persetujuan kalangan DPR RI. Meski demikian, pemerintah telah menyiapkan berbagai antisipasi jika Pilkada serentak jadi dilaksanakan.

Salah satunya dengan menggelar simulasi Pilkada serentak. Ada dua metode yang rencananya bakal dipakai dalam Pilkada serentak nanti, yakni pengelompokan Pilkada dan menyerentakkan pemilihan umum legislatif (Pileg) dan pemilihan umum presiden (Pilpres).

Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Djohermansyah Johan, mengatakan, pemerintah mencoba melihat alternatif yang sesuai dengan perkembangan demokrasi lokal. Dari telaah Kemendagri, ujarnya, ada sejumlah alternatif yang bisa dilakukan jika Pilkada jadi diserentakkan.

Pertama, Pilkada dilakukan secara pengelompokan melalui tiga tahapan, yakni tahap pertama adalah masa jabatan kepala daerah yang habis pada 2014 akan dikelompokkan dengan kepala daerah yang habis masa jabatan pada 2015. Untuk 2014, ada 43 Pilkada yang bakal ditunda pelaksanaannya ke 2015. “Kira-kira ada 246 kepala daerah yang habis masa jabatannya. Jadi, pada 2015, Pilkada yang bakal digelar mencapai 289 dan direncanakan akan dilaksanakan pada September 2015,” ungkap Djohermansyah di Jakarta, kemarin.

Kemudian untuk tahap kedua, adalah bagi kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2016. Para kepala daerah ini akan dikumpulkan kembali seperti tahap pertama, bersama dengan kepala daerah yang habis masa jabatan pada 2017, untuk pelaksanaan Pilkada pada akhir 2017. Adapun tahap ketiga, akan melihat masa jabatan kepala daerah yang terpilih pada 2015 dan 2017. Untuk Pilkada 2015, masa jabatan habis pada 2020 dan Pilkada 2017 habis pada 2022. Di sini baru dapat digelar Pilkada serentak dengan mengisi penjabat atas masa jabatan kepala daerah yang sudah habis pada 2020 sampai 2021.

Kemudian, kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2022 akan dipercepat Pilkadanya pada 2021. Untuk opsi kedua, lanjutnya, Pilkada diserentakkan dengan Pileg yang sudah ditetapkan KPU pada 9 April 2014.Selain itu,juga digabungkan dengan pelaksanaan Pilpres yang rencananya digelar pada 9 Juli 2014.“Dengan format ini maka akan dipilih 524 gubernur,bupati/wali kota,serta 1 presiden.Tapi kelemahan dari opsi ini adalah,adanya pemotongan masa jabatan kepala daerah,”ungkapnya.

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, rencana pemerintah untuk menyerentakkan Pilkada adalah langkah tepat. Menurut dia, langkah itu bisa mengurangi pembengkakan anggaran yang selama ini terjadi.

Sementara itu, usulan tentang pilkada yang dilakukan secara serentak mendapat respons positif oleh KPU Pusat. Namun perlu ada analisis teknis yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR untuk menghasilkan aturan baru ini.

“Usulan itu bagus sebenarnya. Tapi perlu ada analisis teknisnya. Problemnya adalah apakah pihak pemerintah dan DPR mampu menghasilkan aturan sampai nanti bulan Oktober,” kata Ketua KPU Pusat, Husni Kamil Manik, saat ditemui di kantor KPU di Jakarta, Kamis (9/8).

Menurut Husni, KPU tidak masalah dengan digelarnya pilkada secara serentak. Apalagi KPU sudah berpengalaman sejak tahun 2008.
“Jadi secara teknis kita sudah berpengalaman. Nanti kita membutuhkan kepastian biaya,” ujarnya.

Pelaksanaan pilkada secara serentak perlu kepastian biaya, apakah akan dibiayai APBD atau tidak. Kalau aturan mengenai hal ini tidak ada, maka pembahasan di daerah akan sulit dilakukan. “Bahkan tidak mungkin disetujui karena tidak ada dasar hukumnya,” ucap Husni. (net/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/