JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Menurut perhitungan secara aktuaria, BPJS Kesehatan akan mengalami defisit tahun berjalan atau selisih biaya sekitar Rp19 triliun. Sebab tahun ini prediksi klaim BPJS Kesehatan mencapai Rp176,8 triliun. Sementara penerimaan iuran Rp157,8 triliun.
Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Abdul Kadir menyatakan BPJS Kesehatan ada dalam bayang-bayang defisit. Aset neto BPJS Kesehatan yang kini ada Rp 57,7 triliun akan tergerus untuk menutupi kekurangan pengeluarann
“Sudah diprediksi pada 2024 ini kita akan mengalami defisit tahun berjalan,” ungkapnya.
“(Jika) kewajiban untuk membayar klaim ke rumah sakit dibanding penerimaan yang diterima (maka) akan mengalami defisit,” kata Kadir saat ditemui di acara Kaleidoskop Jaminan Sosial kemarin (11/1). Kadir menambahkan kondisi BPJS Kesehatan kemungkinan masih sehat sampai 2025 saja jika tidak ada intervensi apapun. Ini mengandalkan aset neto BPJS Kesehatan yang disebut bisa membiayai klaim hingga empat atau lima bulan kedepan.
Dia berharap seluruh stakeholder memberikan atensi terhadap hal ini. Misalnya memilih opsi menaikkan iuran dan cost sharing dengan swasta. “Kenaikan iuran tergantung dengan presiden terpilih,” katanya.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengungkapkan, beban klaim lembaganya semakin naik. Pada 2023 beban klaim BPJS Kesehatan tercatat Rp158,8 triliun yang harus dibayarkan ke fasilitas kesehatan. Dibanding tahun sebelumnya naik Rp45,4 triliun. Dengan kata lain, 2022 hanya mencakup klaim Rp113,4 triliun. “Ini meningkatnya kepercayaan masyarakat,” katanya.
Ghufron mengungkapkan, pengguna BPJS Kesehatan cukup banyak. Dalam sehari ada 1,6 juta orang yang memanfaatkan JKN untuk kesehatannya. “Sebelum 2014, ada buku yang judulnya orang miskin dilarang sakit. Sekarang orang sakit dilarang bayar asa peserta BPJS Kesehatan,” ungkapnya.
BPJS Kesehatan tidak hanya memberikan klaim pada mereka yang sakit. Ghufron menyebutkan sudah ada 23 juta peserta jaminan kesehatan nasional (JKN) sudah melakukan skrining. Salah satu fasilitasnya ada di aplikasi Mobile JKN.
Pada 2023 lalu, BPJS Kesehatan sudah mengalami selisih biaya. Sebab pendapatan dari iuran senilai Rp151,4 triliun. Sementara realisasi beban jaminan kesehatan adalah Rp158,8 triliun. Artinya, sudah ada minus Rp7,4 triliun.
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Agus Suprapto menyatakan, perlu gotong royong untuk keberlanjutan dan peningkatan kualitas JKN. “Ini ada kaitannya dengan urun biaya. Namun sampai saat ini likuiditas di BPJS Kesehatan masih baik,” ucapnya.
Sementara itu Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mendesak agar ada kenaikan iuran. Sebab secara aturan menurut Perpres 82 Tahun 2018, iuran harus naik setiap dua tahun sekali. Terakhir iuran naik pada 2020. “Kalau seperti sebelumnya, setelah Pilpres (pemilihan presiden, Red). Saya berharap 2024, setelah Pilpres ada kenaikan iuran,” ucapnya.
Menurutnya, pendapatan utama BPJS Kesehatan utamanya dari iuran peserta JKN. “Kalau iuran tidak diutak-atik akan berpengaruh pada pembiayaan. Apalagi manfaat ditambah seperti biaya Covid-19 ditanggung dan vaksin untuk peserta PBI ditanggung JKN,” katanya. Kalau manfaat terus ditambah tapi tidak disertai dengan kanaikan iuran maka akan berisiko defisit. (lyn/jpg)