25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Kepala Daerah Melawan

Mangindar Simbolon (Samosir), Bima Arya, Jonas Salean- (Wali Kota Kupang, Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung)
Mangindar Simbolon (Samosir), Bima Arya, Jonas Salean- (Wali Kota Kupang, Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pandangan partai politik atau fraksi pendukung pemilihan kepala daerah dipilih DPRD, terus mendapat perlawanan. Tidak hanya dari kalangan aktivis dan partai pendukung Jokowi-JK, para kepala daerah yang tergabung dalam asosiasi pemerintah kabupaten (Apkasi) dan pemerintah kota (Apeksi) juga menyatakan mendukung sistem pemilihan pilkada langsung, dan menolak sistem pemilihan DPRD.

Pernyataan penolakan terhadap sistem pemilihan tidak langsung itu setelah Apkasi dan Apeksi melakukan rapat koordinasi bersama menyikapi perkembangan pembahasan Rancangan Undang Undang Pilkada di Grand Sahid Hotel, Jakarta, Kamis (11/9). Mewakili lebih dari 500 kepala daerah, sebanyak 46 bupati, 11 wali kota, 23 wakil bupati dan lima wakil wali kota hadir dalam pertemuan tersebut.

Ketua Umum Apkasi Isran Noor menyatakan, hasil rapat koordinasi menghasilkan enam poin keputusan. Poin pertama adalah sikap Apkasi dan Apeksi yang menyatakan mendukung agar pelaksanaan pilkada langsung tetap menjadi aturan main dalam RUU Pilkada. “Kami menolak pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD,” ujar Isran dalam pernyataannya.

Menurut Isran, kekhawatiran bahwa sistem pilkada langsung memunculkan praktik politik uang, biaya mahal, dan potensi konfilk horizontal sudah memiliki solusi. Untuk mengurangi biaya mahal dan munculnya konflik horizontal, pilkada bisa dilakukan secara serentak. Pilkada serentak ini bisa dilaksanakan secara nasional, ataupun secara regional di satu provinsi terlebih dahulu.

“Rakyat tidak ingin hak itu diambil oleh parpol,” kata Bupati Kutai Timur itu.

Isran juga menyatakan sikap tidak terima, terkait pernyataan bahwa pilkada langsung memunculkan praktik korupsi. Menurut dia, sampai saat ini tidak ada bukti-bukti di pengadilan yang mengaitkan itu dengan pilkada langsung. Justru, korupsi yang massif justru terjadi di pemerintahan dan anggota dewan yang berada di tingkat pusat.

“Di Jakarta banyak korupsi besar, apakah karena pilkada langsung? Tidak kan. Itu hanya kesimpulan yang lebay, berlebihan,” ujar mantan bakal capres peserta Konvensi Rakyat itu.

Di tempat yang sama, Ketua Umum Apeksi Vicky Lumentut menegaskan pernyataan Isran. Menurut dia, Apeksi sudah sebanyak tiga kali melakukan rakor dengan mengagendakan tema yang sama. Jawaban dari Apeksi tetap sama, yakni menolak pelaksanaan pilkada oleh DPRD.

“Semangat teman-teman tetap sama, bahwa kami menolak kalau pilkada walikota dan bupati yang sudah bagus dipilih rakyat dikembalikan ke DPRD,” ujar pria yang menjadi wali kota dari bendera Partai Demokrat itu.

Senada, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil berharap presiden bisa menggunakan kebijakan dan kebijaksanaannya menerima aspirasi dari 510 kabupaten/kota. Hasil survey juga sudah menunjukkan jika rakyat menghendaki pemilihan langsung. Statistik itu merupakan jawaban bahwa pilkada langsung adalah yang terbaik untuk Indonesia saat ini.

“Dalam UUD disampaikan adalah kedaulatan ada di rakyat, yakni memilih tanpa perantara. Ketika dengan perantara, maka akan terjadi banyak penyimpangan,” ujarnya.

Mantan Wali Kota Bontang, Andi Sofyan Hasdam memiliki cerita terkait kiprahnya saat menjabat, hasil pemilihan oleh DPRD tahun 2001. Andi menyebut, sulit bagi kepala daerah untuk bekerja optimal menyusun programnya untuk rakyat. Ini karena, kinerjanya lebih banyak direpotkan oleh sejumlah oknum anggota DPRD.

“Setiap akan menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) itu ada negosiasi lagi. Begitu terus setiap tahun,” ujar Andi di tempat yang sama.

Negosiasi itu, kata Andi, dimaksudkan supaya ada imbal balik untuk meloloskan LPJ itu. Namun, jika negosiasi tidak berjalan lancar, hampir pasti LPJ itu ditolak. “Imbasnya, ada kepala daerah yang diusulkan ke Menteri Dalam Negeri untuk ditolak,” ujar Andi.

Andi di pilkada Bontang 2006 terpilih lagi dalam pemilihan langsung. Dari situ, dirinya bisa merasakan perbedaannya. Pemilihan DPRD akan lebih banyak membuat kepala daerah tersandera. Pengisian jabatan dinas pun tidak lepas dari campur tangan dinas. “Jadi nanti sudah ditentukan sekdanya dari partai ini, kepala dinas PU dari partai ini,” ujarnya mengingatkan.

Bupati Samosir, Mangindar Simbolon juga mendukung pemilihan langsung. “Pertimbangan kami di sini bukan pertimbangan parpol. Ini pertimbangan rakyat banyak,” ujar Simbolon.

Menurut dia, tidak masalah jika RUU Pilkada dibahas untuk direvisi. Namun, sebaiknya sistem pemilihan tidak dirubah dari pola pemilihan langsung. Pola pemilihan oleh DPRD hanya akan menguntungkan segelintir elit yang ada di DPRD. “Ini nantinya menjadi suatu kemunduran apabila kepala daerah dipilih oleh DPRD,” ujarnya.

Meski sejumlah bupati yang menyampaikan penolakan berasal dari partai pendukung pilkada DPRD, mereka menyatakan tidak gentar dengan ancaman sanksi. Isran misalkan, selama ini dirinya tidak pernah ditegur karena perbedaan pandangan dengan partai. Sementara Emil — sapaan akrab Ridwan Kamil — menegaskan tidak memikirkan sanksi dari partai.

“Jadi, kalau nanti ditanya takut sanksi? Itu nomor sekian, yang pertama adalah isi kepala dan hati kita,” ujarnya.

Poin keputusan rapat koordinasi antara Apkasi dan Apeksi adalah menyepakati perlu adanya perbaikan sistem pemilihan kepala daerah dengan mempertimbangkan aspek filosofis, yuridis, sosiologis, politis dan praktis. Apkasi dan Apeksi juga sepakat jika sistem pemilihan tetap menggunakan mekanisme satu paket, atau tetap menyertakan calon wakil kepala daerah.

Apkasi dan Apeksi berencana akan mendatangi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR untuk menyampaikan keputusan itu. Keduanya jika meminta Kemendagri yang mewakili pemerintah bisa menarik diri dari pembahasan RUU Pilkada, jika mayoritas keinginan DPR terkait RUU Pilkada tidak berubah.

“Jika sistem pemilihan DPRD tetap tidak ada perubahan, Apkasi dan Apeksi akan melakukan judicial review (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi,” tegas Isran.

Sementara itu banyaknya desakan dari elemen masyarakat tidak membuat pemerintah berinisiatif mencabut RUU Pilkada. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menuturkan, pihaknya tidak bisa mencabut RUU Pilkada. Sebab, RUU tersebut telah sampai ke DPR. “Enggaklah, pemerintah yang menyampaikan konsep awal. Lalu dibahas di DPR,” tuturnya.

Mendagri berupaya mengklarifikasi terkait isu yang berkembang. Menurut dia, sebenarnya RUU itu bukan hanya isu soal pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Melainkan, juga soal meminimalisir politik dinasti yang terjadi di daerah. “Tapi, isu pemilihan tidak langsung ini yang berkembang di DPR,” jelasnya.

Selain itu, lanjut dia, soal terjadinya konflik pada pilkada. Hal tersebutlah yang membuat pemilihan tidak langsung dirancang di kota dan kabupaten. Sebab, terjadinya konflik hanya di tingkatan tersebut. Pada tingkat provinsi tidak terjadi konflik. “Itu makanya pada provinsi tetap pemilihan langsung,” ujarnya ditemui di kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Karena itulah tidak semua daerah bisa melakukan pemilihan langsung untuk pilkada kota dan kabupaten. Misalnya, seperti pada DKI Jakarta, dimana gubernurnya dipilih langsung, tapi kota-kotanya dipilih gubernur. “Papua juga ada aspirasi yang sama, pemilihan tidak langsung,” jelasnya.

Terkait aspirasi APKASI yang menolak pilkada tidak langsung, dia menjelaskan jika aspirasi itu tentu akan menjadi masukan bagi pemerintah dan DPR. Kalau pun tetap memiliki rencana untuk judicial review (JR) juga bukan masalah untuk pemerintah. “Tidak apa-apa, tiap hari pemerintah itu datang ke MK. Satu pasal saja tetap digugat,” jelasnya. (bay/dyn/ken/idr/jpnn/rbb)

Mangindar Simbolon (Samosir), Bima Arya, Jonas Salean- (Wali Kota Kupang, Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung)
Mangindar Simbolon (Samosir), Bima Arya, Jonas Salean- (Wali Kota Kupang, Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pandangan partai politik atau fraksi pendukung pemilihan kepala daerah dipilih DPRD, terus mendapat perlawanan. Tidak hanya dari kalangan aktivis dan partai pendukung Jokowi-JK, para kepala daerah yang tergabung dalam asosiasi pemerintah kabupaten (Apkasi) dan pemerintah kota (Apeksi) juga menyatakan mendukung sistem pemilihan pilkada langsung, dan menolak sistem pemilihan DPRD.

Pernyataan penolakan terhadap sistem pemilihan tidak langsung itu setelah Apkasi dan Apeksi melakukan rapat koordinasi bersama menyikapi perkembangan pembahasan Rancangan Undang Undang Pilkada di Grand Sahid Hotel, Jakarta, Kamis (11/9). Mewakili lebih dari 500 kepala daerah, sebanyak 46 bupati, 11 wali kota, 23 wakil bupati dan lima wakil wali kota hadir dalam pertemuan tersebut.

Ketua Umum Apkasi Isran Noor menyatakan, hasil rapat koordinasi menghasilkan enam poin keputusan. Poin pertama adalah sikap Apkasi dan Apeksi yang menyatakan mendukung agar pelaksanaan pilkada langsung tetap menjadi aturan main dalam RUU Pilkada. “Kami menolak pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD,” ujar Isran dalam pernyataannya.

Menurut Isran, kekhawatiran bahwa sistem pilkada langsung memunculkan praktik politik uang, biaya mahal, dan potensi konfilk horizontal sudah memiliki solusi. Untuk mengurangi biaya mahal dan munculnya konflik horizontal, pilkada bisa dilakukan secara serentak. Pilkada serentak ini bisa dilaksanakan secara nasional, ataupun secara regional di satu provinsi terlebih dahulu.

“Rakyat tidak ingin hak itu diambil oleh parpol,” kata Bupati Kutai Timur itu.

Isran juga menyatakan sikap tidak terima, terkait pernyataan bahwa pilkada langsung memunculkan praktik korupsi. Menurut dia, sampai saat ini tidak ada bukti-bukti di pengadilan yang mengaitkan itu dengan pilkada langsung. Justru, korupsi yang massif justru terjadi di pemerintahan dan anggota dewan yang berada di tingkat pusat.

“Di Jakarta banyak korupsi besar, apakah karena pilkada langsung? Tidak kan. Itu hanya kesimpulan yang lebay, berlebihan,” ujar mantan bakal capres peserta Konvensi Rakyat itu.

Di tempat yang sama, Ketua Umum Apeksi Vicky Lumentut menegaskan pernyataan Isran. Menurut dia, Apeksi sudah sebanyak tiga kali melakukan rakor dengan mengagendakan tema yang sama. Jawaban dari Apeksi tetap sama, yakni menolak pelaksanaan pilkada oleh DPRD.

“Semangat teman-teman tetap sama, bahwa kami menolak kalau pilkada walikota dan bupati yang sudah bagus dipilih rakyat dikembalikan ke DPRD,” ujar pria yang menjadi wali kota dari bendera Partai Demokrat itu.

Senada, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil berharap presiden bisa menggunakan kebijakan dan kebijaksanaannya menerima aspirasi dari 510 kabupaten/kota. Hasil survey juga sudah menunjukkan jika rakyat menghendaki pemilihan langsung. Statistik itu merupakan jawaban bahwa pilkada langsung adalah yang terbaik untuk Indonesia saat ini.

“Dalam UUD disampaikan adalah kedaulatan ada di rakyat, yakni memilih tanpa perantara. Ketika dengan perantara, maka akan terjadi banyak penyimpangan,” ujarnya.

Mantan Wali Kota Bontang, Andi Sofyan Hasdam memiliki cerita terkait kiprahnya saat menjabat, hasil pemilihan oleh DPRD tahun 2001. Andi menyebut, sulit bagi kepala daerah untuk bekerja optimal menyusun programnya untuk rakyat. Ini karena, kinerjanya lebih banyak direpotkan oleh sejumlah oknum anggota DPRD.

“Setiap akan menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) itu ada negosiasi lagi. Begitu terus setiap tahun,” ujar Andi di tempat yang sama.

Negosiasi itu, kata Andi, dimaksudkan supaya ada imbal balik untuk meloloskan LPJ itu. Namun, jika negosiasi tidak berjalan lancar, hampir pasti LPJ itu ditolak. “Imbasnya, ada kepala daerah yang diusulkan ke Menteri Dalam Negeri untuk ditolak,” ujar Andi.

Andi di pilkada Bontang 2006 terpilih lagi dalam pemilihan langsung. Dari situ, dirinya bisa merasakan perbedaannya. Pemilihan DPRD akan lebih banyak membuat kepala daerah tersandera. Pengisian jabatan dinas pun tidak lepas dari campur tangan dinas. “Jadi nanti sudah ditentukan sekdanya dari partai ini, kepala dinas PU dari partai ini,” ujarnya mengingatkan.

Bupati Samosir, Mangindar Simbolon juga mendukung pemilihan langsung. “Pertimbangan kami di sini bukan pertimbangan parpol. Ini pertimbangan rakyat banyak,” ujar Simbolon.

Menurut dia, tidak masalah jika RUU Pilkada dibahas untuk direvisi. Namun, sebaiknya sistem pemilihan tidak dirubah dari pola pemilihan langsung. Pola pemilihan oleh DPRD hanya akan menguntungkan segelintir elit yang ada di DPRD. “Ini nantinya menjadi suatu kemunduran apabila kepala daerah dipilih oleh DPRD,” ujarnya.

Meski sejumlah bupati yang menyampaikan penolakan berasal dari partai pendukung pilkada DPRD, mereka menyatakan tidak gentar dengan ancaman sanksi. Isran misalkan, selama ini dirinya tidak pernah ditegur karena perbedaan pandangan dengan partai. Sementara Emil — sapaan akrab Ridwan Kamil — menegaskan tidak memikirkan sanksi dari partai.

“Jadi, kalau nanti ditanya takut sanksi? Itu nomor sekian, yang pertama adalah isi kepala dan hati kita,” ujarnya.

Poin keputusan rapat koordinasi antara Apkasi dan Apeksi adalah menyepakati perlu adanya perbaikan sistem pemilihan kepala daerah dengan mempertimbangkan aspek filosofis, yuridis, sosiologis, politis dan praktis. Apkasi dan Apeksi juga sepakat jika sistem pemilihan tetap menggunakan mekanisme satu paket, atau tetap menyertakan calon wakil kepala daerah.

Apkasi dan Apeksi berencana akan mendatangi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR untuk menyampaikan keputusan itu. Keduanya jika meminta Kemendagri yang mewakili pemerintah bisa menarik diri dari pembahasan RUU Pilkada, jika mayoritas keinginan DPR terkait RUU Pilkada tidak berubah.

“Jika sistem pemilihan DPRD tetap tidak ada perubahan, Apkasi dan Apeksi akan melakukan judicial review (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi,” tegas Isran.

Sementara itu banyaknya desakan dari elemen masyarakat tidak membuat pemerintah berinisiatif mencabut RUU Pilkada. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menuturkan, pihaknya tidak bisa mencabut RUU Pilkada. Sebab, RUU tersebut telah sampai ke DPR. “Enggaklah, pemerintah yang menyampaikan konsep awal. Lalu dibahas di DPR,” tuturnya.

Mendagri berupaya mengklarifikasi terkait isu yang berkembang. Menurut dia, sebenarnya RUU itu bukan hanya isu soal pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Melainkan, juga soal meminimalisir politik dinasti yang terjadi di daerah. “Tapi, isu pemilihan tidak langsung ini yang berkembang di DPR,” jelasnya.

Selain itu, lanjut dia, soal terjadinya konflik pada pilkada. Hal tersebutlah yang membuat pemilihan tidak langsung dirancang di kota dan kabupaten. Sebab, terjadinya konflik hanya di tingkatan tersebut. Pada tingkat provinsi tidak terjadi konflik. “Itu makanya pada provinsi tetap pemilihan langsung,” ujarnya ditemui di kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Karena itulah tidak semua daerah bisa melakukan pemilihan langsung untuk pilkada kota dan kabupaten. Misalnya, seperti pada DKI Jakarta, dimana gubernurnya dipilih langsung, tapi kota-kotanya dipilih gubernur. “Papua juga ada aspirasi yang sama, pemilihan tidak langsung,” jelasnya.

Terkait aspirasi APKASI yang menolak pilkada tidak langsung, dia menjelaskan jika aspirasi itu tentu akan menjadi masukan bagi pemerintah dan DPR. Kalau pun tetap memiliki rencana untuk judicial review (JR) juga bukan masalah untuk pemerintah. “Tidak apa-apa, tiap hari pemerintah itu datang ke MK. Satu pasal saja tetap digugat,” jelasnya. (bay/dyn/ken/idr/jpnn/rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/