25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Dinilai Mengancam Kebebasan Pers, IJTI Tolak RKUHP

Ketua Umum IJTI Yadi Hendriana.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah dibahas dan rencananya akan ditetapkan pada akhir September 2019 oleh DPR RI.

Menurut IJTI, sejumlah pasal di RKUHP dapat melemahkan dan mengancam kebebasan pers di Indonesia.

Merespons hal itu, Ketua Umum IJTI Yadi Hendriana menyikapinya dengan memberikan pernyataan sikap. Pertama, mereka menolak pengesahan RKUHP menjadi Undang-Undang.

“Meminta Presiden Jokowi tidak menandatangi RKUHP karena bertentangan dengan kebebasan pers di Tanah Air,” ucap Yadi di Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (11/9).

Yadi mengimbau anggota DPR tak memaksakan diri untuk mengesahkan RKUHP pada akhir bulan ini. Dia menilai RKUHP rawan digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis dan pers.

“Sejumlah pasal dalam RKUHP tidak sejalan dengan Undang-Undang Pers yang menjamin kemerdekaan pers di Tanah Air,” ujarnya.

“Demokrasi yang tumbuh dan berkembang harus dijaga bersama dengan menjamin kebebasan pers, serta kebebasan berekspresi bagi publik,” kata Yadi menegaskan.

Terpisah, Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers, Agus Sudibyo mengatakan, ada sejumlah pasal dalam RKUHP berpotensi mengancam kebebasan pers. Jika disahkan jadi KUHP, maka kualitas kadar kepercayaan dan demokrasi bisa hilang.

“Mari kita imbau kepada teman-teman di DPR, para elite politik kita, mari kita cintai bangsa ini dengan menyelamatkan kebanggaan kita berbangsa hari ini, yaitu demokrasi dan kebebasan pers,” kata Agus dalam konferensi pers terkait ‘Ancaman RKUHP Terhadap Kebebasan Pers” di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Rabu (11/9).

“Jangan justru sebaliknya, membuat RKUHP ini yang justru bisa merusak, mereduksi, bisa mengurangi kualitas demokrasi dan kebebasan pers kita,” sambungnya.

Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan ada 10 pasal dalam RKUHP berpotensi mengancam kebebasan pers dan memenjarakan wartawan.

Ke 10 pasal tersebut adalah Pasal 219, 241, 246, dan 247 RKUHP yang mengatur pidana terkait penghinaan.

Kemudian Pasal 219 mengatur soal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden. Pasal 241 terkait penghinaan terhadap pemerintah.

Selanjutnya, Pasal 246 dan 247 mencantumkan hukuman pidana bagi orang yang menghasut orang lain atau melawan penguasa.

Dewan Pers meminta DPR melibatkan organisasi wartawan seperti AJI, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dalam mendiskusikannya pasal-pasal RKUHP yang menyangkut dengan pers.

“Bila menyangkut keselamatan wartawan, semestinya asosiasi wartawan AJI, PWI, IJTI dilibatkan dalam pembahasannya agar undang-undang memiliki legitimasi dari sisi isi,” ujar Agus Sudibyo. (bbs/ala)

Ketua Umum IJTI Yadi Hendriana.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah dibahas dan rencananya akan ditetapkan pada akhir September 2019 oleh DPR RI.

Menurut IJTI, sejumlah pasal di RKUHP dapat melemahkan dan mengancam kebebasan pers di Indonesia.

Merespons hal itu, Ketua Umum IJTI Yadi Hendriana menyikapinya dengan memberikan pernyataan sikap. Pertama, mereka menolak pengesahan RKUHP menjadi Undang-Undang.

“Meminta Presiden Jokowi tidak menandatangi RKUHP karena bertentangan dengan kebebasan pers di Tanah Air,” ucap Yadi di Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (11/9).

Yadi mengimbau anggota DPR tak memaksakan diri untuk mengesahkan RKUHP pada akhir bulan ini. Dia menilai RKUHP rawan digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis dan pers.

“Sejumlah pasal dalam RKUHP tidak sejalan dengan Undang-Undang Pers yang menjamin kemerdekaan pers di Tanah Air,” ujarnya.

“Demokrasi yang tumbuh dan berkembang harus dijaga bersama dengan menjamin kebebasan pers, serta kebebasan berekspresi bagi publik,” kata Yadi menegaskan.

Terpisah, Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers, Agus Sudibyo mengatakan, ada sejumlah pasal dalam RKUHP berpotensi mengancam kebebasan pers. Jika disahkan jadi KUHP, maka kualitas kadar kepercayaan dan demokrasi bisa hilang.

“Mari kita imbau kepada teman-teman di DPR, para elite politik kita, mari kita cintai bangsa ini dengan menyelamatkan kebanggaan kita berbangsa hari ini, yaitu demokrasi dan kebebasan pers,” kata Agus dalam konferensi pers terkait ‘Ancaman RKUHP Terhadap Kebebasan Pers” di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Rabu (11/9).

“Jangan justru sebaliknya, membuat RKUHP ini yang justru bisa merusak, mereduksi, bisa mengurangi kualitas demokrasi dan kebebasan pers kita,” sambungnya.

Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan ada 10 pasal dalam RKUHP berpotensi mengancam kebebasan pers dan memenjarakan wartawan.

Ke 10 pasal tersebut adalah Pasal 219, 241, 246, dan 247 RKUHP yang mengatur pidana terkait penghinaan.

Kemudian Pasal 219 mengatur soal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden. Pasal 241 terkait penghinaan terhadap pemerintah.

Selanjutnya, Pasal 246 dan 247 mencantumkan hukuman pidana bagi orang yang menghasut orang lain atau melawan penguasa.

Dewan Pers meminta DPR melibatkan organisasi wartawan seperti AJI, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dalam mendiskusikannya pasal-pasal RKUHP yang menyangkut dengan pers.

“Bila menyangkut keselamatan wartawan, semestinya asosiasi wartawan AJI, PWI, IJTI dilibatkan dalam pembahasannya agar undang-undang memiliki legitimasi dari sisi isi,” ujar Agus Sudibyo. (bbs/ala)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/