JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Juru Bicara Vaksinasi dari Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyatakan pihaknya terus mendorong percepatan vaksinasi gelombang pertama. Hal ini imbas masa kedaluwarsa vaksin Covid-19 asal perusahaan China, Sinovac, hanya berlaku enam bulan.
Masa kedaluwarsa di kemasan Sinovac tercatat sampai 2023, namun dipercepat menjadi 25 Maret 2021. Nadia mengatakan percepatan itu wajar dilakukan untuk vaksin yang dikeluarkan melalui izin penggunaan darurat (EUA).
“Kita tahu bahwa izin daripada penggunaan darurat ini adalah maksimum 6 bulan sehingga memang kita harus mempercepat proses penyuntikan. Saat ini kita tahu sudah hampir 300 ribu dosis per hari penyuntikannya,” kata Nadia dalam agenda bincang sehat yang disiarkan melalui live Instagram @radiokesehatan, Jumat (12/3).
Dengan target percepatan itu, Nadia mengaku masih ada beberapa hambatan. Salah satunya distribusi vaksin menuju sejumlah wilayah yang akses jalannya masih terbatas atau daerah tertinggal, terdepan dan terluar di Indonesia.
Pihak PT Bio Farma (Persero) sebelumnya menyatakan seluruh vaksin gelombang pertama yang masa kedaluwarsanya akan habis pada 25 Maret 2021 sudah didistribusikan awal Januari 2021 lalu. Selanjutnya, vaksin tersebut akan segera digunakan untuk proses vaksinasi Covid-19.
“Jadi dengan potensi terjadinya kedaluwarsa ini kita akan selalu mendorong, ini tantangan kita terutama di daerah yang terpencil, terluar, dan terdalam untuk segera mereka melakukan vaksinasi mengingat vaksinasi ini waktunya untuk masa penggunaannya cukup singkat,” jelas Nadia.
Masa kedaluwarsa vaksin Sinovac sempat menjadi pertanyaan publik. Sebab, bila vaksin sudah kedaluwarsa, beberapa ahli menyebut program vaksinasi yang dilakukan akan sia-sia atau tidak memberikan efikasi pada tubuh manusia.
Merespons hal itu, Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Covid-19 Sinovac Kusnandi Rusmil menjelaskan meski sudah habis masa kedaluwarsa, ada masa perpanjangan penggunaan vaksin. Hal itu sesuai aturan milik Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Namun demikian, ia menegaskan bahwa dampak penggunaan vaksin kedaluwarsa bisa mengurangi sensitivitas vaksin sehingga antibodi yang ditimbulkan dari vaksin menjadi rendah. Khusus untuk Sinovac yang kedaluwarsa, tidak akan membentuk antibodi.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan per data Kamis (11/3) mencatat sebanyak 3.696.059 orang telah menerima suntikan dosis pertama vaksin virus corona di Indonesia. Jumlah itu baru memenuhi 2,03 persen dari target vaksinasi sebanyak 181.554.465 penduduk Indonesia.
AstraZeneca Picu Pembekuan Darah?
Sementara itu, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyebut, pemerintah terus mengikuti perkembangan isu terkait vaksin Covid-19 AstraZeneca. Penggunaan vaksin ini akan terus dipantau sehingga jika terdapat kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) dapat segera diambil langkah-langkah penanganan yang sesuai.
Hal ini Wiku sampaikan dalam merespons kabar 8 negara Eropa yang menghentikan sementara penyuntikan vaksin AstraZeneca menyusul adanya laporan pembekuan darah pasien usai vaksinasi.
“Adanya monitoring kemunculan kejadian ikutan pasca-imunisasi atau KIPI dari pelaksanaan vaksinasi apapun produk ini (AstraZeneca) terus dilakukan oleh fasilitas kesehatan pelaksana vaksinasi yang diawasi terpusat oleh Badan POM dan dianalisis lebih lanjut oleh Komnas KIPI,” kata Wiku dalam konferensi pers yang ditayangkan YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (12/3).
Wiku memastikan, hingga saat ini vaksin AstraZeneca belum disuntikkan ke masyarakat Indonesia. Meskipun vaksin ini telah tiba di Tanah Air beberapa waktu lalu, penggunaannya masih menunggu ketentuan dari Kementerian Kesehatan. “Sampai saat ini vaksin AstraZeneca belum disuntikkan untuk target vaksinasi nasional, mengikuti proses alokasi yang akan ditentukan oleh Kementerian Kesehatan dan sertifikat halal dari MUI (Majelis Ulama Indonesia),” kata dia.
Menurut Wiku, pada prinsipnya vaksin AstraZeneca yang sudah ada di Indonesia aman digunakan. Sesuai dengan pernyataan Europan Medicine Agency (EMA), saat ini tidak ada indikasi bahwa vaksinasi AstraZeneca menyebabkan pembekuan darah. Perihal pembekuan darah ini juga tidak terdaftar sebagai efek samping dari vaksin buatan Inggris itu.
Faktanya, menurut Wiku, lebih dari 10 juta vaksin AstraZeneca yang telah digunakan tidak menunjukkan bukti peningkatan risiko emboli paru ataupun trombosis vena dalam golongan usia, jenis kelamin, dan golongan lainnya di berbagai negara.
“Hal ini menunjukkan bahwa jumlah kejadian sejenis ini secara signifikan lebih rendah pada penerima suntikan vaksin dibandingkan dengan angka kejadian pada masyarakat umum,” kata dia. Kendati demikian, Wiku memastikan, pemerintah terus memantau kemungkinan munculnya KIPI.
Hingga Kamis (11/3) ada delapan negara Eropa yang menangguhkan penggunaan vaksin AstraZeneca. Kedelapan negara tersebut yakni Denmark, Austria, Islandia, Norwegia, Estonia, Latvia, Lituania, dan Luksemburg. Adapun Badan Obat-obatan Eropa (EMA) mengungkapkan, sampai 9 Maret ada 22 kasus pembekuan darah dari 3 juta orang lebih yang divaksinasi di Wilayah Ekonomi Eropa.
Kemenkes: Vaksin AstraZeneca Aman
Menanggapi isu AstraZeneca, Kubir Vaksinasi dari kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, menyebut sejauh ini vaksin virus corona (covid-19) asal perusahaan farmasi Inggris AstraZeneca aman digunakan untuk populasi Indonesia.
Nadia berpedoman kepada hasil evaluasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan izin penggunaan darurat (EUA) AstraZeneca, pada Selasa (9/3).
“Bahwa kalau sudah ada EUA, ini artinya aspek safety penggunaan vaksin sudah dikaji dan mendapat masukan dari ITAGI, para ahli dari spesialis yang berkecimpung di bidang tersebut,” kata Nadia dalam acara daring yang disiarkan melalui kanal YouTube BNPB Indonesia, Jumat (12/3).
Nadia sekaligus menegaskan bahwa BPOM merupakan badan yang berkompeten dan independen, yang telah dipercayai sepenuhnya untuk mengurusi ihwal EUA segala vaksin covid-19 yang akan digunakan di Indonesia sepanjang perjalanan ini.
Oleh sebab itu, Nadia meminta publik untuk tetap menunggu keputusan lanjut dari BPOM terkait penggunaan vaksin AstraZeneca. “Nanti kalau memang ada perubahan dari peruntukkan atau kita sebutnya indikasi vaksin ini, tentunya ini akan kita rubah dalam pelaksanaannya,” jelas Nadia.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan ini sekaligus menjelaskan, sebanyak 113.600 vaksin jadi AstraZeneca itu akan dialokasikan sepenuhnya untuk program vaksinasi tahapan kedua yang menyasar petugas pelayanan publik dan warga lanjut usia (lansia) di Indonesia.
“Dan sampai saat ini BPOM belum memberikan perubahan ya dari vaksin AstraZeneca, jadi kita tentunya akan tetap menggunakan vaksin ini sesuai sasaran kita saat ini di tahap kedua,” pungkas Nadia. (cnn/kps)