SUMUTPOS.CO – Menanggapi prokontra soal sistem pilkada, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memastikan tetap memfasilitasi kedua cara pemilihan, baik pilkada langsung atau tidak langsung.
Ditemui di kantor Kemendagri, Direktur Jendral Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Johan menjelaskan, pemerintah ingin mendengar aspirasi masyarakat soal RUU pilkada tersebut.
“Kesannya, saat ini masyarakat ingin pilkada dilakukan secara langsung. Tapi, pemerintah tidak hanya sekedar langsung. Namun, harus ada perbaikan,” ujarnya.
Sebab, saat ini dari 540 kepala daerah, ternyata yang tersandung masalah korupsi ada 332 kepala daerah. Hal ini menunjukkan jika ada masalah yang harus diperbaiki. “Kami telah merancang caranya,” ujarnya.
Salah satunya, soal biaya kampanye pilkada yang sangat mahal. Dalam RUU Pilkada ada pembatasan tempat kampanye dan bahkan ada batasan biaya kampanye. “Semua diupayakan untuk bisa membuat pilkada yang murah,” jelasnya.
Yang paling penting, nantinya biaya kampanye itu juga akan diambil dari APBN. Boleh ada tambahan dana, tapi sistemnya harus dari partai yang diposisikan sebagai pengumpul dana publik. “Partai mengumpulkan dana dari masyarakat dan dijadikan dana kampanye. Ini tambahan untuk dana dari pemerintah,” terangnya.
Hal tersebut sebenarnya dicontoh dari apa yang telah dilakukan presiden terpilih Jokowi. Sehingga, dana kampanye itu dari publik, bukan dari mafia atau cukong yang ingin kepentingan bisnisnya dibantu. “Itulah alasannya,” ujarnya.
Untuk terus menekan biaya, nanti pemerintah juga menyiapkan saksi untuk setiap peserta pilkada. Peserta pilkada tidak perlu repot-repot untuk membayar saksi. “Pemerintah yang memiliki tugas itu,” jelasnya.
Semua itu, lanjut dia, dilakukan juga untuk membantu daerah-daerah. Selama ini, APBD selalu digunakan untuk penyelenggaraan pilkada melalui hibah dari pemerintah daerah ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tersebut membuat APBD tersedot dan anggaran pembangunan setiap daerah turun.
Terkait pilkada tidak langsung, dia menuturkan, nantinya ada uji publik untuk pilkada tidak langsung. Uji publik ini dirancang sebanyak tiga kali untuk memastikan jika peserta pilkada benar-benar berkualitas. Bahkan, uji publik ini diyakini bisa mencegah politik dinasti. Caranya, setiap peserta pemilu dilarang berasal dari ayah, ibu, istri, dan anak dari kepala daerah yang saat itu menjabat. “Keluarga kepala daerah dilarang menjadi peserta pilkada,” ujarnya.
Uji publik ini nantinya menghasilkan surat uji publik. Surat tersebut menjadi persyaratan utama untuk mendaftar menjadi peserta pemilu di KPU. “Kalau tidak lolos uji publik, tentu tidak bisa jadi peserta pemilu,” tuturnya. (idr/byu/dyn/owi/kim/jpnn/rbb)