26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Syok Lihat Ibu Lima Anak Pasrah Diusir Suami

Nani Zulminarni, Berdayakan 14 Ribu Janda di 19 Provinsi

Berkat pemberdayaan di bidang ekonomi, hukum, dan pendidikan yang dilakukan Nani Zulminarni dan timnya di Yayasan Pekka, sebagian janda miskin anggota mereka sukses menjadi tenaga pendidik, paralegal, bahkan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Beragam penghargaan internasional pun diterimanya.

SEKARING RATRI ADANINGGAR, Jakarta

 KANTOR: Ketua Yayasan PEKKA, Nani Zulminarni  kantornya, kawasan Duren Sawit, Jakarta. //Sekaring Ratri/Jawa Pos/jpnn
DI KANTOR: Ketua Yayasan PEKKA, Nani Zulminarni di kantornya, kawasan Duren Sawit, Jakarta. //Sekaring Ratri/Jawa Pos/jpnn

DENGAN maksud menggugah keberanian para janda yang hadir dalam pertemuan di sebuah desa di Nanggroe Aceh Darussalam itu, Nani Zulminarni memperkenalkan diri bahwa dia juga telah dua tahun bercerai. Tapi, belum lagi kalimatnya berlanjut, sang keuchik (kepala desa) menyelanya.

“Bagaimana Ibu bisa mengurusi para janda di sini kalau Ibu sendiri tak becus mengurus suami,” ujar kepala desa tersebut.

Seketika suasana pertemuan menjadi hening. Tim Nani yang bertugas mendokumentasikan pun langsung mematikan kamera sejenak. “Bahkan, ada ibu-ibu janda di depan saya yang mau menangis. Mereka merasa kasihan sama saya. Lalu, saya bilang sama dia, saya jadi janda itu tidak ada hubungannya dengan kapasitas mengurus suami. Tapi, saya tahu betul, dengan jadi janda saya akan terhina di mana-mana,” ujar Nani ketika ditemui akhir pekan lalu di Jakarta tentang pertemuan yang berlangsung 10 tahun silam tersebut.

Peristiwa itu memang cukup membuat Nani terpukul. Namun, dia tak sampai putus asa. Sebaliknya, semangatnya kian terlecut untuk memperjuangkan harkat para janda miskin yang dirintis sejak dia mendapat tawaran dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Peristiwa itu tidak lama setelah ibu tiga anak tersebut berpisah dengan sang suami.

Tawaran itu berupa pendokumentasian kehidupan para janda di wilayah konflik, khususnya Aceh dan Maluku pascakerusuhan 1998. Perempuan berjilbab kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat, itu tertarik.
Namun, perempuan kelahiran 10 September 50 tahun silam itu tidak ingin janda-janda tersebut sekadar didokumentasikan tanpa ada tindak lanjut nyatanya. Kebetulan, pada saat bersamaan, dia juga diminta terlibat dalam program pemerintah untuk pengentasan kemiskinan di tingkat desa, yang dikhususkan bagi janda-janda di Aceh melalui program pengembangan kecamatan (PPK).

“Saya lihat keduanya berhubungan. Jadi, saya usulkan untuk menyatukan dua program tersebut. Setelah itu lahirlah program Pekka (pemberdayaan perempuan kepala keluarga) yang menyangkut peran perempuan sebagai kepala rumah tangga,” papar Nani yang menjabat koordinator nasional Yayasan Pekka itu.

Setelah satu dekade Pekka berjalan, perjuangan Nani dan rekan-rekannya pun membuahkan hasil. Kini tercatat sudah sekitar 14 ribu janda yang menjadi anggota Pekka dari 19 provinsi di Indonesia.
Pekka juga telah memiliki 1.000 kader yang tersebar di wilayah-wilayah tersebut. Dari awal Pekka memang berusaha mengorganisasi para janda untuk membangun kekuatan secara kolektif sebagai bagian dari masyarakat.
Dengan bantuan pendanaan dari Japan Social Development Fund, Pekka awalnya mengembangkan kegiatan simpan pinjam, kemudian melatih anggota mereka dengan berbagai keterampilan. Tujuannya agar para janda itu dapat meningkatkan pendapatan, menjadi kepala rumah tangga, menjadi anggota masyarakat, menjadi pemimpin, dan hidup mandiri.

Nani menuturkan, Pekka memiliki beberapa program unggulan, yakni pemberdayaan ekonomi, hukum, dan pendidikan. “Karena masih banyak janda miskin di berbagai kawasan yang buta huruf. Jadi, mereka kami latih supaya bisa baca tulis, bahkan kami dorong mereka untuk mengikuti kejar paket supaya dapat ijazah,” tuturnya.

“Kami juga memberikan pendidikan hukum, karena ternyata banyak sekali ibu yang menghadapi persoalan hukum. Mulai pernikahan tidak tercatat hingga kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga),” lanjutnya.
Buntut kerja keras itu, selain jaringan yang telah merambah ke 19 provinsi, banyak kelompok perempuan kepala keluarga di bawah Yayasan Pekka yang telah berhasil memperbaiki kondisi perekonomian di wilayahnya. Para janda Pekka tidak lagi menjadi kaum perempuan yang tidak berdaya.

Sebaliknya, mereka kini justru banyak berperan di masyarakat. Ada yang menjadi guru, ada pula yang menjadi paralegal. Bahkan, beberapa dari mereka berhasil menjadi kepala desa serta mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. “Ya, meski tidak menang, setidaknya mereka berhasil membuktikan eksistensinya di masyarakat,” jelas Nani.

Keberhasilan itu tentu saja diraih dengan melewati berbagai onak. Penolakan dan perlawanan dengan berbagai latar belakang menghadang. Sebab, konsep yang diusung, yakni perempuan sebagai kepala keluarga, tergolong masih asing di berbagai tempat yang kebanyakan berbudaya patriarki.

“Awalnya memang susah sekali. Dalam satu hingga dua bulan hanya bisa mengumpulkan 10-15 orang,” kenang Nani.

Belum lagi kondisi mengenaskan yang dialami kaum janda. Di sebuah desa di Nusa Tenggara Barat, misalnya, Nani menemui seorang janda miskin dengan lima anak yang tinggal di sebuah gubuk kecil tidak layak huni. Yang mengejutkan, kepada Nani, si ibu itu bercerita kalau dulu dia tinggal di rumah yang bagus bersama suami dan anak-anak.

“Tapi, suatu hari, suaminya pulang membawa istri baru. Dia disuruh keluar begitu saja dari rumahnya dengan lima anaknya. Yang bikin saya shock, dia tidak protes dan menurut saja. Ketika saya tanya kenapa nggak protes, katanya nggak apa-apa, mungkin saya nggak pernah sisiran,” urai Nani.

Setelah melakukan survei kecil-kecilan, Nani menemukan bahwa praktik poligami di NTB sudah menjamur. Seperti kasus janda tersebut, sebagian besar perempuan di sana tidak keberatan diperlakukan tidak adil oleh sang suami.
Kondisi kurang lebih sama ditemuinya di Pulau Adonara, Nusa Tenggara Timur. Di salah satu desa, ada sekitar 100 janda. Mereka adalah janda-janda yang status pernikahannya tidak jelas.
Ada yang ditinggal suami bekerja di luar negeri lantas tidak kembali lagi. Ada ada pula yang dihamili, tapi tidak dinikahi. Sang pria hanya membayar denda adat.

Sudah pasti kemiskinan membelit mereka. Karena itulah, ketika Nani dan tim tiba di sana, mereka menyambutnya dengan antusias. “Mereka menatap kami dengan pandangan yang berbinar. Mereka senang sekali kami datang. Saya terharu sekali,” paparnya.

Pengalaman pribadi yang mengalami kegagalan berumah tangga dengan tiga putra di usia yang relatif masih muda, 38 tahun, memang membuat Nani dengan cepat bisa memahami kesulitan para janda. “Saya harus benar-benar tahan terhadap omongan orang yang kadang merendahkan, bahkan melecehkan,” jelasnya.

Akibat perceraian itu pula, Nani terpaksa mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai direktur di sebuah lembaga swadaya perempuan. “Saya nggak enak. Masak direktur LSM Perempuan gagal rumah tangganya. Namun, justru karena keputusan itulah saya akhirnya bersentuhan dengan dunia pemberdayaan perempuan,” ujarnya.

Komitmen dan kiprah Nani dalam upaya pemberdayaan perempuan itu pun membawanya meraih berbagai penghargaan, baik nasional maupun internasional. Di antaranya Asoka Fellowship 2007, Best Practice Development Award 2010 dari pemerintah Jepang, serta penghargaan bagi tokoh perempuan berpengaruh, Saparinah Sadli Award 2010.

Mereka yang dulu keras menentangnya kini juga bisa menerima dengan tangan terbuka. Sang kepala desa di Aceh tadi contohnya. Ketika Nani kembali ke desa tersebut dua tahun kemudian, tepatnya seusai tsunami 2004, si keuchik langsung meminta maaf kepadanya.

“Dia bahkan mengajak saya mampir ke rumah. Sebab, dia sudah melihat sendiri para janda anggota Pekka di sana menjadi sangat berdaya,” ujar Nani bangga. (*)

Nani Zulminarni, Berdayakan 14 Ribu Janda di 19 Provinsi

Berkat pemberdayaan di bidang ekonomi, hukum, dan pendidikan yang dilakukan Nani Zulminarni dan timnya di Yayasan Pekka, sebagian janda miskin anggota mereka sukses menjadi tenaga pendidik, paralegal, bahkan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Beragam penghargaan internasional pun diterimanya.

SEKARING RATRI ADANINGGAR, Jakarta

 KANTOR: Ketua Yayasan PEKKA, Nani Zulminarni  kantornya, kawasan Duren Sawit, Jakarta. //Sekaring Ratri/Jawa Pos/jpnn
DI KANTOR: Ketua Yayasan PEKKA, Nani Zulminarni di kantornya, kawasan Duren Sawit, Jakarta. //Sekaring Ratri/Jawa Pos/jpnn

DENGAN maksud menggugah keberanian para janda yang hadir dalam pertemuan di sebuah desa di Nanggroe Aceh Darussalam itu, Nani Zulminarni memperkenalkan diri bahwa dia juga telah dua tahun bercerai. Tapi, belum lagi kalimatnya berlanjut, sang keuchik (kepala desa) menyelanya.

“Bagaimana Ibu bisa mengurusi para janda di sini kalau Ibu sendiri tak becus mengurus suami,” ujar kepala desa tersebut.

Seketika suasana pertemuan menjadi hening. Tim Nani yang bertugas mendokumentasikan pun langsung mematikan kamera sejenak. “Bahkan, ada ibu-ibu janda di depan saya yang mau menangis. Mereka merasa kasihan sama saya. Lalu, saya bilang sama dia, saya jadi janda itu tidak ada hubungannya dengan kapasitas mengurus suami. Tapi, saya tahu betul, dengan jadi janda saya akan terhina di mana-mana,” ujar Nani ketika ditemui akhir pekan lalu di Jakarta tentang pertemuan yang berlangsung 10 tahun silam tersebut.

Peristiwa itu memang cukup membuat Nani terpukul. Namun, dia tak sampai putus asa. Sebaliknya, semangatnya kian terlecut untuk memperjuangkan harkat para janda miskin yang dirintis sejak dia mendapat tawaran dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Peristiwa itu tidak lama setelah ibu tiga anak tersebut berpisah dengan sang suami.

Tawaran itu berupa pendokumentasian kehidupan para janda di wilayah konflik, khususnya Aceh dan Maluku pascakerusuhan 1998. Perempuan berjilbab kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat, itu tertarik.
Namun, perempuan kelahiran 10 September 50 tahun silam itu tidak ingin janda-janda tersebut sekadar didokumentasikan tanpa ada tindak lanjut nyatanya. Kebetulan, pada saat bersamaan, dia juga diminta terlibat dalam program pemerintah untuk pengentasan kemiskinan di tingkat desa, yang dikhususkan bagi janda-janda di Aceh melalui program pengembangan kecamatan (PPK).

“Saya lihat keduanya berhubungan. Jadi, saya usulkan untuk menyatukan dua program tersebut. Setelah itu lahirlah program Pekka (pemberdayaan perempuan kepala keluarga) yang menyangkut peran perempuan sebagai kepala rumah tangga,” papar Nani yang menjabat koordinator nasional Yayasan Pekka itu.

Setelah satu dekade Pekka berjalan, perjuangan Nani dan rekan-rekannya pun membuahkan hasil. Kini tercatat sudah sekitar 14 ribu janda yang menjadi anggota Pekka dari 19 provinsi di Indonesia.
Pekka juga telah memiliki 1.000 kader yang tersebar di wilayah-wilayah tersebut. Dari awal Pekka memang berusaha mengorganisasi para janda untuk membangun kekuatan secara kolektif sebagai bagian dari masyarakat.
Dengan bantuan pendanaan dari Japan Social Development Fund, Pekka awalnya mengembangkan kegiatan simpan pinjam, kemudian melatih anggota mereka dengan berbagai keterampilan. Tujuannya agar para janda itu dapat meningkatkan pendapatan, menjadi kepala rumah tangga, menjadi anggota masyarakat, menjadi pemimpin, dan hidup mandiri.

Nani menuturkan, Pekka memiliki beberapa program unggulan, yakni pemberdayaan ekonomi, hukum, dan pendidikan. “Karena masih banyak janda miskin di berbagai kawasan yang buta huruf. Jadi, mereka kami latih supaya bisa baca tulis, bahkan kami dorong mereka untuk mengikuti kejar paket supaya dapat ijazah,” tuturnya.

“Kami juga memberikan pendidikan hukum, karena ternyata banyak sekali ibu yang menghadapi persoalan hukum. Mulai pernikahan tidak tercatat hingga kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga),” lanjutnya.
Buntut kerja keras itu, selain jaringan yang telah merambah ke 19 provinsi, banyak kelompok perempuan kepala keluarga di bawah Yayasan Pekka yang telah berhasil memperbaiki kondisi perekonomian di wilayahnya. Para janda Pekka tidak lagi menjadi kaum perempuan yang tidak berdaya.

Sebaliknya, mereka kini justru banyak berperan di masyarakat. Ada yang menjadi guru, ada pula yang menjadi paralegal. Bahkan, beberapa dari mereka berhasil menjadi kepala desa serta mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. “Ya, meski tidak menang, setidaknya mereka berhasil membuktikan eksistensinya di masyarakat,” jelas Nani.

Keberhasilan itu tentu saja diraih dengan melewati berbagai onak. Penolakan dan perlawanan dengan berbagai latar belakang menghadang. Sebab, konsep yang diusung, yakni perempuan sebagai kepala keluarga, tergolong masih asing di berbagai tempat yang kebanyakan berbudaya patriarki.

“Awalnya memang susah sekali. Dalam satu hingga dua bulan hanya bisa mengumpulkan 10-15 orang,” kenang Nani.

Belum lagi kondisi mengenaskan yang dialami kaum janda. Di sebuah desa di Nusa Tenggara Barat, misalnya, Nani menemui seorang janda miskin dengan lima anak yang tinggal di sebuah gubuk kecil tidak layak huni. Yang mengejutkan, kepada Nani, si ibu itu bercerita kalau dulu dia tinggal di rumah yang bagus bersama suami dan anak-anak.

“Tapi, suatu hari, suaminya pulang membawa istri baru. Dia disuruh keluar begitu saja dari rumahnya dengan lima anaknya. Yang bikin saya shock, dia tidak protes dan menurut saja. Ketika saya tanya kenapa nggak protes, katanya nggak apa-apa, mungkin saya nggak pernah sisiran,” urai Nani.

Setelah melakukan survei kecil-kecilan, Nani menemukan bahwa praktik poligami di NTB sudah menjamur. Seperti kasus janda tersebut, sebagian besar perempuan di sana tidak keberatan diperlakukan tidak adil oleh sang suami.
Kondisi kurang lebih sama ditemuinya di Pulau Adonara, Nusa Tenggara Timur. Di salah satu desa, ada sekitar 100 janda. Mereka adalah janda-janda yang status pernikahannya tidak jelas.
Ada yang ditinggal suami bekerja di luar negeri lantas tidak kembali lagi. Ada ada pula yang dihamili, tapi tidak dinikahi. Sang pria hanya membayar denda adat.

Sudah pasti kemiskinan membelit mereka. Karena itulah, ketika Nani dan tim tiba di sana, mereka menyambutnya dengan antusias. “Mereka menatap kami dengan pandangan yang berbinar. Mereka senang sekali kami datang. Saya terharu sekali,” paparnya.

Pengalaman pribadi yang mengalami kegagalan berumah tangga dengan tiga putra di usia yang relatif masih muda, 38 tahun, memang membuat Nani dengan cepat bisa memahami kesulitan para janda. “Saya harus benar-benar tahan terhadap omongan orang yang kadang merendahkan, bahkan melecehkan,” jelasnya.

Akibat perceraian itu pula, Nani terpaksa mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai direktur di sebuah lembaga swadaya perempuan. “Saya nggak enak. Masak direktur LSM Perempuan gagal rumah tangganya. Namun, justru karena keputusan itulah saya akhirnya bersentuhan dengan dunia pemberdayaan perempuan,” ujarnya.

Komitmen dan kiprah Nani dalam upaya pemberdayaan perempuan itu pun membawanya meraih berbagai penghargaan, baik nasional maupun internasional. Di antaranya Asoka Fellowship 2007, Best Practice Development Award 2010 dari pemerintah Jepang, serta penghargaan bagi tokoh perempuan berpengaruh, Saparinah Sadli Award 2010.

Mereka yang dulu keras menentangnya kini juga bisa menerima dengan tangan terbuka. Sang kepala desa di Aceh tadi contohnya. Ketika Nani kembali ke desa tersebut dua tahun kemudian, tepatnya seusai tsunami 2004, si keuchik langsung meminta maaf kepadanya.

“Dia bahkan mengajak saya mampir ke rumah. Sebab, dia sudah melihat sendiri para janda anggota Pekka di sana menjadi sangat berdaya,” ujar Nani bangga. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/