30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Ngaku Sudah Kaya, tak Peduli Bukunya Dibajak

Kali Pertama, Novelis Dunia Jostein Gaarder Kunjungi Pembacanya di Indonesia

Jostein Gaarder, penulis novel-novel best seller dunia, selama dua hari sejak Selasa hingga kemarin (12/10) menyapa para penggemarnya di Jakarta. Salah satu judul novel karyanya yang terkenal di Indonesia adalah Dunia Sophie. Apa yang membuat Gaarder tertarik datang ke negeri ini?

SOFYAN HENDRA, Jakarta

“Buku dari mana ini?” tanya Gaarder sambil membolak-balik buku Vita Brevis bersampul hitam. Gaarder menanyakan hal itu kepada seorang fans yang antre meminta tanda tangan di buku-buku karangannya.

Setelah dijawab bahwa buku itu ada di toko, Gaarder hanya tersenyum. Sambil membetulkan letak kacamatanya yang melorot, dia membubuhkan tanda tangan di buku yang menceritakan seorang Santo di mata perempuan yang pernah hidup bertahun-tahun tanpa ikatan pernikahan tersebut.

“Ternyata, buku saya dibajak juga di sini. Tapi, saya tak peduli. Saya tetap gembira mereka membaca buku saya,” ujar Gaarder seusai menandatangani buku.

Antusiasme pembaca untuk bertemu langsung dengan Gaarder memang tinggi. Lebih dari dua ratus fans Gaarder membawa tumpukan buku koleksinya. Di perpustakaan Universitas Indonesia (UI), Gaarder memberikan kuliah umum tentang perubahan iklim. Sehari sebelumnya, dia juga jumpa fans di Toko Buku Gramedia Matraman. Antrean juga tak kalah panjang.

Selain Vita Brevis, buku terjemahan karya Gaarder yang beredar tanpa hak cipta adalah Misteri Soliter. “Ini saya bawa,” seloroh Gaarder sambil menujukkan buku bersampul kuning itu. Misteri Soliter adalah novel favorit Gaarder. Buku itu bercerita tentang Hans Thomas, anak laki-laki berusia 12 tahun yang bersama ayahnya mencari ibunya yang menghilang. Misteri Soliter dikarang sebelum best seller Dunia Sophie meledak di pasaran.

Dunia Sophie terbit kali pertama di Norwegia pada 1991. Judul aslinya adalah Sofies Verden. Novel tersebut telah diterjemahkan ke lebih dari 54 bahasa. Di seluruh dunia, buku itu sudah laku lebih dari 50 juta kopi.
Dunia Sophie bercerita tentang Sophie Amundsen, gadis remaja 14 tahun, yang menerima surat-surat misterius. Surat-surat tersebut mempertanyakan seputar eksistensi dirinya.

Melalui Dunia Sophie, Gaarder mampu meramu filsafat dalam sebuah novel yang menarik disimak, mulai halaman pembuka hingga lembar terakhir. Padahal, novel itu hanya dibikin dalam waktu tiga bulan. Niat mulanya adalah untuk bahan ajar filsafat.

“Filsafat biasanya diajarkan terlalu akademis. Jadinya membosankan,” kata pria kelahiran Oslo, Norwegia, 8 Agustus 1952, tersebut. Ayah dua anak itu sebelumnya memang seorang guru filsafat di sekolah menengah.

Karena hanya diniatkan sebagai bahan ajar filsafat di Norwegia, Gaarder tidak menyangka bukunya akan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. “Karena itulah, filsafat yang dibahas hanya yang umum. Sebab, itu yang diajarkan di sana,” kata Gaarder.

“Kalau tahu akan diterjemahkan ke dalam bahasa, mungkin saya akan memasukkan filsafat muslim atau India, misalnya,” ujarnya.

Kebanyakan buku Gaarder bercerita tentang anak kecil atau remaja. Bagi dia, filsafat memang harus diajarkan sejak dini. Menurut dia, akan sulit mengajarkan filsafat kepada orang dewasa.

Sejak Dunia Sophie laku keras, Gaarder berhenti menjadi guru dan memutuskan untuk menjadi penulis. Di Indonesia, selain Dunia Sophie, buku-buku Gaarder yang telah diterbitkan dengan hak cipta oleh Penerbit Mizan adalah Maya, Gadis Jeruk, serta Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken. Gaarder telah menulis 16 judul novel.

Setelah berhenti menjadi guru, bersama istrinya, Siri Dannevig, Gaarder membuat Sophie Prize pada 1997. Itu adalah sebuah penghargaan tahunan dengan nilai USD 100 ribu yang dihadiahkan kepada orang atau organisasi yang dinilai berjasa dalam melestarikan lingkungan.

“Setelah buku-buku saya laku banyak, saya bertanya kepada istri saya. Ini bagaimana, kita sudah kebanyakan uang?” kata Gaarder lantas tertawa.

Bersama pemerintah Norwegia, Gaarder memang getol mengampanyekan pentingnya menghadapi perubahan iklim. Sejak 2010, pemerintah Indonesia dan Norwegia terikat kerja sama “perdagangan karbon” senilai USD 1 miliar. Melalui program itu, pemerintah Norwegia memberikan bantuan dengan syarat Indonesia mesti mencapai target pengurangan emisi. Salah satunya, memerangi penggundulan hutan.

“Kalau saya menulis buku sekarang, mungkin temanya ada yang mengenai isu lingkungan,” kata sarjana bahasa Skandinavia dan teologi dari University of Oslo itu. Dia menyatakan, masalah filosofis terpenting saat ini adalah tentang menjaga lingkungan.

Saat ini, Gaarder merasa telah mencapai semua impiannya. “Saya sudah menjadi apa yang saya inginkan sewaktu kecil. Saya memang membayangkan seperti diri saya saat ini. Bebas bertanya. Bebas menulis,” katanya.

Dia menambahkan, budaya membaca di Norwegia memang tinggi. Itu juga berkat dukungan pemerintah. “Penulis di sana, yang berkualitas, sepuluh ribu eksemplar akan dibeli pemerintah dan disalurkan ke perpustakaan-perpustakaan,” jelasnya.

Bagi Gaarder, ini adalah lawatan pertamanya ke Indonesia. Sayangnya, dia hanya dua hari berada di Jakarta. “Saya suka. Orang-orang di sini terbuka, bisa menerima banyak hal,” ujarnya. “Ini melelahkan. Tapi, saya gembira bisa bertemu banyak orang. Ini adalah pengalaman yang berbeda,” ungkapnya. (c5/kum/jpnn)

Kali Pertama, Novelis Dunia Jostein Gaarder Kunjungi Pembacanya di Indonesia

Jostein Gaarder, penulis novel-novel best seller dunia, selama dua hari sejak Selasa hingga kemarin (12/10) menyapa para penggemarnya di Jakarta. Salah satu judul novel karyanya yang terkenal di Indonesia adalah Dunia Sophie. Apa yang membuat Gaarder tertarik datang ke negeri ini?

SOFYAN HENDRA, Jakarta

“Buku dari mana ini?” tanya Gaarder sambil membolak-balik buku Vita Brevis bersampul hitam. Gaarder menanyakan hal itu kepada seorang fans yang antre meminta tanda tangan di buku-buku karangannya.

Setelah dijawab bahwa buku itu ada di toko, Gaarder hanya tersenyum. Sambil membetulkan letak kacamatanya yang melorot, dia membubuhkan tanda tangan di buku yang menceritakan seorang Santo di mata perempuan yang pernah hidup bertahun-tahun tanpa ikatan pernikahan tersebut.

“Ternyata, buku saya dibajak juga di sini. Tapi, saya tak peduli. Saya tetap gembira mereka membaca buku saya,” ujar Gaarder seusai menandatangani buku.

Antusiasme pembaca untuk bertemu langsung dengan Gaarder memang tinggi. Lebih dari dua ratus fans Gaarder membawa tumpukan buku koleksinya. Di perpustakaan Universitas Indonesia (UI), Gaarder memberikan kuliah umum tentang perubahan iklim. Sehari sebelumnya, dia juga jumpa fans di Toko Buku Gramedia Matraman. Antrean juga tak kalah panjang.

Selain Vita Brevis, buku terjemahan karya Gaarder yang beredar tanpa hak cipta adalah Misteri Soliter. “Ini saya bawa,” seloroh Gaarder sambil menujukkan buku bersampul kuning itu. Misteri Soliter adalah novel favorit Gaarder. Buku itu bercerita tentang Hans Thomas, anak laki-laki berusia 12 tahun yang bersama ayahnya mencari ibunya yang menghilang. Misteri Soliter dikarang sebelum best seller Dunia Sophie meledak di pasaran.

Dunia Sophie terbit kali pertama di Norwegia pada 1991. Judul aslinya adalah Sofies Verden. Novel tersebut telah diterjemahkan ke lebih dari 54 bahasa. Di seluruh dunia, buku itu sudah laku lebih dari 50 juta kopi.
Dunia Sophie bercerita tentang Sophie Amundsen, gadis remaja 14 tahun, yang menerima surat-surat misterius. Surat-surat tersebut mempertanyakan seputar eksistensi dirinya.

Melalui Dunia Sophie, Gaarder mampu meramu filsafat dalam sebuah novel yang menarik disimak, mulai halaman pembuka hingga lembar terakhir. Padahal, novel itu hanya dibikin dalam waktu tiga bulan. Niat mulanya adalah untuk bahan ajar filsafat.

“Filsafat biasanya diajarkan terlalu akademis. Jadinya membosankan,” kata pria kelahiran Oslo, Norwegia, 8 Agustus 1952, tersebut. Ayah dua anak itu sebelumnya memang seorang guru filsafat di sekolah menengah.

Karena hanya diniatkan sebagai bahan ajar filsafat di Norwegia, Gaarder tidak menyangka bukunya akan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. “Karena itulah, filsafat yang dibahas hanya yang umum. Sebab, itu yang diajarkan di sana,” kata Gaarder.

“Kalau tahu akan diterjemahkan ke dalam bahasa, mungkin saya akan memasukkan filsafat muslim atau India, misalnya,” ujarnya.

Kebanyakan buku Gaarder bercerita tentang anak kecil atau remaja. Bagi dia, filsafat memang harus diajarkan sejak dini. Menurut dia, akan sulit mengajarkan filsafat kepada orang dewasa.

Sejak Dunia Sophie laku keras, Gaarder berhenti menjadi guru dan memutuskan untuk menjadi penulis. Di Indonesia, selain Dunia Sophie, buku-buku Gaarder yang telah diterbitkan dengan hak cipta oleh Penerbit Mizan adalah Maya, Gadis Jeruk, serta Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken. Gaarder telah menulis 16 judul novel.

Setelah berhenti menjadi guru, bersama istrinya, Siri Dannevig, Gaarder membuat Sophie Prize pada 1997. Itu adalah sebuah penghargaan tahunan dengan nilai USD 100 ribu yang dihadiahkan kepada orang atau organisasi yang dinilai berjasa dalam melestarikan lingkungan.

“Setelah buku-buku saya laku banyak, saya bertanya kepada istri saya. Ini bagaimana, kita sudah kebanyakan uang?” kata Gaarder lantas tertawa.

Bersama pemerintah Norwegia, Gaarder memang getol mengampanyekan pentingnya menghadapi perubahan iklim. Sejak 2010, pemerintah Indonesia dan Norwegia terikat kerja sama “perdagangan karbon” senilai USD 1 miliar. Melalui program itu, pemerintah Norwegia memberikan bantuan dengan syarat Indonesia mesti mencapai target pengurangan emisi. Salah satunya, memerangi penggundulan hutan.

“Kalau saya menulis buku sekarang, mungkin temanya ada yang mengenai isu lingkungan,” kata sarjana bahasa Skandinavia dan teologi dari University of Oslo itu. Dia menyatakan, masalah filosofis terpenting saat ini adalah tentang menjaga lingkungan.

Saat ini, Gaarder merasa telah mencapai semua impiannya. “Saya sudah menjadi apa yang saya inginkan sewaktu kecil. Saya memang membayangkan seperti diri saya saat ini. Bebas bertanya. Bebas menulis,” katanya.

Dia menambahkan, budaya membaca di Norwegia memang tinggi. Itu juga berkat dukungan pemerintah. “Penulis di sana, yang berkualitas, sepuluh ribu eksemplar akan dibeli pemerintah dan disalurkan ke perpustakaan-perpustakaan,” jelasnya.

Bagi Gaarder, ini adalah lawatan pertamanya ke Indonesia. Sayangnya, dia hanya dua hari berada di Jakarta. “Saya suka. Orang-orang di sini terbuka, bisa menerima banyak hal,” ujarnya. “Ini melelahkan. Tapi, saya gembira bisa bertemu banyak orang. Ini adalah pengalaman yang berbeda,” ungkapnya. (c5/kum/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/