25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Langsung Ubah Nama jadi Osama

Cerita Para Santri Darul Akhfiya’ Nganjuk yang Digerebek Polisi

Sebagian besar santri Pondok Pesantren (Ponpes) Darul Akhfiya, Nganjuk, Jawa Timur, yang digerebek polisi Senin (12/11) ternyata masih muda. Mereka tidak menyangka ponpesnya dicurigai sebagai bagian dari jaringan teroris.

MOHAMMAD SYIFA, Nganjuk

PESANTREN: Polisi mendata santri Darul Akhfiya  Nganjuk, Jawa Timur, kemarin (13/11). //Mohammad Syifa/Radar Kediri/jpnn
PESANTREN: Polisi mendata santri Darul Akhfiya di Nganjuk, Jawa Timur, kemarin (13/11). //Mohammad Syifa/Radar Kediri/jpnn

Waktu menunjuk pukul 12.00. Para santri Darul Akhfiya yang semula sedang dudukduduk di ruang tengah Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD) Nganjuk di Jalan Imam Bonjol.

Nganjuk itu langsung bergegas mengambil air wudhu. Kemudian, mereka melaksanakan salat duhur berjamaah. Setelah selesai, beberapa santri langsung membaca Alquran.

Tak berselang lama, petugas BPBD memanggil para santri untuk berkumpul di salah satu ruangan kantor tersebut. Siang itu, mereka mendapat pemeriksaan kesehatan dari petugas medis yang disediakan Pemerintah Kabupaten Nganjuk. Dari hasil pemeriksaan, diketahui beberapa santri mengalami sakit mag, bahkan dua orang terbilang cukup parah. Selain itu, beberapa santri mengeluh pusing dan ngantuk. Maklum, sejak Senin petang (12/11) hingga dini hari kemarin (13/11), mereka belum sempat tidur.

Kendati demikian, di wajah mereka tidak tampak raut ketakutan atau kesedihan. Beberapa santri malah terlihat bercanda saat mengantre untuk periksa kesehatan. Bahkan, ketika Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Hadiatmoko datang, beberapa santri dengan santai tetap tidur-tiduran.

Sebagian besar di antara 40 santri Darul Akhfiya memang masih berusia belasan tahun. Hanya beberapa yang berusia lebih dari 20 tahun. Faris Robani (15) santri asal Desa Kandang Semangkon, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, mengungkapkan, dirinya menjadi santri di ponpes tersebut sejak setahun lalu. Awal mulanya, dia mengetahui adanya Ponpes Darul Akhfiya dari temannya yang lebih dulu nyantri di pondok itu.
“Yang kasih tahu teman-teman,” katanya kepada Radar Kediri (grup Sumut Pos) di sela-sela mengantre untuk pemeriksaan kesehatan.

Selama nyantri, Faris mengaku hanya mengaji dan menghafal Alquran. Hasilnya, setahun berada di pondok tersebut, dia sudah hafal 13 juz Alquran. Karena itu, dirinya kaget ketika warga dan aparat kepolisian menggerebek pondoknya. Apalagi, alasannya, pondok itu diduga terkait dengan jaringan teroris.

Sebagaimana diberitakan, sebuah rumah kontrakan di Desa Kepuh, Kecamatan Kertosono, Nganjuk, digerebek warga dan polisi. Rumah kontrakan yang difungsikan sebagai Ponpes Darul Akhfiya itu dicurigai terlibat jaringan teroris. Dalam penggerebekan tersebut, polisi menahan Nasiruddin Ahmad (34) yang disebut-sebut sebagai pemimpin pondok. Selain itu, puluhan remaja yang menjadi jamaah atau pengikut Nasiruddin dimintai keterangan.

Dari informasi yang dihimpun Radar Kediri, ponpes itu digerebek pada Senin sekitar pukul 17.00. Sebelumnya, sekitar pukul 15.00, ada rencana pertemuan antara warga dan penghuni rumah kontrakan tersebut di Balai Desa Kepuh. Warga menginginkan para penghuni segera meninggalkan rumah tersebut. Sebab, warga resah atas keberadaan serta aktivitas para jamaah Darul Akhfiya. Kabarnya, warga sudah sering mengingatkan agar mereka segera pindah, namun tak digubris. Puncaknya, Senin sore, warga dan polisi menggerebek pondok itu.

Selain menahan Nasiruddin dan jamaahnya, polisi menyita sejumlah senjata tajam, sebuah pistol yang diduga mainan, serta beberapa buku agama yang bertema jihad dan buku dengan sampul bergambar Abu Bakar Baasyir.

Namun, semua tuduhan itu dibantah habis-habisan oleh Nasiruddin. Dia menegaskan bahwa pondoknya semata-mata hanya mengajari para santri beribadah dan menghafal Alquran. Tidak ada latihan perang-perangan seperti tudingan warga. Olah fisik yang dilakukan di halaman belakang pondok semata dilakukan untuk berolahraga.

“Saya juga tidak mengenal langsung Ustad Abu Bakar Baasyir. Tahu saya, beliau adalah pengasuh Ponpes Ngruki, Solo,” tegas Nasiruddin.
Karena itu, kata dia, wajar bila santrinya kaget mengetahui pondok digerebek warga dan polisi. Misalnya, yang dituturkan Osama, salah seorang santri Darul Akhfiya. “Ya pasti kaget. Wong kami nyantri untuk menuntut ilmu agama kok,” ujarnya.

Sebenarnya, Osama bukan nama asli santri 16 tahun tersebut. Nama itu disematkan begitu remaja asal Semarang tersebut masuk Ponpes Darul Akhfiya. “Teman-teman pesantren yang memberi panggilan seperti itu,” kata Osama.

Ketika ditanya siapa nama sebenarnya, Osama enggan menjawab. Begitu pula, teman-temannya tidak mau menjelaskan. Mereka kompak menjawab bahwa nama itu sudah melekat pada Osama.

“Di kartu pondok namanya juga Osama, ada fotonya juga,” ujar salah seorang teman Osama.

Meski begitu, Osama mengaku bahwa dirinya memang ngefans pada sosok Osama bin Laden, pemimpin Al Qaeda yang tewas di persembunyian setelah diserang tentara AS. Osama merasa bangga mendapat panggilan seperti nama tokoh idolanya itu.

“Benar, saya mengidolakan Osama bin Laden,” ungkap santri yang sudah hafal 10 juz Alquran tersebut.

Rasa heran juga ditunjukkan beberapa santri lain atas penggerebekan pondok mereka. Mereka berusaha meyakinkan bahwa tidak ada yang janggal dengan pesantren itu. Bahkan, hingga kini mereka masih mendapat kiriman uang dari orangtua untuk hidup selama di pondok. Termasuk, membayar SPP bulanan yang besarnya variatif, mulai Rp100 ribu hingga Rp 300 ribu.

“Orangtua saya juga pernah datang ke pesantren. Mereka senang,” kata Saifudin (18) santri asal Desa Kawedusan, Kecamatan Ponggok, Blitar.
Ketua Asrama Pondok Darul Akhfiya Mahmud menegaskan bahwa di pondoknya tidak ada latihan kemiliteran seperti yang dituduhkan. Yang ada hanyalah latihan bela diri silat. Tapi, untuk itu, mereka tidak mengundang guru dari luar, melainkan memanfaatkan tenaga di pondok tersebut.
Mahmud bergabung di pesantren itu atas ajakan Nasiruddin. “Saya memang sudah mengenal Ustad Nasiruddin saat merantau di Surabaya,” lanjutnya.
Kendati begitu, Mahmud mengaku tidak tahu pasti siapa yang mendirikan pondok pesantren tersebut. Dia juga tidak tahu mengapa memilih lokasi di Kertosono.

“Dulu sempat ada santri dari sekitar pondok. Tapi, kini sudah keluar semua. Mungkin tidak kuat,” jelasnya. (*)

Cerita Para Santri Darul Akhfiya’ Nganjuk yang Digerebek Polisi

Sebagian besar santri Pondok Pesantren (Ponpes) Darul Akhfiya, Nganjuk, Jawa Timur, yang digerebek polisi Senin (12/11) ternyata masih muda. Mereka tidak menyangka ponpesnya dicurigai sebagai bagian dari jaringan teroris.

MOHAMMAD SYIFA, Nganjuk

PESANTREN: Polisi mendata santri Darul Akhfiya  Nganjuk, Jawa Timur, kemarin (13/11). //Mohammad Syifa/Radar Kediri/jpnn
PESANTREN: Polisi mendata santri Darul Akhfiya di Nganjuk, Jawa Timur, kemarin (13/11). //Mohammad Syifa/Radar Kediri/jpnn

Waktu menunjuk pukul 12.00. Para santri Darul Akhfiya yang semula sedang dudukduduk di ruang tengah Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD) Nganjuk di Jalan Imam Bonjol.

Nganjuk itu langsung bergegas mengambil air wudhu. Kemudian, mereka melaksanakan salat duhur berjamaah. Setelah selesai, beberapa santri langsung membaca Alquran.

Tak berselang lama, petugas BPBD memanggil para santri untuk berkumpul di salah satu ruangan kantor tersebut. Siang itu, mereka mendapat pemeriksaan kesehatan dari petugas medis yang disediakan Pemerintah Kabupaten Nganjuk. Dari hasil pemeriksaan, diketahui beberapa santri mengalami sakit mag, bahkan dua orang terbilang cukup parah. Selain itu, beberapa santri mengeluh pusing dan ngantuk. Maklum, sejak Senin petang (12/11) hingga dini hari kemarin (13/11), mereka belum sempat tidur.

Kendati demikian, di wajah mereka tidak tampak raut ketakutan atau kesedihan. Beberapa santri malah terlihat bercanda saat mengantre untuk periksa kesehatan. Bahkan, ketika Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Hadiatmoko datang, beberapa santri dengan santai tetap tidur-tiduran.

Sebagian besar di antara 40 santri Darul Akhfiya memang masih berusia belasan tahun. Hanya beberapa yang berusia lebih dari 20 tahun. Faris Robani (15) santri asal Desa Kandang Semangkon, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, mengungkapkan, dirinya menjadi santri di ponpes tersebut sejak setahun lalu. Awal mulanya, dia mengetahui adanya Ponpes Darul Akhfiya dari temannya yang lebih dulu nyantri di pondok itu.
“Yang kasih tahu teman-teman,” katanya kepada Radar Kediri (grup Sumut Pos) di sela-sela mengantre untuk pemeriksaan kesehatan.

Selama nyantri, Faris mengaku hanya mengaji dan menghafal Alquran. Hasilnya, setahun berada di pondok tersebut, dia sudah hafal 13 juz Alquran. Karena itu, dirinya kaget ketika warga dan aparat kepolisian menggerebek pondoknya. Apalagi, alasannya, pondok itu diduga terkait dengan jaringan teroris.

Sebagaimana diberitakan, sebuah rumah kontrakan di Desa Kepuh, Kecamatan Kertosono, Nganjuk, digerebek warga dan polisi. Rumah kontrakan yang difungsikan sebagai Ponpes Darul Akhfiya itu dicurigai terlibat jaringan teroris. Dalam penggerebekan tersebut, polisi menahan Nasiruddin Ahmad (34) yang disebut-sebut sebagai pemimpin pondok. Selain itu, puluhan remaja yang menjadi jamaah atau pengikut Nasiruddin dimintai keterangan.

Dari informasi yang dihimpun Radar Kediri, ponpes itu digerebek pada Senin sekitar pukul 17.00. Sebelumnya, sekitar pukul 15.00, ada rencana pertemuan antara warga dan penghuni rumah kontrakan tersebut di Balai Desa Kepuh. Warga menginginkan para penghuni segera meninggalkan rumah tersebut. Sebab, warga resah atas keberadaan serta aktivitas para jamaah Darul Akhfiya. Kabarnya, warga sudah sering mengingatkan agar mereka segera pindah, namun tak digubris. Puncaknya, Senin sore, warga dan polisi menggerebek pondok itu.

Selain menahan Nasiruddin dan jamaahnya, polisi menyita sejumlah senjata tajam, sebuah pistol yang diduga mainan, serta beberapa buku agama yang bertema jihad dan buku dengan sampul bergambar Abu Bakar Baasyir.

Namun, semua tuduhan itu dibantah habis-habisan oleh Nasiruddin. Dia menegaskan bahwa pondoknya semata-mata hanya mengajari para santri beribadah dan menghafal Alquran. Tidak ada latihan perang-perangan seperti tudingan warga. Olah fisik yang dilakukan di halaman belakang pondok semata dilakukan untuk berolahraga.

“Saya juga tidak mengenal langsung Ustad Abu Bakar Baasyir. Tahu saya, beliau adalah pengasuh Ponpes Ngruki, Solo,” tegas Nasiruddin.
Karena itu, kata dia, wajar bila santrinya kaget mengetahui pondok digerebek warga dan polisi. Misalnya, yang dituturkan Osama, salah seorang santri Darul Akhfiya. “Ya pasti kaget. Wong kami nyantri untuk menuntut ilmu agama kok,” ujarnya.

Sebenarnya, Osama bukan nama asli santri 16 tahun tersebut. Nama itu disematkan begitu remaja asal Semarang tersebut masuk Ponpes Darul Akhfiya. “Teman-teman pesantren yang memberi panggilan seperti itu,” kata Osama.

Ketika ditanya siapa nama sebenarnya, Osama enggan menjawab. Begitu pula, teman-temannya tidak mau menjelaskan. Mereka kompak menjawab bahwa nama itu sudah melekat pada Osama.

“Di kartu pondok namanya juga Osama, ada fotonya juga,” ujar salah seorang teman Osama.

Meski begitu, Osama mengaku bahwa dirinya memang ngefans pada sosok Osama bin Laden, pemimpin Al Qaeda yang tewas di persembunyian setelah diserang tentara AS. Osama merasa bangga mendapat panggilan seperti nama tokoh idolanya itu.

“Benar, saya mengidolakan Osama bin Laden,” ungkap santri yang sudah hafal 10 juz Alquran tersebut.

Rasa heran juga ditunjukkan beberapa santri lain atas penggerebekan pondok mereka. Mereka berusaha meyakinkan bahwa tidak ada yang janggal dengan pesantren itu. Bahkan, hingga kini mereka masih mendapat kiriman uang dari orangtua untuk hidup selama di pondok. Termasuk, membayar SPP bulanan yang besarnya variatif, mulai Rp100 ribu hingga Rp 300 ribu.

“Orangtua saya juga pernah datang ke pesantren. Mereka senang,” kata Saifudin (18) santri asal Desa Kawedusan, Kecamatan Ponggok, Blitar.
Ketua Asrama Pondok Darul Akhfiya Mahmud menegaskan bahwa di pondoknya tidak ada latihan kemiliteran seperti yang dituduhkan. Yang ada hanyalah latihan bela diri silat. Tapi, untuk itu, mereka tidak mengundang guru dari luar, melainkan memanfaatkan tenaga di pondok tersebut.
Mahmud bergabung di pesantren itu atas ajakan Nasiruddin. “Saya memang sudah mengenal Ustad Nasiruddin saat merantau di Surabaya,” lanjutnya.
Kendati begitu, Mahmud mengaku tidak tahu pasti siapa yang mendirikan pondok pesantren tersebut. Dia juga tidak tahu mengapa memilih lokasi di Kertosono.

“Dulu sempat ada santri dari sekitar pondok. Tapi, kini sudah keluar semua. Mungkin tidak kuat,” jelasnya. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/