28 C
Medan
Thursday, June 27, 2024

KMP Turunkan Konflik ke Daerah

Foto: dok.JPNN Koalisi Merah Putih. (KMP).
Foto: dok.JPNN
Koalisi Merah Putih. (KMP).

SUMUTPOS.CO – Koalisi Merah Putih (KMP) sepertinya tak main-main untuk mengontrol laju pemerintahan Jokowi-JK. Setelah terlibat konflik sengit dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di DPR, KMP mempermanenkan kekuatan strategis parpol pendukung mantan capres/cawapres Prabowo-Hatta di level DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Dengan dalih memperkuat sistem presidensial, pembentukan poros politik pusat-daerah itu terus bergulir.

Kendati mendapat kecaman dari berbagai pihak, kekuatan parpol yang berpayung dalam KMP terus dibangun hingga ke daerah. Pembentukan KMP di berbagai daerah itu diklaim untuk mengantisipasi banyaknya isu yang bisa berdampak pada perpecahan bangsa.

Deklarasi pertama kali dilakukan di Jakarta, selanjutnya presidium menggelar deklarasi KMP Yogyakarta, Bali, Jateng, Gorontalo, Sumatera Barat, Jawa Barat, serta menyusul provinsi-provinsi lain.

Anggota DPR dari Partai Golkar asal Sumut, Rambe Kamarulzaman, membantah gerakan   pembentukan KMP di daerah merupakan upaya penjegalan terhadap pemerintahan Jokowi.

“Tidak ada jegal. Tak ada di deklarasi itu yang mengatakan bahwa kita adalah pendukung Prabowo. Tidak ada,” kata Rambe di Gedung DPD RI, Senayan, Jakarta, Kamis (13/11).

Apabila KMP ingin konsisten permanen, maka menurut dia tak hanya di pusat tetapi di sejumlah daerah pun perlu diperkuat.

Ketua DPP Partai Golkar bidang Kerja Sama Organisasi dan Kemasyarakatan ini   meyakinkan, penyatuan sejumlah partai dalam suatu koalisi justru untuk memperkuat sistem presidensial. Sehingga, kata dia, proses komunikasi antar partai menjadi lebih sempurna dan sederhana.

“Yang jelas, bersinerginya partai-partai ini maka demokrasi kita akan lebih baik. Kalau partai-partai mengelompok, partai menyadari masing-masing posisinya. Kita tak ikut dukung Jokowi ya, nggak pantaslah kita jadi menteri. Jadi di sini kita bisa jadi pimpinan,” tukas Rambe.

Ketua Presidium Nasional KMP dan Ketum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie meyakinkan apa yang dilakukan oleh KMP sebagai sebuah tujuan jangka panjang. “Ini ideologis. Bukan kepentingan sesaat,” ujar politisi yang akrab dipanggil Ical tersebut.

Ical menjamin pembentukan KMP di berbagai daerah sebagai upaya memperkuat sistem presidensial. “Bentuk koalisi permanen, seperti KMP ini sebagai sumbangan politik nasional. Agar ada satu tenda besar,” katanya seusai ‘Deklarasi dan Pengukuhan Pengurus KMP DKI Periode 2014-2019 di Kawasan Kuningan, Jakarta.

“Ideologi bangsa ini. Kalau dulu ditarik ke kiri, sekarang ke arah kanan, yang lebih liberal. Karena itu KMP dibentuk,” cetusnya.

Sebaliknya, Pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi menilai, deklarasi pengurus KMP di daerah adalah upaya untuk menghambat pemerintahan Jokowi-JK. Menurut Kristiadi, kepengurusan KMP di daerah akan meneruskan perintah dari KMP pusat.

“Itu hanya operasional lebih lanjut untuk menjegal Jokowi,” kata Kristiadi, Kamis (13/11).

Kristiadi mengatakan, ia yakin KMP sejak lama ingin menjegal pemerintahan Jokowi. Hal itu terlihat dari penguasaan posisi-posisi strategis di parlemen dengan memanfaatkan instrumen Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Tata Tertib DPR.

Menurut Kristiadi, Partai Golkar memegang kendali dominan terkait langkah politik yang diambil oleh KMP. Secara khusus, ia menyebut Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai aktor utama di balik manuver KMP.

“Ini seperti pembusukan kreatif yang diperlukan pada organisasi yang mulai ekstraktif, yang dibikin hanya untuk kepentingan pembentuknya,” jelas Kristiadi.

Pakar Sosiologi Politik Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr M Arif Nasution menilai wacana pembentukan KMP dan KIH di tingkat daerah merupakan ide tolol dan membahayakan keutuhan NKRI.

“Mending bodoh masih bisa diajari. Parahnya ini hal yang tolol, bahkan jika ada istilah di atas tolol, itulah dia tepatnya. Saya berpikir mereka (DPR) tak paham fungsinya sebagai parlemen,” ujarnya kepada Sumut Pos, kemarin.

Gerakan politik itu, kata Arif, berpotensi membelah masyarakat dalam dua kelompok seperti realitas yang terjadi pada Pilpres lalu.

“Jadi wacana itu sangat bertolak belakang dengan fungsi partai politik sebagai alat penampung aspirasi masyarakat, yang mencerminkan dalam bentuk DPR, justru memecah-belah masyarakat melalui kubu-kubu yang terjadi di parlemen,” katanya kepada Sumut Pos,  tadi malam.

Menurut Arif, anggota dewan adalah jelmaan dari seluruh rakyat yang ada. Artinya legislatif merupakan tempat saluran aspirasi dan kepentingan masyarakat luas.

“Adanya wacana itu justru bisa menghancurkan sendi-sendi kehidupan di masyarakat. Di mana artinya menjelmakan dirinya dalam bentuk DPR. Nah pada konteks ini pula, merupakan salah satu titik kekhawatiran kita ke depan menentukan nasib bangsa ini. Karena kalau masyarakat dipecah belah, berarti turut menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat itu sendiri,” paparnya.

Padahal, lanjut Ketua Pascasarjana Pembangunan USU ini, para elit parpol itu pernah menyatakan bahwa NKRI merupakan harga mati. “Anggota DPR yang ada dalam bentuk KMP dan KIH, tidak mencerminkan yang diamanahkan UU itu sendiri sebagai penampung aspirasi masyarakat,” ungkapnya.

Jika dikaitkan dengan jargon Revolusi Mental Jokowi, Arif berpendapat, wacana tersebut sangat bertolak belakang. Meski sebenarnya belum jelas juga apa substansi dari revolusi mental itu, namun menurutnya jargon tersebut mengajak seluruh elemen menuju ke arah perbaikan.

“Ini bukan revolusi mental. Ini revolusi mengarah pada kehancuran. Revolusi mental yang menghancurkan masyarakat secara menyeluruh,” tegasnya.

Hal ini disebabkan lantaran tidak adanya kesepakatan dan kemampuan memimpin, sehingga membuat masyarakat menjadi terkotak-kotak. Ia bahkan memprediksi, jika kondisi ini terus berlangsung dan semakin parah, kemungkinan akan terjadi seperti Reformasi ’98 jilid II.

“Kalau saya melihat dengan kondisi yang semakin ruwet begini, TNI harus mengambil alih. Rakyat bisa saja menjatuhkan presiden, namun untuk merubah ke arah perubahan bukanlah hal yang gampang. Pemerintahan bisa saja berubah, tetapi jika rakyatnya tidak mau berkomitmen menuju ke arah itu, ya sama saja,” ungkapnya.

Untuk itu dia mengajak semua komponen bangsa agar bersatu dan jangan mau terpecah belah dengan adanya wacana tersebut. “Bagaimana kita mau revolusi mental kalau ceritanya seperti ini. Saya pikir jika kondisinya semakin parah, TNI harus bertindak dan mengambil-alih pemerintahan,” pungkasnya.

Sebelumnya diberitakan, partai-partai yang tergabung dalam KMP secara resmi membentuk kepengurusan untuk wilayah DKI Jakarta. Deklarasi yang sama juga segera digelar di seluruh provinsi dan kabupaten/kota.

Hadir dalam acara tersebut sejumlah petinggi partai, di antaranya Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum PPP Djan Faridz, dan Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional Amien Rais.

Selain itu, hadir pula Ketua DPD Demokrat DKI Jakarta Nachrowi Ramli dan Wakil Sekjen PKS Abu Bakar Al Habsyi. Deklarasi KMP DKI Jakarta ditandai dengan penyampaian orasi politik dari para petinggi partai.

Dalam orasinya, para petinggi partai KMP menyatakan bahwa dalam waktu dekat akan dideklarasikan kepengurusan KMP di sejumlah provinsi lainnya.

Kepengurusan KMP DKI Jakarta diketuai Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta Mohammad Taufik, dengan sekretaris Ketua DPD Golkar DKI Jakarta Zainuddin. Sementara, para wakilnya adalah Nachrowi, Ketua DPW PPP DKI Abraham Lunggana, Ketua DPW PAN Ali Taher, dan Ketua DPW PKS Selamat Nurdin.

Di Pulau Bali, KMP juga sudah mempermanenkan struktur koalisi. Sekretaris DPD Partai Golkar Bali, I Komang Purnama menuturkan, jajaran struktur KMP bahkan sudah terbentuk hingga ke tingkat kabupaten/kota. (bbs/prn/val)

Foto: dok.JPNN Koalisi Merah Putih. (KMP).
Foto: dok.JPNN
Koalisi Merah Putih. (KMP).

SUMUTPOS.CO – Koalisi Merah Putih (KMP) sepertinya tak main-main untuk mengontrol laju pemerintahan Jokowi-JK. Setelah terlibat konflik sengit dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di DPR, KMP mempermanenkan kekuatan strategis parpol pendukung mantan capres/cawapres Prabowo-Hatta di level DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Dengan dalih memperkuat sistem presidensial, pembentukan poros politik pusat-daerah itu terus bergulir.

Kendati mendapat kecaman dari berbagai pihak, kekuatan parpol yang berpayung dalam KMP terus dibangun hingga ke daerah. Pembentukan KMP di berbagai daerah itu diklaim untuk mengantisipasi banyaknya isu yang bisa berdampak pada perpecahan bangsa.

Deklarasi pertama kali dilakukan di Jakarta, selanjutnya presidium menggelar deklarasi KMP Yogyakarta, Bali, Jateng, Gorontalo, Sumatera Barat, Jawa Barat, serta menyusul provinsi-provinsi lain.

Anggota DPR dari Partai Golkar asal Sumut, Rambe Kamarulzaman, membantah gerakan   pembentukan KMP di daerah merupakan upaya penjegalan terhadap pemerintahan Jokowi.

“Tidak ada jegal. Tak ada di deklarasi itu yang mengatakan bahwa kita adalah pendukung Prabowo. Tidak ada,” kata Rambe di Gedung DPD RI, Senayan, Jakarta, Kamis (13/11).

Apabila KMP ingin konsisten permanen, maka menurut dia tak hanya di pusat tetapi di sejumlah daerah pun perlu diperkuat.

Ketua DPP Partai Golkar bidang Kerja Sama Organisasi dan Kemasyarakatan ini   meyakinkan, penyatuan sejumlah partai dalam suatu koalisi justru untuk memperkuat sistem presidensial. Sehingga, kata dia, proses komunikasi antar partai menjadi lebih sempurna dan sederhana.

“Yang jelas, bersinerginya partai-partai ini maka demokrasi kita akan lebih baik. Kalau partai-partai mengelompok, partai menyadari masing-masing posisinya. Kita tak ikut dukung Jokowi ya, nggak pantaslah kita jadi menteri. Jadi di sini kita bisa jadi pimpinan,” tukas Rambe.

Ketua Presidium Nasional KMP dan Ketum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie meyakinkan apa yang dilakukan oleh KMP sebagai sebuah tujuan jangka panjang. “Ini ideologis. Bukan kepentingan sesaat,” ujar politisi yang akrab dipanggil Ical tersebut.

Ical menjamin pembentukan KMP di berbagai daerah sebagai upaya memperkuat sistem presidensial. “Bentuk koalisi permanen, seperti KMP ini sebagai sumbangan politik nasional. Agar ada satu tenda besar,” katanya seusai ‘Deklarasi dan Pengukuhan Pengurus KMP DKI Periode 2014-2019 di Kawasan Kuningan, Jakarta.

“Ideologi bangsa ini. Kalau dulu ditarik ke kiri, sekarang ke arah kanan, yang lebih liberal. Karena itu KMP dibentuk,” cetusnya.

Sebaliknya, Pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi menilai, deklarasi pengurus KMP di daerah adalah upaya untuk menghambat pemerintahan Jokowi-JK. Menurut Kristiadi, kepengurusan KMP di daerah akan meneruskan perintah dari KMP pusat.

“Itu hanya operasional lebih lanjut untuk menjegal Jokowi,” kata Kristiadi, Kamis (13/11).

Kristiadi mengatakan, ia yakin KMP sejak lama ingin menjegal pemerintahan Jokowi. Hal itu terlihat dari penguasaan posisi-posisi strategis di parlemen dengan memanfaatkan instrumen Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Tata Tertib DPR.

Menurut Kristiadi, Partai Golkar memegang kendali dominan terkait langkah politik yang diambil oleh KMP. Secara khusus, ia menyebut Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai aktor utama di balik manuver KMP.

“Ini seperti pembusukan kreatif yang diperlukan pada organisasi yang mulai ekstraktif, yang dibikin hanya untuk kepentingan pembentuknya,” jelas Kristiadi.

Pakar Sosiologi Politik Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr M Arif Nasution menilai wacana pembentukan KMP dan KIH di tingkat daerah merupakan ide tolol dan membahayakan keutuhan NKRI.

“Mending bodoh masih bisa diajari. Parahnya ini hal yang tolol, bahkan jika ada istilah di atas tolol, itulah dia tepatnya. Saya berpikir mereka (DPR) tak paham fungsinya sebagai parlemen,” ujarnya kepada Sumut Pos, kemarin.

Gerakan politik itu, kata Arif, berpotensi membelah masyarakat dalam dua kelompok seperti realitas yang terjadi pada Pilpres lalu.

“Jadi wacana itu sangat bertolak belakang dengan fungsi partai politik sebagai alat penampung aspirasi masyarakat, yang mencerminkan dalam bentuk DPR, justru memecah-belah masyarakat melalui kubu-kubu yang terjadi di parlemen,” katanya kepada Sumut Pos,  tadi malam.

Menurut Arif, anggota dewan adalah jelmaan dari seluruh rakyat yang ada. Artinya legislatif merupakan tempat saluran aspirasi dan kepentingan masyarakat luas.

“Adanya wacana itu justru bisa menghancurkan sendi-sendi kehidupan di masyarakat. Di mana artinya menjelmakan dirinya dalam bentuk DPR. Nah pada konteks ini pula, merupakan salah satu titik kekhawatiran kita ke depan menentukan nasib bangsa ini. Karena kalau masyarakat dipecah belah, berarti turut menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat itu sendiri,” paparnya.

Padahal, lanjut Ketua Pascasarjana Pembangunan USU ini, para elit parpol itu pernah menyatakan bahwa NKRI merupakan harga mati. “Anggota DPR yang ada dalam bentuk KMP dan KIH, tidak mencerminkan yang diamanahkan UU itu sendiri sebagai penampung aspirasi masyarakat,” ungkapnya.

Jika dikaitkan dengan jargon Revolusi Mental Jokowi, Arif berpendapat, wacana tersebut sangat bertolak belakang. Meski sebenarnya belum jelas juga apa substansi dari revolusi mental itu, namun menurutnya jargon tersebut mengajak seluruh elemen menuju ke arah perbaikan.

“Ini bukan revolusi mental. Ini revolusi mengarah pada kehancuran. Revolusi mental yang menghancurkan masyarakat secara menyeluruh,” tegasnya.

Hal ini disebabkan lantaran tidak adanya kesepakatan dan kemampuan memimpin, sehingga membuat masyarakat menjadi terkotak-kotak. Ia bahkan memprediksi, jika kondisi ini terus berlangsung dan semakin parah, kemungkinan akan terjadi seperti Reformasi ’98 jilid II.

“Kalau saya melihat dengan kondisi yang semakin ruwet begini, TNI harus mengambil alih. Rakyat bisa saja menjatuhkan presiden, namun untuk merubah ke arah perubahan bukanlah hal yang gampang. Pemerintahan bisa saja berubah, tetapi jika rakyatnya tidak mau berkomitmen menuju ke arah itu, ya sama saja,” ungkapnya.

Untuk itu dia mengajak semua komponen bangsa agar bersatu dan jangan mau terpecah belah dengan adanya wacana tersebut. “Bagaimana kita mau revolusi mental kalau ceritanya seperti ini. Saya pikir jika kondisinya semakin parah, TNI harus bertindak dan mengambil-alih pemerintahan,” pungkasnya.

Sebelumnya diberitakan, partai-partai yang tergabung dalam KMP secara resmi membentuk kepengurusan untuk wilayah DKI Jakarta. Deklarasi yang sama juga segera digelar di seluruh provinsi dan kabupaten/kota.

Hadir dalam acara tersebut sejumlah petinggi partai, di antaranya Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum PPP Djan Faridz, dan Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional Amien Rais.

Selain itu, hadir pula Ketua DPD Demokrat DKI Jakarta Nachrowi Ramli dan Wakil Sekjen PKS Abu Bakar Al Habsyi. Deklarasi KMP DKI Jakarta ditandai dengan penyampaian orasi politik dari para petinggi partai.

Dalam orasinya, para petinggi partai KMP menyatakan bahwa dalam waktu dekat akan dideklarasikan kepengurusan KMP di sejumlah provinsi lainnya.

Kepengurusan KMP DKI Jakarta diketuai Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta Mohammad Taufik, dengan sekretaris Ketua DPD Golkar DKI Jakarta Zainuddin. Sementara, para wakilnya adalah Nachrowi, Ketua DPW PPP DKI Abraham Lunggana, Ketua DPW PAN Ali Taher, dan Ketua DPW PKS Selamat Nurdin.

Di Pulau Bali, KMP juga sudah mempermanenkan struktur koalisi. Sekretaris DPD Partai Golkar Bali, I Komang Purnama menuturkan, jajaran struktur KMP bahkan sudah terbentuk hingga ke tingkat kabupaten/kota. (bbs/prn/val)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/