33.6 C
Medan
Tuesday, June 25, 2024

PDIP Anggap Kasus BG Mirip Akbar Tandjung, Orang Siantar Ikut Taruhan

SUMUTPOS.CO- PDI Perjuangan blak-blakan meminta Presiden Jokowi melantik Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kapolri, meski misalnya hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Senin besok (16/2) menolak gugatan peradilan mantan ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri itu.

Bagi PDIP, tidak masalah kapolri dijabat oleh seorang tersangka, bahkan berstatus terdakwa sekalipun.n

Politikus PDIP Dwi Ria Latifa memberi contoh kasus Akbar Tandjung saat terjerat kasus korupsi Bulog sebesar Rp 40 miliar. Saat proses hukum masih bergulir, Akbar masih saja menjabat sebagai ketua DPR. Akhirnya, pada 12 Februari 2004, putusan kasasi MA menyatakan politikus gaek asal Sibolga itu tidak bersalah.

Menurut perempuan asal Kepulauan Riau itu, kasus BG mirip dengan kasus Akbar.  “Bergulir terus sampai akhirnya berkekuatan hukum tetap dan beliau bebas. Itulah yang namanya menjunjung asas praduga tak bersalah, itu contoh yang serupa tapi tidak sama,” kata Dwi saat diskusi bertema  ‘Simalakama Jokowi di Cikini, Jakarta, kemarin Sabtu (14/2).

Bukan itu saja, Dwi juga menakut-nakuti Jokowi jika tetap tidak melantik BG. Jokowi, lanjutnya, bisa dianggap melanggar konstitusi, melanggar HAM, sehingga akan mendapatkan reaksi dari kalangan DPR.

“Ada tataran HAM, tataran politik. Kami ingatkan, keputusan apa pun jangan melanggar konstitusi. Kalau dilanggar sedikit saja, peluangnya macam-macam, interpelasilah, dan suara-suara menggaung di DPR,” kata anggota Komisi III DPR itu.

Namun pendapat Dwi dimentahkan Pakar hukum tata negara Refly Harun. Menurutnya, bukan hal yang gampang menyebut Jokowi melanggar konstitusi jika tidak melantik BG. “Dari sisi konstitusi, sebutkan pasal mana?” cetus Refly.

Selain tidak jelas tuduhan pelanggaran konstitusi, menurutnya, penunjukkan kapolri merupakan hak prerogratif presiden dan DPR sifatnya hanya memberikan persetujuan saja.

Refly menjelaskan, dalam konstitusi hanya ada tiga alasan yang bisa dipakai untuk memakzulan presiden yakni apabila presiden melakukan pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela.

“Mau digoreng ke mana? Dianggap melakukan perbuatan tercela? Mana yang lebih tercela melantik orang yang sudah tersangka, atau tidak melantik?” cetusnya.

Di tempat yang sama, pengamat politik Djayadi Hanan mengatakan, pendapat pakar hukum hanya akan menambah bingung Jokowi. Pasalnya, para pakar hukum juga pendapat yang berbeda-beda, dengan argumen yang sama-sama kuat.

“Ada yang bilang tak ada komplikasi hukum (jika tak melantik BG, red), ada yang bilang ada komplikasi hukum, melanggar konstitusi,” kata pria yang juga Direktur Eksekutif Saiful Mujani Reseach & Consulting, itu.

Menurut Djayadi, jika Jokowi tak melantik BG, tetap akan resiko politik, yakni akan berhadapan dengan tekanan dari DPR.  “Mungkin dia akan ditanya, interpelasi, hak angket dan sebagainya. Presiden harus menghitung, bisa nggak mengatasi,” kata Djayadi.

Lebih lanjut dia mengingatkan, bahwa Jokowi secara politis sangat lemah. Istilahnya “triple minoritas”. Yakni minoritas dukungannya di parlemen, minoritas di internal PDIP karena dia bukan penentu kepetusan di partai itu, dan minoritas di panggung perpolitikan.

“Jokowi itu politikus baru, New Kids on the Block. Para politisi di Jakarta akan mengetes dia,” ujar Djayadi.

Namun, dia menyarankan Jokowi cepat mengambil keputusan. Pasalnya, resiko yang dihadapi justru lebih besar lagi jika masalah ini dibiarkan berlarut-larut.

Hal yang sama disampaikan anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Martin Hutabarat. Dia mengatakan, berlarut-larutnya masalah ini, selain mengganggu kinerja Jokowi juga mengganggu kinerja DPR. “Sudah satu bulan. Malu kita, satu keputusan saja tidak bisa diambil, padahal masih banyak masalah penting lainnya,” cetus politisi asal Siantar itu.

Dia kembali mengulang pernyataannya mengenai ketidakpastian sikap Jokowi, yang menjadi bahan taruhan di pusat hiburan malam Mangga Besar.

Vokalis komisi hukum DPR itu cerita, seorang temannya bernama Handoko alias Acuan, kerap menelponnya, bertanya apa kiranya sikap yang akan diambil Jokowi.

“Handoko, Acuan, ini dia orang Siantar. Setiap pagi saya bangun tidur, dia telepon. Malam saya mau tidur, dia (Handoko alias Acuan,red) telepon lagi. Rupanya di Mangga Besar sudah menjadi pasar taruhan,” kata dia, sembari menyebut Acuan seorang pedagang, yang juga ikut taruhan.

“Saya sampai bilang, “Acuan, kamu yang taruhan, saya yang kamu telepon setiap hari,” imbuh Ketua Dewan Penasehat Gerindra Sumut itu. Dia memastikan, fraksinya di DPR akan mendukung apa pun keputusan Jokowi. (sam/ije)

SUMUTPOS.CO- PDI Perjuangan blak-blakan meminta Presiden Jokowi melantik Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kapolri, meski misalnya hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Senin besok (16/2) menolak gugatan peradilan mantan ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri itu.

Bagi PDIP, tidak masalah kapolri dijabat oleh seorang tersangka, bahkan berstatus terdakwa sekalipun.n

Politikus PDIP Dwi Ria Latifa memberi contoh kasus Akbar Tandjung saat terjerat kasus korupsi Bulog sebesar Rp 40 miliar. Saat proses hukum masih bergulir, Akbar masih saja menjabat sebagai ketua DPR. Akhirnya, pada 12 Februari 2004, putusan kasasi MA menyatakan politikus gaek asal Sibolga itu tidak bersalah.

Menurut perempuan asal Kepulauan Riau itu, kasus BG mirip dengan kasus Akbar.  “Bergulir terus sampai akhirnya berkekuatan hukum tetap dan beliau bebas. Itulah yang namanya menjunjung asas praduga tak bersalah, itu contoh yang serupa tapi tidak sama,” kata Dwi saat diskusi bertema  ‘Simalakama Jokowi di Cikini, Jakarta, kemarin Sabtu (14/2).

Bukan itu saja, Dwi juga menakut-nakuti Jokowi jika tetap tidak melantik BG. Jokowi, lanjutnya, bisa dianggap melanggar konstitusi, melanggar HAM, sehingga akan mendapatkan reaksi dari kalangan DPR.

“Ada tataran HAM, tataran politik. Kami ingatkan, keputusan apa pun jangan melanggar konstitusi. Kalau dilanggar sedikit saja, peluangnya macam-macam, interpelasilah, dan suara-suara menggaung di DPR,” kata anggota Komisi III DPR itu.

Namun pendapat Dwi dimentahkan Pakar hukum tata negara Refly Harun. Menurutnya, bukan hal yang gampang menyebut Jokowi melanggar konstitusi jika tidak melantik BG. “Dari sisi konstitusi, sebutkan pasal mana?” cetus Refly.

Selain tidak jelas tuduhan pelanggaran konstitusi, menurutnya, penunjukkan kapolri merupakan hak prerogratif presiden dan DPR sifatnya hanya memberikan persetujuan saja.

Refly menjelaskan, dalam konstitusi hanya ada tiga alasan yang bisa dipakai untuk memakzulan presiden yakni apabila presiden melakukan pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela.

“Mau digoreng ke mana? Dianggap melakukan perbuatan tercela? Mana yang lebih tercela melantik orang yang sudah tersangka, atau tidak melantik?” cetusnya.

Di tempat yang sama, pengamat politik Djayadi Hanan mengatakan, pendapat pakar hukum hanya akan menambah bingung Jokowi. Pasalnya, para pakar hukum juga pendapat yang berbeda-beda, dengan argumen yang sama-sama kuat.

“Ada yang bilang tak ada komplikasi hukum (jika tak melantik BG, red), ada yang bilang ada komplikasi hukum, melanggar konstitusi,” kata pria yang juga Direktur Eksekutif Saiful Mujani Reseach & Consulting, itu.

Menurut Djayadi, jika Jokowi tak melantik BG, tetap akan resiko politik, yakni akan berhadapan dengan tekanan dari DPR.  “Mungkin dia akan ditanya, interpelasi, hak angket dan sebagainya. Presiden harus menghitung, bisa nggak mengatasi,” kata Djayadi.

Lebih lanjut dia mengingatkan, bahwa Jokowi secara politis sangat lemah. Istilahnya “triple minoritas”. Yakni minoritas dukungannya di parlemen, minoritas di internal PDIP karena dia bukan penentu kepetusan di partai itu, dan minoritas di panggung perpolitikan.

“Jokowi itu politikus baru, New Kids on the Block. Para politisi di Jakarta akan mengetes dia,” ujar Djayadi.

Namun, dia menyarankan Jokowi cepat mengambil keputusan. Pasalnya, resiko yang dihadapi justru lebih besar lagi jika masalah ini dibiarkan berlarut-larut.

Hal yang sama disampaikan anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Martin Hutabarat. Dia mengatakan, berlarut-larutnya masalah ini, selain mengganggu kinerja Jokowi juga mengganggu kinerja DPR. “Sudah satu bulan. Malu kita, satu keputusan saja tidak bisa diambil, padahal masih banyak masalah penting lainnya,” cetus politisi asal Siantar itu.

Dia kembali mengulang pernyataannya mengenai ketidakpastian sikap Jokowi, yang menjadi bahan taruhan di pusat hiburan malam Mangga Besar.

Vokalis komisi hukum DPR itu cerita, seorang temannya bernama Handoko alias Acuan, kerap menelponnya, bertanya apa kiranya sikap yang akan diambil Jokowi.

“Handoko, Acuan, ini dia orang Siantar. Setiap pagi saya bangun tidur, dia telepon. Malam saya mau tidur, dia (Handoko alias Acuan,red) telepon lagi. Rupanya di Mangga Besar sudah menjadi pasar taruhan,” kata dia, sembari menyebut Acuan seorang pedagang, yang juga ikut taruhan.

“Saya sampai bilang, “Acuan, kamu yang taruhan, saya yang kamu telepon setiap hari,” imbuh Ketua Dewan Penasehat Gerindra Sumut itu. Dia memastikan, fraksinya di DPR akan mendukung apa pun keputusan Jokowi. (sam/ije)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/