24 C
Medan
Saturday, December 7, 2024
spot_img

Kalau Saya Meninggal Nanti…

Rosihan Anwar, Guru Semua Wartawan Itu Telah Berpulang

Tokoh pers Indonesia, Rosihan Anwar, kemarin pagi (14/4)  berpulang ke rahmatullah. Dia menyusul sang isteri, Siti Zuraida, yang lebih dulu wafat pada September tahun lalu. Sejumlah tokoh nasional hadir melayat sosok yang dijuluki gurunya para tokoh pers di tanah air itu. Tak terkecuali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengaku pernah dikritik oleh mendiang Rosihan.

Rosihan menghembuskan nafas terakhirnya sekitar pukul 08.15 di RS Metropolitan Medical Center (MMC) Jakarta. Menurut seorang petugas RS, Rosihan diantar pihak keluarga sekitar pukul 08.00. Setelah sempat mengalami anfal, 15 menit kemudian Rosihan berpulang.

Pihak keluarga begitu kaget dan tidak menyangka akan ditinggal Rosihan selamanya. Sebab, baru Rabu malam (13/4) pria kelahiran Kubang Nan Dua, Solok, Sumatera Barat itu pulang dari Rumah Sakit Harapan Kita.

Setelah menjalani operasi jantung pada 24 Maret lalu, dokter menganggap kondisinya berangsur membaik hingga dia dipersilahkan pulang untuk menjalani rawat jalan. “Tadi malam (Rabu malam) masih baik-baik saja,” kata salah seorang cucu Rosihan, Alma Tania saat ditemui di RS MMC.

Bahkan, sebelum meninggal kemarin pagi, Rosihan sempat sarapan. Menurut Alma, saat itu Rosihan minta agar makanannya dibawa ke teras rumah. Saat itu Rosihan mengeluh sesak nafas. Nah, setelah sempat makan beberapa suap, Rosihan tiba-tiba terkulai. Keluarga sempat panik dan langsung membawanya ke RS MMC
Namun Tuhan berkehandak lain. Rosihan wafat.

Putra kedua Rosihan, Omar Luthfi mengaku kondisi kesehatan Rosihan terus menurun sejak istrinya meninggal dunia. “Semangat bapak juga menurun sejak ibu meninggal,” kata dia. Isteri Rosihan, Siti Zuraida meninggal pada 5 September 2010.

Nah, sejak saat itu, lanjut Omar, ayahnya sering sakit-sakitan. Bahkan sebelum menjalani operasi, Rosihan juga sempat beberapa kali pindah rumah sakit untuk menjalani perawatan. Pada 7 Maret lalu, pendiri harian Pedoman itu mengeluhkan sesak di dadanya dan langsung dirawat di RS MMC. Jantung Rosihan ternyata bermasalah. Puncaknya pada 24 Maret Rosihan menjalani operasi di RS Harapan Kita.

Menurut Omar, ada satu cita-cita ayahnya yang belum tercapai. Yakni menerbitkan sebuah buku. Tapi buku itu lain dengan puluhan buku lainnya yang pernah di tulis Rosihan. “Itu buku cinta-cintaan bapak sama ibu,” kata Omar yang tak henti hentinya menghisap rokok sambil menyambut para tamu yang berdatangan di teras depan rumahnya.
Kata Omar, sejak empat bulan lalu Rosihan begitu tekun menyusun buku tersebut. Sepengetahun Omar, penulisan buku tersebut sudah rampung. “Tinggal menunggu pemilihan judulnya,” ucap pria 58 tahun itu.

Sebenarnya sudah ada beberapa alternatif judul yang akan dibubuhkan untuk buku itu. Bahkan, rencananya buku itu akan diterbitkan tepat pada peringatan hari ulang tahun Rosihan yang ke 89. Yakni tanggal 10 Mei mendatang. “Tapi Tuhan punya rencana lain. Kami belum memikirkan itu. Tunggu saja,” ucapnya.

Lebih lanjut Omar mengatakan ayahnya adalah sosok bapak yang sederhana dan pekerja keras. Bahkan sejak kecil Omar mengaku sempat hidup dalam kondisi susah. Yakni pada saat pemberedelan koran milik Rosihan yang bernama Pedoman pada 1961.

Koran Pedoman yang terbit sejak tahun 1948 itu diberedel era kepemimpinan Soekarno. “Waktu itu kami masa-masa susah bagi kami. Tapi saya masih kecil jadi tidak paham apa masalahnya,” imbuhnya.

Mungkin karena kesusahan-kesusahan itulah, lanjut Omar, sang ayah sama sekali tidak mengarahkan anak-anaknya untuk meneruskan minatnya sebagai seorang yang bekecimpung di dunia jurnalistik. Kata dia, dari ketiga anak Rosihan tidak ada yang meneruskan jalan hidupnya sebagai seorang wartawan.

“Kakak saya (Aida Fathya) dokter. Adik saya (Naila Karima) juga dokter. Kalau saya wirausaha sajalah,” ucapnya. “Bapak memang nggak mendorong anaknya jadi wartawan. (Jadi wartawan) mungkin susah,” imbuhnya lantas tertawa.

Rosihan sendiri memulai karier jurnalistiknya sejak masa penjajahan Jepang pada tahun 1943. Yakni dengan menjadi reporter Asia Raya. Pada tahun 1947-1957 pria yang akrab disapa Pak Ros itu sempat mejadi pemimpin redaksi Siasat. Pada 1968 Rosihan pun didapuk sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Atas perjuangan sebagai wartawan, negara pun menganugerahinya dengan Bintang Mahaputra III.
Tak hanya terjun di dunia jurnalisme, Rosihan juga aktif dalam dunia perfilman. Buktinya, bersama Usmar Ismail, Rosihan membentuk Perusahaan Film Indonesia (Perfini). Bahkan dia pernah menjadi peran figuran dalam film Darah dan Doa.

“Dia adalah tokoh film yang sangat saya hormati,” ucap aktor kawakan Dedy Mizwar yang kemarin melayat ke rumah duka. Deddy mengatakan dirinya begitu angkat topi kepada Rosihan karena semangat belajarnya yang tidak pernah pudar. Meski usianya terpaut sangat jauh, Rosihan tidak pernah malu untuk bertanya kepada para juniornya jika tidak memahami sesuatu.

Selain para menteri aktif, Menteri Penerangan era orde baru Harmoko juga datang untuk melayat. Kepada para wartawan yang menemuinya, Harmoko mengatakan bahwa Rosihan adalah wartawan idealis. “Saya (saat aktif menjadi menteri) berkali-kali mendapat kritik. Begitulah sosok Rosihan,” kata Harmoko.
Menurut Harmoko, Rosihan merupakan salah satu tokoh yang memperperjuangkan kebebasan pers. “Jadi kalian harus berterima kasih sama Pak Ros sekarang pers bisa bebas,” kata dia lantas terkekeh.

Setelah beberapa jam disemayamkan di rumah duka, sekitar pukul 15.30, jenazah Rosihan dibawa untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TPM) Kalibata. Upacara kemiliteran pun digelar untuk melepas Rosihan. Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufrie pun ditunjuk sebagi inspektur upacara.

Sebelum dimakamkan, suasana di rumah duka penuh sesak dengan para pelayat yang datang sejak pagi. Di antara para pelayat itu, banyak yang berasal dari kalangan publik figur. Mulai menteri, budayawan, aktor film hingga tokoh pers.

Sekitar pukul 14.00, SBY datang melayat bersama ibu negara Ny Ani Yudhoyono. “Beliau sudah melakukan banyak hal untuk negeri ini,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada para wartawan sesaat setelah mendoakan jenazah Rosihan.

Sekitar 30 menit SBY mendoakan jenazah dan memberikan penghormatan terakhir untuk Rosihan. Kepada para wartawan, SBY mengatakan bahwa Rosihan adalah tokoh pers yang juga menjadi pelaku sejarah. Mulai zaman penjajahan, kemudian era kepemimpinan Soekarno, Soeharto sampai reformasi Rosihan terus berkarya
SBY pun mengaku kerap menjadi sasaran kekritisan Rosihan sebagai tokoh jurnalisme. “Beliau sering mengkritik saya. Beberapa kali di istana Pak Ros melontarkan kritikan. Tapi kritik itu disampaikan dengan penuh tanggung jawab” imbuhnya. SBY juga berharap ke depan akan bermunculan “Rosihan Rosihan” yang lainnya yang bisa membesarkan dunia jurnalisme, budaya perfilman dan sastra.

Sedangkan Direktur Utama PT PLN, Dahlan Iskan mengatakan, sosok Rosihan Anwar merupakan guru bagi para wartawan senior di Indonesia. Dahlan, yang juga wartawan senior ini, mengatakan bahwa hampir semua wartawan senior pernah ‘berguru’ kepada Rosihan Anwar.

“Saya kira tidak ada satupun wartawan di Indonesia yang terkenal sekarang yang tidak pernah diajar oleh beliau,” kata Dahlan Iskan, di rumah duka, almarhum Rosihan Anwar, Jalan Surabaya Nomor 13, Menteng, Jakarta Pusat.
Dijelaskan Dahlan, Rosihan adalah guru jurnalistik yang sangat baik dan sangat rajin mengajar. “Pada forum-forum pembelajaran wartawan selalu ada beliau dan beliau kalau mengajar itu sangat khas, bicaranya sangat keras, kemudian ada ketusnya, kemudian juga kalau mengejek wartawan yang tulisannya kurang bagus itu juga terang-terangan, tetapi tujuannya adalah baik supaya wartawan itu berubah menjadi wartawan yang sangat baik,” beber Dahlan.

Salah satu contoh, misalnya kalau Rosihan mengevaluasi tulisan wartawan yang tulisannya sulit dipahami, beliau tidak langsung bilang tulisan itu ruwet. “Beliau sering mengatakan begini, ‘saya ini kalau membaca tulisan kamu ini mata saya sampai berbulu rasanya’. Misalnya begitu. Itu artinya tulisan wartawan itu jangan ruwet begitulah, yang sederhana, kemudian mengalir yang bagus. Dan beliau sendiri kalau menulis ternyata begitu,” ungkap Dahlan Iskan.
Suatu ketika, lanjut Dahlan, Rosihan pernah mengatakan bahwa, beliau selalu menulis in memoriam setiap ada tokoh yang meninggal. “Tapi nanti kalau saya meninggal, siapa ya yang akan menulis, ya? Begitu, pertanyaan beliau.”
Dahlan berjanji akan membuat tulisan in memoriam tentang sosok Rosihan Anwar. “Karena itu, saya akan membuktikan saya akan menulis in memoriam tentang beliau dan mudah-mudahan beliau tidak kecewa terhadap mutu tulisan yang akan saya sampaikan nanti,” janji Dahlan Iskan.

Lebih lanjut, Dahlan mengatakan bahwa dalam tulisan in memoriam Rosihan Anwar, nantinya akan diangkat tema campuran antara keseriusan Rosihan Anwar sebagai pejuang dengan Rosihan sebagai wartawan muda.
“Saya akan mencampur antara keseriusan beliau sebagai pejuang dan beliau sebagai wartawan muda yang menyaksikan peristiwa-peristiwa sejarah yang sangat penting hingga berdirinya republik ini,” tutur Dahlan.
Dibeberkan Dahlan, sebagai pemimpin pergerakan, almarhum pernah terlibat dalam satu konflik yang keras sekali dengan rezim Orde Baru, yang berupaya mengatur PWI. “Saat itu Pak Rosihan kan tokoh yang sangat kritis sehingga penguasa Orde Baru saat itu kurang senang pada beliau,” ungkapnya.

Menurut Dahlan, Rosihan merupakan tokoh yang punya integritas luar biasa. Hal itu yang membuat banyak orang menghormati beliau.  “Saya melihat semua orang menghormati beliau sebagai tokoh yang punya integritas yang luar biasa,” tegasnya.

Rosihan sama sekali tidak pernah tergoda dengan kekuasaan. “Di zaman Orde Baru, ketika ekonomi Indonesia sangat baik, banyak sekali orang tergoda material, banyak sekali orang tergoda kedudukan, banyak sekali orang tergoda kemewahan. Tapi beliau tetap konsisten memperjuangkan keadilan, kebenaran, meski resikonya beliau tidak bisa jadi menteri, beliau tidak bisa diterima oleh penguasa.”

Dahlan lantas mengingatkan, bahwa seorang wartawan itu harus menyadari bahwa dirinya adalah pencatat sejarah, meskipun dia bukan seorang sejarawan. “Jangan sampai wartawan lupa bahwa fungsi dia sebagai wartawan juga pencatat sejarah yang baik, yang akurat,” pesannya.

Dahlan juga menyarankan agar semua wartawan mempunyai catatan-catatan sejarah dan menerbitkannya. Alasannya, catatan wartawan biasanya lebih objektif.”Fungsi wartawan sebagai pencatat sejarah menurut saya harus sepenuhnya disadari oleh wartawan dan Pak Roasihan Anwar menyadari sepenuhnya bahwa dirinya adalah pencatat sejarah. Bukan sejarahwan, tapi pencatat sejarah,” tukasnya. (fas/kuh/kum/jpnn)

Rosihan Anwar, Guru Semua Wartawan Itu Telah Berpulang

Tokoh pers Indonesia, Rosihan Anwar, kemarin pagi (14/4)  berpulang ke rahmatullah. Dia menyusul sang isteri, Siti Zuraida, yang lebih dulu wafat pada September tahun lalu. Sejumlah tokoh nasional hadir melayat sosok yang dijuluki gurunya para tokoh pers di tanah air itu. Tak terkecuali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengaku pernah dikritik oleh mendiang Rosihan.

Rosihan menghembuskan nafas terakhirnya sekitar pukul 08.15 di RS Metropolitan Medical Center (MMC) Jakarta. Menurut seorang petugas RS, Rosihan diantar pihak keluarga sekitar pukul 08.00. Setelah sempat mengalami anfal, 15 menit kemudian Rosihan berpulang.

Pihak keluarga begitu kaget dan tidak menyangka akan ditinggal Rosihan selamanya. Sebab, baru Rabu malam (13/4) pria kelahiran Kubang Nan Dua, Solok, Sumatera Barat itu pulang dari Rumah Sakit Harapan Kita.

Setelah menjalani operasi jantung pada 24 Maret lalu, dokter menganggap kondisinya berangsur membaik hingga dia dipersilahkan pulang untuk menjalani rawat jalan. “Tadi malam (Rabu malam) masih baik-baik saja,” kata salah seorang cucu Rosihan, Alma Tania saat ditemui di RS MMC.

Bahkan, sebelum meninggal kemarin pagi, Rosihan sempat sarapan. Menurut Alma, saat itu Rosihan minta agar makanannya dibawa ke teras rumah. Saat itu Rosihan mengeluh sesak nafas. Nah, setelah sempat makan beberapa suap, Rosihan tiba-tiba terkulai. Keluarga sempat panik dan langsung membawanya ke RS MMC
Namun Tuhan berkehandak lain. Rosihan wafat.

Putra kedua Rosihan, Omar Luthfi mengaku kondisi kesehatan Rosihan terus menurun sejak istrinya meninggal dunia. “Semangat bapak juga menurun sejak ibu meninggal,” kata dia. Isteri Rosihan, Siti Zuraida meninggal pada 5 September 2010.

Nah, sejak saat itu, lanjut Omar, ayahnya sering sakit-sakitan. Bahkan sebelum menjalani operasi, Rosihan juga sempat beberapa kali pindah rumah sakit untuk menjalani perawatan. Pada 7 Maret lalu, pendiri harian Pedoman itu mengeluhkan sesak di dadanya dan langsung dirawat di RS MMC. Jantung Rosihan ternyata bermasalah. Puncaknya pada 24 Maret Rosihan menjalani operasi di RS Harapan Kita.

Menurut Omar, ada satu cita-cita ayahnya yang belum tercapai. Yakni menerbitkan sebuah buku. Tapi buku itu lain dengan puluhan buku lainnya yang pernah di tulis Rosihan. “Itu buku cinta-cintaan bapak sama ibu,” kata Omar yang tak henti hentinya menghisap rokok sambil menyambut para tamu yang berdatangan di teras depan rumahnya.
Kata Omar, sejak empat bulan lalu Rosihan begitu tekun menyusun buku tersebut. Sepengetahun Omar, penulisan buku tersebut sudah rampung. “Tinggal menunggu pemilihan judulnya,” ucap pria 58 tahun itu.

Sebenarnya sudah ada beberapa alternatif judul yang akan dibubuhkan untuk buku itu. Bahkan, rencananya buku itu akan diterbitkan tepat pada peringatan hari ulang tahun Rosihan yang ke 89. Yakni tanggal 10 Mei mendatang. “Tapi Tuhan punya rencana lain. Kami belum memikirkan itu. Tunggu saja,” ucapnya.

Lebih lanjut Omar mengatakan ayahnya adalah sosok bapak yang sederhana dan pekerja keras. Bahkan sejak kecil Omar mengaku sempat hidup dalam kondisi susah. Yakni pada saat pemberedelan koran milik Rosihan yang bernama Pedoman pada 1961.

Koran Pedoman yang terbit sejak tahun 1948 itu diberedel era kepemimpinan Soekarno. “Waktu itu kami masa-masa susah bagi kami. Tapi saya masih kecil jadi tidak paham apa masalahnya,” imbuhnya.

Mungkin karena kesusahan-kesusahan itulah, lanjut Omar, sang ayah sama sekali tidak mengarahkan anak-anaknya untuk meneruskan minatnya sebagai seorang yang bekecimpung di dunia jurnalistik. Kata dia, dari ketiga anak Rosihan tidak ada yang meneruskan jalan hidupnya sebagai seorang wartawan.

“Kakak saya (Aida Fathya) dokter. Adik saya (Naila Karima) juga dokter. Kalau saya wirausaha sajalah,” ucapnya. “Bapak memang nggak mendorong anaknya jadi wartawan. (Jadi wartawan) mungkin susah,” imbuhnya lantas tertawa.

Rosihan sendiri memulai karier jurnalistiknya sejak masa penjajahan Jepang pada tahun 1943. Yakni dengan menjadi reporter Asia Raya. Pada tahun 1947-1957 pria yang akrab disapa Pak Ros itu sempat mejadi pemimpin redaksi Siasat. Pada 1968 Rosihan pun didapuk sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Atas perjuangan sebagai wartawan, negara pun menganugerahinya dengan Bintang Mahaputra III.
Tak hanya terjun di dunia jurnalisme, Rosihan juga aktif dalam dunia perfilman. Buktinya, bersama Usmar Ismail, Rosihan membentuk Perusahaan Film Indonesia (Perfini). Bahkan dia pernah menjadi peran figuran dalam film Darah dan Doa.

“Dia adalah tokoh film yang sangat saya hormati,” ucap aktor kawakan Dedy Mizwar yang kemarin melayat ke rumah duka. Deddy mengatakan dirinya begitu angkat topi kepada Rosihan karena semangat belajarnya yang tidak pernah pudar. Meski usianya terpaut sangat jauh, Rosihan tidak pernah malu untuk bertanya kepada para juniornya jika tidak memahami sesuatu.

Selain para menteri aktif, Menteri Penerangan era orde baru Harmoko juga datang untuk melayat. Kepada para wartawan yang menemuinya, Harmoko mengatakan bahwa Rosihan adalah wartawan idealis. “Saya (saat aktif menjadi menteri) berkali-kali mendapat kritik. Begitulah sosok Rosihan,” kata Harmoko.
Menurut Harmoko, Rosihan merupakan salah satu tokoh yang memperperjuangkan kebebasan pers. “Jadi kalian harus berterima kasih sama Pak Ros sekarang pers bisa bebas,” kata dia lantas terkekeh.

Setelah beberapa jam disemayamkan di rumah duka, sekitar pukul 15.30, jenazah Rosihan dibawa untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TPM) Kalibata. Upacara kemiliteran pun digelar untuk melepas Rosihan. Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufrie pun ditunjuk sebagi inspektur upacara.

Sebelum dimakamkan, suasana di rumah duka penuh sesak dengan para pelayat yang datang sejak pagi. Di antara para pelayat itu, banyak yang berasal dari kalangan publik figur. Mulai menteri, budayawan, aktor film hingga tokoh pers.

Sekitar pukul 14.00, SBY datang melayat bersama ibu negara Ny Ani Yudhoyono. “Beliau sudah melakukan banyak hal untuk negeri ini,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada para wartawan sesaat setelah mendoakan jenazah Rosihan.

Sekitar 30 menit SBY mendoakan jenazah dan memberikan penghormatan terakhir untuk Rosihan. Kepada para wartawan, SBY mengatakan bahwa Rosihan adalah tokoh pers yang juga menjadi pelaku sejarah. Mulai zaman penjajahan, kemudian era kepemimpinan Soekarno, Soeharto sampai reformasi Rosihan terus berkarya
SBY pun mengaku kerap menjadi sasaran kekritisan Rosihan sebagai tokoh jurnalisme. “Beliau sering mengkritik saya. Beberapa kali di istana Pak Ros melontarkan kritikan. Tapi kritik itu disampaikan dengan penuh tanggung jawab” imbuhnya. SBY juga berharap ke depan akan bermunculan “Rosihan Rosihan” yang lainnya yang bisa membesarkan dunia jurnalisme, budaya perfilman dan sastra.

Sedangkan Direktur Utama PT PLN, Dahlan Iskan mengatakan, sosok Rosihan Anwar merupakan guru bagi para wartawan senior di Indonesia. Dahlan, yang juga wartawan senior ini, mengatakan bahwa hampir semua wartawan senior pernah ‘berguru’ kepada Rosihan Anwar.

“Saya kira tidak ada satupun wartawan di Indonesia yang terkenal sekarang yang tidak pernah diajar oleh beliau,” kata Dahlan Iskan, di rumah duka, almarhum Rosihan Anwar, Jalan Surabaya Nomor 13, Menteng, Jakarta Pusat.
Dijelaskan Dahlan, Rosihan adalah guru jurnalistik yang sangat baik dan sangat rajin mengajar. “Pada forum-forum pembelajaran wartawan selalu ada beliau dan beliau kalau mengajar itu sangat khas, bicaranya sangat keras, kemudian ada ketusnya, kemudian juga kalau mengejek wartawan yang tulisannya kurang bagus itu juga terang-terangan, tetapi tujuannya adalah baik supaya wartawan itu berubah menjadi wartawan yang sangat baik,” beber Dahlan.

Salah satu contoh, misalnya kalau Rosihan mengevaluasi tulisan wartawan yang tulisannya sulit dipahami, beliau tidak langsung bilang tulisan itu ruwet. “Beliau sering mengatakan begini, ‘saya ini kalau membaca tulisan kamu ini mata saya sampai berbulu rasanya’. Misalnya begitu. Itu artinya tulisan wartawan itu jangan ruwet begitulah, yang sederhana, kemudian mengalir yang bagus. Dan beliau sendiri kalau menulis ternyata begitu,” ungkap Dahlan Iskan.
Suatu ketika, lanjut Dahlan, Rosihan pernah mengatakan bahwa, beliau selalu menulis in memoriam setiap ada tokoh yang meninggal. “Tapi nanti kalau saya meninggal, siapa ya yang akan menulis, ya? Begitu, pertanyaan beliau.”
Dahlan berjanji akan membuat tulisan in memoriam tentang sosok Rosihan Anwar. “Karena itu, saya akan membuktikan saya akan menulis in memoriam tentang beliau dan mudah-mudahan beliau tidak kecewa terhadap mutu tulisan yang akan saya sampaikan nanti,” janji Dahlan Iskan.

Lebih lanjut, Dahlan mengatakan bahwa dalam tulisan in memoriam Rosihan Anwar, nantinya akan diangkat tema campuran antara keseriusan Rosihan Anwar sebagai pejuang dengan Rosihan sebagai wartawan muda.
“Saya akan mencampur antara keseriusan beliau sebagai pejuang dan beliau sebagai wartawan muda yang menyaksikan peristiwa-peristiwa sejarah yang sangat penting hingga berdirinya republik ini,” tutur Dahlan.
Dibeberkan Dahlan, sebagai pemimpin pergerakan, almarhum pernah terlibat dalam satu konflik yang keras sekali dengan rezim Orde Baru, yang berupaya mengatur PWI. “Saat itu Pak Rosihan kan tokoh yang sangat kritis sehingga penguasa Orde Baru saat itu kurang senang pada beliau,” ungkapnya.

Menurut Dahlan, Rosihan merupakan tokoh yang punya integritas luar biasa. Hal itu yang membuat banyak orang menghormati beliau.  “Saya melihat semua orang menghormati beliau sebagai tokoh yang punya integritas yang luar biasa,” tegasnya.

Rosihan sama sekali tidak pernah tergoda dengan kekuasaan. “Di zaman Orde Baru, ketika ekonomi Indonesia sangat baik, banyak sekali orang tergoda material, banyak sekali orang tergoda kedudukan, banyak sekali orang tergoda kemewahan. Tapi beliau tetap konsisten memperjuangkan keadilan, kebenaran, meski resikonya beliau tidak bisa jadi menteri, beliau tidak bisa diterima oleh penguasa.”

Dahlan lantas mengingatkan, bahwa seorang wartawan itu harus menyadari bahwa dirinya adalah pencatat sejarah, meskipun dia bukan seorang sejarawan. “Jangan sampai wartawan lupa bahwa fungsi dia sebagai wartawan juga pencatat sejarah yang baik, yang akurat,” pesannya.

Dahlan juga menyarankan agar semua wartawan mempunyai catatan-catatan sejarah dan menerbitkannya. Alasannya, catatan wartawan biasanya lebih objektif.”Fungsi wartawan sebagai pencatat sejarah menurut saya harus sepenuhnya disadari oleh wartawan dan Pak Roasihan Anwar menyadari sepenuhnya bahwa dirinya adalah pencatat sejarah. Bukan sejarahwan, tapi pencatat sejarah,” tukasnya. (fas/kuh/kum/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/