JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Seluruh pejabat di tanah air diingatkan agar menolak gratifikasi hari raya. Peringatan tersebut disampaikan KPK, agar para pejabat tidak terjebak dalam kesalahan. Apalagi, mendekati Hari Raya Idul Fitri, godaan gratifikasi biasanya banyak berdatangan.
JURU Bicara KPK Febri Diansyah menjelaskan, salah satu gratifikasi itu adalah pemberian parsel dari bawahan kepada atasan. Kemudian dari rekanan kepada pejabat karena adanya hubungan pekerjaan.
“Hal tersebut dapat dikategorikan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban,” kata Febri, Selasa (14/5).
Ancaman hukuman bagi pejabat yang menerima gratifikasi berdasar pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor adalah pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.
“Dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar,” terang Febri. Karena itu, KPK menekankan supaya pihak-pihak yang hendak memberikan gratifikasi kepada para pejabat mengurungkan niat mereka.
Seperti tahun lalu, KPK juga membuka diri apabila para pejabat hendak melaporkan dugaan gratifikasi hari raya.
“Laporan bisa disampaikan apabila para pejabat sulit menolak pemberian gratifikasi sejak awal,” katanya.
Sebe;umnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menginformasikan bahwa data pelaporan penerimaan gratifikasi terkait hari raya dalam dua tahun terakhir menunjukkan penurunan jumlah. Lembaga yang menerima gratifikasi tersebut terdiri dari kementerian/lembaga, pemerintah daerah dan BUMN.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta menyatakan, pada momen Lebaran 2017, lembaganya menerima 172 laporan terdiri atas 40 laporan dari kementerian/lembaga, 50 laporan dari pemda, dan 82 laporan dari BUMN.
“Total nilai pelaporan gratifikasi terkait dengan hari raya Idul Fitri tersebut senilai Rp161.660.000. Dengan rincian Rp 22.730.000 dari kementerian/lembaga, Rp66.250.000 dari pemda dan Rp72.680.000 dari BUMN,” ucap Febri.
Lebih lanjut, ia mengatakan barang-barang pemberian gratifikasi yang dilaporkan tersebut beragam bentuknya. Mulai dari parsel makanan, barang pecah belah, uang, pakaian, alat ibadah, dan voucher belanja.
“Nilainya juga beragam mulai dari parsel kue senilai Rp 50 ribu hingga parsel barang senilai Rp39,5 juta,” kata dia,
Sedangkan pada momen Hari Raya Idul Fitri 2018, terjadi penurunan laporan sekitar 11 persen menjadi 153 laporan terdiri atas 54 laporan dari kementerian/lembaga, 40 laporan dari pemda dan 58 laporan dari BUMN. “Namun, total nilai barang gratifikasi yang dilaporkan meningkat menjadi Rp199.531.699. Meskipun jumlah pelaporan menurun, nilai barang gratifikasi yang dilaporkan dari pemda meningkat menjadi Rp96.398.700,” ungkap Febri.
Di peringkat kedua, kata dia, nilai pelaporan gratifikasi dari kementerian/lembaga sebesar Rp 54.142.000, dan dari BUMN senilai Rp 48.490.999.
“Barang gratifikasi yang dilaporkan masih berkisar pada parsel makanan, barang pecah belah, uang, pakaian, hingga voucher belanja dengan nilai terendah Rp20 ribu sampai uang senilai Rp 15 juta,” tuturnya.
Sementara itu hingga 10 Mei 2019, KPK belum menerima pelaporan gratifikasi terkait Hari Raya Idul Fitri 2019.
“KPK mengimbau agar menolak pemberian gratifikasi pada kesempatan pertama. Bila, karena kondisi tertentu pejabat tidak dapat menolak, maka penerimaan gratifikasi tersebut wajib dilaporkan paling lambat 30 hari kerja kepada KPK,” ujar Febri.
Sementara, Pakar Hukum Oidana Universitas Trisakti Abdul Fikar Hajar menilai, menurunnya tingkat kepatuhan laporan gratifikasi yang diterima pejabat negara dalam dua tahun terakhir ada dua kemungkinan.
Pertama, keadaan semakin baik. Namun kedua, justru sebaliknya gratifikasi maupun suap semakin gencar dilakukan.
“Seseorang tidak berani lagi memberikan sesuatu kepada penyelenggara negara baik dalam bentuk sumbangan maupun sengaja sebagai suap,” ujar Abdul Fikar Hajar kepada INDOPOS (Grup Sumut Pos) melalui sambungan telepon di Jakarta, Senin (13/5).
Akan tetapi, penerima suap atau gratifikasi enggan melaporkan kepada KPK. Dengan demikian, hal itu yang membuat praktik koruptif tak bisa diketahui oleh penegak hukum.
“Baik pemberi maupun penyelenggara negaranya tidak mau melaporkannya ke KPK sepanjang tidak ketahuan,” ucapnya. (jpnn/bbs/ala)