JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi terus menimbulkan kecemasan. Pasalnya, dalam aturan yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 21 Juli lalu ini telah melegalkan praktik aborsi bagi korban pemerkosaan. Melihat kecemasan ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendesak pemerintah untuk segara membuat aturan turunannya.
Wakil Sekjen MUI pusat Welya Safitri mengatakan, aturan turunan tersebut sejatinya harus bisa meredam kecemasan masyarakat. Seperti akan indikasi untuk disalahgunakan oleh pihak yang bertanggungjawab. “Pembuktian seorang perempuan dikatakan diperkosa harus jelas. Dilakukan secara medik, psikologis dan hukum. Tentu harus jelas nantinya dalam aturan tersebut bagaimana juknisnya,” ujarnya kemarin.
Selain itu, lanjut dia, alasan kejiwaan korban pemerkosaan juga wajib diperiksa secara benar. Sejauh apa trauma yang akan timbul bila sang anak lahir ke dunia. “Karena ini kan menyangkut nyawa. MUI minta identifikasi trauma dilakukan secara benat,” tamdasnya.
Ia menyarankan, aturan turunan tersebut sebaiknya mengacu pada fatwa MUI tentang aborsi. Fatwa tersebut berisi tentang larangan dan diperbolehkannya aborsi dengan beberapa ketentuan. Aborsi dilarang jika dilakukan tanpa sebab yang jelas. Namun tindakan ini menjadi tidak dilarang jika keberadaan sibayi mengancam keselamatan jiwa dan raga sang ibunya. “Ini pun harus dilakukan sebelum 40 hari pasca haid terakhir yang didapat oleh sang ibu (korban perkosaan). Jika tidak maka dilarang,” tegasnya. (mia)
JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi terus menimbulkan kecemasan. Pasalnya, dalam aturan yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 21 Juli lalu ini telah melegalkan praktik aborsi bagi korban pemerkosaan. Melihat kecemasan ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendesak pemerintah untuk segara membuat aturan turunannya.
Wakil Sekjen MUI pusat Welya Safitri mengatakan, aturan turunan tersebut sejatinya harus bisa meredam kecemasan masyarakat. Seperti akan indikasi untuk disalahgunakan oleh pihak yang bertanggungjawab. “Pembuktian seorang perempuan dikatakan diperkosa harus jelas. Dilakukan secara medik, psikologis dan hukum. Tentu harus jelas nantinya dalam aturan tersebut bagaimana juknisnya,” ujarnya kemarin.
Selain itu, lanjut dia, alasan kejiwaan korban pemerkosaan juga wajib diperiksa secara benar. Sejauh apa trauma yang akan timbul bila sang anak lahir ke dunia. “Karena ini kan menyangkut nyawa. MUI minta identifikasi trauma dilakukan secara benat,” tamdasnya.
Ia menyarankan, aturan turunan tersebut sebaiknya mengacu pada fatwa MUI tentang aborsi. Fatwa tersebut berisi tentang larangan dan diperbolehkannya aborsi dengan beberapa ketentuan. Aborsi dilarang jika dilakukan tanpa sebab yang jelas. Namun tindakan ini menjadi tidak dilarang jika keberadaan sibayi mengancam keselamatan jiwa dan raga sang ibunya. “Ini pun harus dilakukan sebelum 40 hari pasca haid terakhir yang didapat oleh sang ibu (korban perkosaan). Jika tidak maka dilarang,” tegasnya. (mia)