30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Paling Mahal Buku Pram, yang Istimewa Karya Tan Malaka

Harri Purnomo, Kolektor 600 Buku Kiri dan Literatur Terlarang

Konsistensi Harri Purnomo mendalami literasi ‘sayap kiri’ belum tertandingi di Indonesia. Setidaknya, dia telah mengoleksi serta ‘menghabiskan’ lebih dari 600 ‘buku kiri’ yang dicetak sebelum era 1965. Buku lusuh koleksinya menjadi saksi sejarah para pemikir yang terlupakan.

HENNY GALLA-AGUNG MARYANA, Jakarta

TAK DIJUAL: Harri Purnomo  buku-buku langkanya  dipamerkan  Festival Pembaca Indonesia  Jakarta pekan lalu.
TAK DIJUAL: Harri Purnomo dan buku-buku langkanya yang dipamerkan dalam Festival Pembaca Indonesia di Jakarta pekan lalu.

Ahad siang (9/12), Festival Pembaca Indonesia digelar Goodreads Indonesia di Pasar Festival, Kuningan, Jakarta. Stan ‘Buku Lusuh milik Harri Purnomo menempati kavling seluas 20 meter persegi. Penampilannya berbeda dari puluhan stan lainnya. Bila stan penerbit, distributor, atau toko buku banyak menampilkan buku-buku yang diniatkan untuk dijual, stan Buku Buluk justru memajang buku-buku tidak populer. Asing bagi masyarakat umum.

Contohnya, buku tipis karya Tan Malaka dengan cover abu-abu. Buku lama itu terbungkus plastik tebal. Sudah tampak lusuh. “Ya, supaya tidak dimakan rayap. Koleksi ini (Tan Malaka) harus dirawat dengan benar,” ungkap Harri Purnomo atau yang kerap disapa Gieb kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos).
Selain Tan Malaka, tergantung pula buku AD/ART PKI (Partai Komunis Indonesia). Juga, puluhan buku lama berhaluan kiri lainnya, termasuk buku-buku novel Pramoedya Ananta Toer versi ‘buku terlarang’.

Jika ada yang menanyakan harga buku-buku itu, Gieb bergegas menjawab, “Maaf, nggak dijual, hanya untuk koleksi. Kalau saya jual, mungkin saya sudah kaya.”

Gieb menamakan koleksinya sebagai buku buluk (lusuh): buku-buku kiri yang langka. Buku-buku tua itu tidak hanya bisa dinikmati sebagai buku, namun juga sebagai artefak sejarah. Buku-buku tersebut termasuk langka karena memang tidak banyak yang masih menyimpan. Apalagi, pada era Orde Baru (Orba), buku-buku yang beraliran kiri dilarang beredar atau bahkan dimusnahkan.

“Mulai 1965, buku kiri jarang terbit. Kalau toh ada, dilarang beredar atau harus dimusnahkan rezim Orba,” terang pria kelahiran Solo, 7 Maret 1978, tersebut.

Buku-buku berhaluan kiri yang sempat menjadi momok Orba, antara lain karya DN Aidit, Tan Malaka, dan Pramoedya Ananta Toer. Buku-buku tersebut pernah diberedel dan distigma sebagai buku propaganda komunis. “Ketika buku-buku itu diberedel dan dibakar pada 1965, yang tersisa jadi sangat jarang. Buku-buku koleksi saya ini adalah yang selamat dari tragedi itu,” jelasnya.

Buku-buku DN Aidit termasuk yang amat langka. Kalaupun ada, buku tersebut tidak berbentuk karangan asli, melainkan berformat seri pemikiran sejarah atau biografi tokoh pergerakan (PKI).

Gieb mengakui, tulisan para pemikir dengan label ekstrem kiri tersebut kini jarang dipublikasikan secara masif. Salah satunya karena tidak sesuai dengan selera pasar. “Pasar buku (kiri) memang tipis banget. Bisa dihitung dengan jari. Umumnya kolektor,” tutur dia.
Penerbit buku-buku kiri setali tiga uang. Jarang yang punya modal kuat sehingga berani ‘melawan arus’ pasar. “Bahkan, tahun depan ada yang mau tutup karena tak kuat lagi.”

Karena itu, ada kenikmatan tersendiri ketika alumnus Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang, tersebut berburu buku-buku kiri yang sulit didapatkan di toko buku modern. Mau tidak mau, dia harus rajin blusukan ke pasar buku loak. Tapi, berkat ketekunannya itulah kini dia mampu mengumpulkan lebih dari 600 buku kiri yang dianggap langka.

Gieb mengakrabi dunia buku setelah asyik dengan komik saat masih kecil. Ketika mahasiswa, mulailah cakrawala pemikirannya terbuka luas, termasuk terhadap ideologi yang berkembang. Apalagi, kala itu Gieb aktif dalam komunitas jurnalistik atau lembaga pers mahasiswa (LPM). “Sejak saat itu, saya gemar membaca buku-buku kiri,” ungkapnya.

Tak puas mendapat sekelumit ilmu dari lingkungan akademis, Gieb lalu berburu buku-buku kiri. Buku pertama yang dia beli secara sembunyi-sembunyi adalah tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Dia mendapatkannya dari sudut pasar buku bekas di Malang. Lokasi itu dia sebut Blok M-nya Malang. Dengan Rp25.000 hasil menjual sepeda onthel, dia bisa mendapatkan tetralogi Pram yang tersohor tersebut.

“Saat itu, nama Pram masih dianggap kiri dan bukunya diberedel. Karena itu, kalau ada yang menjual, pasti dengan sembunyi-sembunyi. Saya mendapatkan buku-buku tersebut juga dengan sembunyi-sembunyi,” ungkap mantan wartawan ekonomi sebuah koran nasional itu.

Sejak lulus kuliah dan bekerja di Jakarta, insting berburu Gieb terhadap buku kiri langka tambah menggila. Dia bahkan mampu memetakan kota mana saja yang menjadi surga buku kiri dengan usia lebih dari separo abad itu. Menurut dia, buku kiri banyak ditemukan di wilayah yang dikelilingi markas militer. Di antaranya, Malang, Solo, Jogja, dan Bandung.

“Banyak jenderal zaman dulu yang jadi kolektor buku kiri itu. Bahkan, saya menduga, buku-buku kiri (saya) ini dulu koleksi para jenderal tersebut. Makanya, buku-buku itu selamat dari razia dan tidak ikut dibakar,” lanjut dia.

Seringnya Gieb berburu di pasar-pasar loak itulah yang akhirnya membuahkan hasil signifikan. Misalnya, dia berhasil mendapat buku Safe Conduct karya novelis Rusia Boris Leonidovich Pasternak. Apa yang menarik dalam buku usang bersampul merah itu?

“Dilihat sekilas, buku ini memang tidak menarik. Tapi, buku Boris Pasternak ini ternyata pernah dikoleksi Soe Hok Gie. Ada tanda tangan Hok Gie di lembar pertamanya. Jelas, buku ini sangat berharga,” ujar Gieb.

Dalam buku terbitan The New American Library tersebut, memang terdapat tulisan serta tanda tangan Soe Hok Gie dengan tinta biru yang mulai memudar: Djakarta 29 Nopember 1960. Soe Hok Gie. Ditukar dng (dengan) kartjis sandiwara dari Irawan. “Saya tidak akan menjual buku ini,” tegas Gieb yang begitu bangga dengan koleksinya yang ditemukan pada 2010 di Pasar Loak Senen, Jakarta, tersebut.

Selain di pasar buku bekas, Gieb sering mendapat keberuntungan dari kawan-kawannya. Misalnya, dia mendapat buku Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Arus Balik cetakan pertama. Buku itu merupakan koleksi termahal yang pernah dia dapatkan. Harganya saat itu Rp1 juta.

Ada pula buku jilid ketiga karya Tan Malaka dengan judul Dari Penjara ke Penjara. “Buku ini paling istimewa karena masih dalam format ketikan, masih stensilan, belum sampai ke penerbit,” paparnya.

Di antara ratusan koleksinya, buku yang paling sulit diperoleh adalah buku-buku DN Aidit. “Sekarang saya punya empat judul di antara total 30 judul karangan Aidit. Untuk mengumpulkan itu, saya butuh waktu empat tahun,” jelasnya.

Buku-buku Aidit yang dikoleksi Gieb adalah Revolusi Indonesia: Latar Belakang Sedjarah dan Hari Depannja (1964), Djalan ke Demokrasi Rakjat Bagi Indonesia (1955), Tentang Marxisme (1964), dan Kibarkan Tinggi Pandji Revolusi (1964). “Saya masih terus berburu buku Aidit yang lain,” tegas Gieb. (*)

Harri Purnomo, Kolektor 600 Buku Kiri dan Literatur Terlarang

Konsistensi Harri Purnomo mendalami literasi ‘sayap kiri’ belum tertandingi di Indonesia. Setidaknya, dia telah mengoleksi serta ‘menghabiskan’ lebih dari 600 ‘buku kiri’ yang dicetak sebelum era 1965. Buku lusuh koleksinya menjadi saksi sejarah para pemikir yang terlupakan.

HENNY GALLA-AGUNG MARYANA, Jakarta

TAK DIJUAL: Harri Purnomo  buku-buku langkanya  dipamerkan  Festival Pembaca Indonesia  Jakarta pekan lalu.
TAK DIJUAL: Harri Purnomo dan buku-buku langkanya yang dipamerkan dalam Festival Pembaca Indonesia di Jakarta pekan lalu.

Ahad siang (9/12), Festival Pembaca Indonesia digelar Goodreads Indonesia di Pasar Festival, Kuningan, Jakarta. Stan ‘Buku Lusuh milik Harri Purnomo menempati kavling seluas 20 meter persegi. Penampilannya berbeda dari puluhan stan lainnya. Bila stan penerbit, distributor, atau toko buku banyak menampilkan buku-buku yang diniatkan untuk dijual, stan Buku Buluk justru memajang buku-buku tidak populer. Asing bagi masyarakat umum.

Contohnya, buku tipis karya Tan Malaka dengan cover abu-abu. Buku lama itu terbungkus plastik tebal. Sudah tampak lusuh. “Ya, supaya tidak dimakan rayap. Koleksi ini (Tan Malaka) harus dirawat dengan benar,” ungkap Harri Purnomo atau yang kerap disapa Gieb kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos).
Selain Tan Malaka, tergantung pula buku AD/ART PKI (Partai Komunis Indonesia). Juga, puluhan buku lama berhaluan kiri lainnya, termasuk buku-buku novel Pramoedya Ananta Toer versi ‘buku terlarang’.

Jika ada yang menanyakan harga buku-buku itu, Gieb bergegas menjawab, “Maaf, nggak dijual, hanya untuk koleksi. Kalau saya jual, mungkin saya sudah kaya.”

Gieb menamakan koleksinya sebagai buku buluk (lusuh): buku-buku kiri yang langka. Buku-buku tua itu tidak hanya bisa dinikmati sebagai buku, namun juga sebagai artefak sejarah. Buku-buku tersebut termasuk langka karena memang tidak banyak yang masih menyimpan. Apalagi, pada era Orde Baru (Orba), buku-buku yang beraliran kiri dilarang beredar atau bahkan dimusnahkan.

“Mulai 1965, buku kiri jarang terbit. Kalau toh ada, dilarang beredar atau harus dimusnahkan rezim Orba,” terang pria kelahiran Solo, 7 Maret 1978, tersebut.

Buku-buku berhaluan kiri yang sempat menjadi momok Orba, antara lain karya DN Aidit, Tan Malaka, dan Pramoedya Ananta Toer. Buku-buku tersebut pernah diberedel dan distigma sebagai buku propaganda komunis. “Ketika buku-buku itu diberedel dan dibakar pada 1965, yang tersisa jadi sangat jarang. Buku-buku koleksi saya ini adalah yang selamat dari tragedi itu,” jelasnya.

Buku-buku DN Aidit termasuk yang amat langka. Kalaupun ada, buku tersebut tidak berbentuk karangan asli, melainkan berformat seri pemikiran sejarah atau biografi tokoh pergerakan (PKI).

Gieb mengakui, tulisan para pemikir dengan label ekstrem kiri tersebut kini jarang dipublikasikan secara masif. Salah satunya karena tidak sesuai dengan selera pasar. “Pasar buku (kiri) memang tipis banget. Bisa dihitung dengan jari. Umumnya kolektor,” tutur dia.
Penerbit buku-buku kiri setali tiga uang. Jarang yang punya modal kuat sehingga berani ‘melawan arus’ pasar. “Bahkan, tahun depan ada yang mau tutup karena tak kuat lagi.”

Karena itu, ada kenikmatan tersendiri ketika alumnus Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang, tersebut berburu buku-buku kiri yang sulit didapatkan di toko buku modern. Mau tidak mau, dia harus rajin blusukan ke pasar buku loak. Tapi, berkat ketekunannya itulah kini dia mampu mengumpulkan lebih dari 600 buku kiri yang dianggap langka.

Gieb mengakrabi dunia buku setelah asyik dengan komik saat masih kecil. Ketika mahasiswa, mulailah cakrawala pemikirannya terbuka luas, termasuk terhadap ideologi yang berkembang. Apalagi, kala itu Gieb aktif dalam komunitas jurnalistik atau lembaga pers mahasiswa (LPM). “Sejak saat itu, saya gemar membaca buku-buku kiri,” ungkapnya.

Tak puas mendapat sekelumit ilmu dari lingkungan akademis, Gieb lalu berburu buku-buku kiri. Buku pertama yang dia beli secara sembunyi-sembunyi adalah tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Dia mendapatkannya dari sudut pasar buku bekas di Malang. Lokasi itu dia sebut Blok M-nya Malang. Dengan Rp25.000 hasil menjual sepeda onthel, dia bisa mendapatkan tetralogi Pram yang tersohor tersebut.

“Saat itu, nama Pram masih dianggap kiri dan bukunya diberedel. Karena itu, kalau ada yang menjual, pasti dengan sembunyi-sembunyi. Saya mendapatkan buku-buku tersebut juga dengan sembunyi-sembunyi,” ungkap mantan wartawan ekonomi sebuah koran nasional itu.

Sejak lulus kuliah dan bekerja di Jakarta, insting berburu Gieb terhadap buku kiri langka tambah menggila. Dia bahkan mampu memetakan kota mana saja yang menjadi surga buku kiri dengan usia lebih dari separo abad itu. Menurut dia, buku kiri banyak ditemukan di wilayah yang dikelilingi markas militer. Di antaranya, Malang, Solo, Jogja, dan Bandung.

“Banyak jenderal zaman dulu yang jadi kolektor buku kiri itu. Bahkan, saya menduga, buku-buku kiri (saya) ini dulu koleksi para jenderal tersebut. Makanya, buku-buku itu selamat dari razia dan tidak ikut dibakar,” lanjut dia.

Seringnya Gieb berburu di pasar-pasar loak itulah yang akhirnya membuahkan hasil signifikan. Misalnya, dia berhasil mendapat buku Safe Conduct karya novelis Rusia Boris Leonidovich Pasternak. Apa yang menarik dalam buku usang bersampul merah itu?

“Dilihat sekilas, buku ini memang tidak menarik. Tapi, buku Boris Pasternak ini ternyata pernah dikoleksi Soe Hok Gie. Ada tanda tangan Hok Gie di lembar pertamanya. Jelas, buku ini sangat berharga,” ujar Gieb.

Dalam buku terbitan The New American Library tersebut, memang terdapat tulisan serta tanda tangan Soe Hok Gie dengan tinta biru yang mulai memudar: Djakarta 29 Nopember 1960. Soe Hok Gie. Ditukar dng (dengan) kartjis sandiwara dari Irawan. “Saya tidak akan menjual buku ini,” tegas Gieb yang begitu bangga dengan koleksinya yang ditemukan pada 2010 di Pasar Loak Senen, Jakarta, tersebut.

Selain di pasar buku bekas, Gieb sering mendapat keberuntungan dari kawan-kawannya. Misalnya, dia mendapat buku Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Arus Balik cetakan pertama. Buku itu merupakan koleksi termahal yang pernah dia dapatkan. Harganya saat itu Rp1 juta.

Ada pula buku jilid ketiga karya Tan Malaka dengan judul Dari Penjara ke Penjara. “Buku ini paling istimewa karena masih dalam format ketikan, masih stensilan, belum sampai ke penerbit,” paparnya.

Di antara ratusan koleksinya, buku yang paling sulit diperoleh adalah buku-buku DN Aidit. “Sekarang saya punya empat judul di antara total 30 judul karangan Aidit. Untuk mengumpulkan itu, saya butuh waktu empat tahun,” jelasnya.

Buku-buku Aidit yang dikoleksi Gieb adalah Revolusi Indonesia: Latar Belakang Sedjarah dan Hari Depannja (1964), Djalan ke Demokrasi Rakjat Bagi Indonesia (1955), Tentang Marxisme (1964), dan Kibarkan Tinggi Pandji Revolusi (1964). “Saya masih terus berburu buku Aidit yang lain,” tegas Gieb. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/