28 C
Medan
Tuesday, July 2, 2024

Dunia Alami Gelombang Kedua Covid-19

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Gelombang kedua Covid-19 menerpa banyak negara. Prancis memberlakukan jam malam pada Oktober lalu demi menekan angka penularan Covid-19 yang kembali melesat pesat. Tak cuma Prancis, Belgia juga memberlakukan jam malam nasional karena terjadi lonjakan kasus Covid-19.

Selain dua negara itu, gelombang kedua Covid-19 muncul di Swiss dan Italia yang mulai terasa sejak Oktober lalu.

Melihat kondisi di luar negeri, Presiden Joko Widodo mewanti-wanti jajaran menterinya untuk mewaspadai munculnya gelombang kedua Covid-19. Jokowi meminta para menteri untuk berwaspada agar kejadian tersebut tak terjadi di Indonesia.

“Saya ingin menekankan sekali lagi, hati-hati karena di Eropa sudah muncul gelombang kedua yang naiknya sangat drastis sekali,” kata Jokowi.

“Jadi, jangan sampai kita teledor, jangan kita kehilangan kewaspadaan sehingga kejadian itu terjadi di negara kita,” kata Jokowi saat memimpin sidang kabinet paripurna dari Istana Negara Jakarta, awal November 2020.

Satuan Tugas Penanganan Covid-19 juga kembali mengingatkan agar masyarakat Indonesia waspada terhadap fenomena gelombang kedua dari berbagai negara di banyak belahan dunia.

“Di banyak belahan dunia saat ini, kasus Covid-19 menurun, dan di saat bersamaan, ada yang mengalami lonjakan bahkan muncul fenomena second wave (gelombang kedua),” kata Juru Bicara dan Koordinator Tim Pakar Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito dalam konferensi pers pada Kamis, 12 November 2020.

Gelombang kedua adalah suatu kondisi ketika ada tren kenaikan kasus konfirmasi positif yang kembali memuncak setelah sebelumnya sempat melandai.

“Di negara lain pernah tinggi, terus turun terus merendah. Lalu, tiba-tiba loncat lagi (jumlah kasus meningkat), loncatnya cepat,” kata Wiku menjelaskan mengenai arti gelombang kedua.

Menurut Wiku, ada beberapa faktor yang membuat terjadi gelombang kedua Covid-19 di beberapa negara. Mulai dari kendornya perilaku menjalankan protokol kesehatan hingga kasus impor.

“Kita lihat itu pasti ada trigger-nya, apa? Dugaan saya prilaku masyarakat tak terkendali dalam menjalankan protokol kesehatan 3M (memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan). Lalu, ada imported case yang menular cepat, yang mau direm susah,” kata Wiku.

Wiku mengingatkan bahaya Covid-19 tanpa gejala dalam fenomena second wave yang tengah melanda dunia.

Wiku menjelaskan tiga penelitian, yaitu dari Kronbichler et al pada 506 pasien dari 36 studi (2020), He et al pada 50 pasien dari 114 studi (2020), dan Yu et al pada 79 pasien dari 3 Rumah Sakit di Wuhan China tahun 2020. Ketiga penelitian itu menyatakan, kebanyakan penderita Covid-19 yang tidak bergejala adalah populasi berusia muda dan berpotensi menularkan orang-orang sekitarnya.

“Hal ini fenomenanya juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan hasil riset itu, apabila seseorang terlihat sehat, bukan berarti mereka terbebas atau tidak berada dalam kondisi sakit,” tambahnya.

Wiku mengingatkan, menurut World Health Organization (WHO), gejala Covid-19 akan muncul atau dapat dirasakan setelah 5 atau 6 hari dari terpapar virus Covid-19. Atau juga, paling lama dapat dirasakan setelah 14 hari, bahkan terkadang tidak tampak sakit. Pada umumnya, ada dua istilah untuk membedakan pasien Covid-19.

Pertama, ialah asimtomatik yang berarti dapat menularkan tanpa menunjukkan gejala apa pun. Kedua, presimptomatik yang berarti orang yang masih dalam tahap pengembangan gejala atau berada dalam masa inkubasi.

Terlebih, masyarakat di berbagai belahan dunia saat ini tengah mengalami fenomena second wave atau lonjakan kedua. Tren ini menunjukkan kenaikan kasus Covid-19 kembali memuncak setelah mengalami kurva penambahan kasus yang melandai.

“Lonjakan kasus merefleksikan kenaikan kasus aktif atau orang yang sakit, baik yang tengah menjalani isolasi atau dirawat akibat Covid-19,” ujarnya.

Untuk itu, Wiku pun mengimbau masyarakat tidak lengah karena pandemi Covid-19 masih berlangsung dan mengajak untuk terus menjaga jarak dan menerapkan protokol kesehatan. Sebab, efektivitas penekanan risiko penularan akan lebih maksimal dengan menerapkan 3M, yaitu memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan.

“Saya apresiasi seluruh elemen, baik tenaga kesehatan, komunitas, pemerintah dan masyarakat karena kerjasamanya bisa bertahan di masa pandemi Covid-19 sampai sekarang,” jelasnya.

Teori lain tentang kemungkinan beberapa negara Eropa alami gelombang kedua, salahsatu faktornya adalah kelelahan menghadapi gelombang pertama Covid-19 seperti disampaikan Direktur Penyakit Menular WHO Regional Asia Tenggara, Profesor Tjandra Yoga Aditama.

“Kelelahan menanggulangi gelombang pertama, sehingga protokol kesehatan tidak dilanjutkan atau tidak seketat di gelombang pertama,” kata Tjandra dihubungi Jumat (13/11). (kps)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Gelombang kedua Covid-19 menerpa banyak negara. Prancis memberlakukan jam malam pada Oktober lalu demi menekan angka penularan Covid-19 yang kembali melesat pesat. Tak cuma Prancis, Belgia juga memberlakukan jam malam nasional karena terjadi lonjakan kasus Covid-19.

Selain dua negara itu, gelombang kedua Covid-19 muncul di Swiss dan Italia yang mulai terasa sejak Oktober lalu.

Melihat kondisi di luar negeri, Presiden Joko Widodo mewanti-wanti jajaran menterinya untuk mewaspadai munculnya gelombang kedua Covid-19. Jokowi meminta para menteri untuk berwaspada agar kejadian tersebut tak terjadi di Indonesia.

“Saya ingin menekankan sekali lagi, hati-hati karena di Eropa sudah muncul gelombang kedua yang naiknya sangat drastis sekali,” kata Jokowi.

“Jadi, jangan sampai kita teledor, jangan kita kehilangan kewaspadaan sehingga kejadian itu terjadi di negara kita,” kata Jokowi saat memimpin sidang kabinet paripurna dari Istana Negara Jakarta, awal November 2020.

Satuan Tugas Penanganan Covid-19 juga kembali mengingatkan agar masyarakat Indonesia waspada terhadap fenomena gelombang kedua dari berbagai negara di banyak belahan dunia.

“Di banyak belahan dunia saat ini, kasus Covid-19 menurun, dan di saat bersamaan, ada yang mengalami lonjakan bahkan muncul fenomena second wave (gelombang kedua),” kata Juru Bicara dan Koordinator Tim Pakar Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito dalam konferensi pers pada Kamis, 12 November 2020.

Gelombang kedua adalah suatu kondisi ketika ada tren kenaikan kasus konfirmasi positif yang kembali memuncak setelah sebelumnya sempat melandai.

“Di negara lain pernah tinggi, terus turun terus merendah. Lalu, tiba-tiba loncat lagi (jumlah kasus meningkat), loncatnya cepat,” kata Wiku menjelaskan mengenai arti gelombang kedua.

Menurut Wiku, ada beberapa faktor yang membuat terjadi gelombang kedua Covid-19 di beberapa negara. Mulai dari kendornya perilaku menjalankan protokol kesehatan hingga kasus impor.

“Kita lihat itu pasti ada trigger-nya, apa? Dugaan saya prilaku masyarakat tak terkendali dalam menjalankan protokol kesehatan 3M (memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan). Lalu, ada imported case yang menular cepat, yang mau direm susah,” kata Wiku.

Wiku mengingatkan bahaya Covid-19 tanpa gejala dalam fenomena second wave yang tengah melanda dunia.

Wiku menjelaskan tiga penelitian, yaitu dari Kronbichler et al pada 506 pasien dari 36 studi (2020), He et al pada 50 pasien dari 114 studi (2020), dan Yu et al pada 79 pasien dari 3 Rumah Sakit di Wuhan China tahun 2020. Ketiga penelitian itu menyatakan, kebanyakan penderita Covid-19 yang tidak bergejala adalah populasi berusia muda dan berpotensi menularkan orang-orang sekitarnya.

“Hal ini fenomenanya juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan hasil riset itu, apabila seseorang terlihat sehat, bukan berarti mereka terbebas atau tidak berada dalam kondisi sakit,” tambahnya.

Wiku mengingatkan, menurut World Health Organization (WHO), gejala Covid-19 akan muncul atau dapat dirasakan setelah 5 atau 6 hari dari terpapar virus Covid-19. Atau juga, paling lama dapat dirasakan setelah 14 hari, bahkan terkadang tidak tampak sakit. Pada umumnya, ada dua istilah untuk membedakan pasien Covid-19.

Pertama, ialah asimtomatik yang berarti dapat menularkan tanpa menunjukkan gejala apa pun. Kedua, presimptomatik yang berarti orang yang masih dalam tahap pengembangan gejala atau berada dalam masa inkubasi.

Terlebih, masyarakat di berbagai belahan dunia saat ini tengah mengalami fenomena second wave atau lonjakan kedua. Tren ini menunjukkan kenaikan kasus Covid-19 kembali memuncak setelah mengalami kurva penambahan kasus yang melandai.

“Lonjakan kasus merefleksikan kenaikan kasus aktif atau orang yang sakit, baik yang tengah menjalani isolasi atau dirawat akibat Covid-19,” ujarnya.

Untuk itu, Wiku pun mengimbau masyarakat tidak lengah karena pandemi Covid-19 masih berlangsung dan mengajak untuk terus menjaga jarak dan menerapkan protokol kesehatan. Sebab, efektivitas penekanan risiko penularan akan lebih maksimal dengan menerapkan 3M, yaitu memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan.

“Saya apresiasi seluruh elemen, baik tenaga kesehatan, komunitas, pemerintah dan masyarakat karena kerjasamanya bisa bertahan di masa pandemi Covid-19 sampai sekarang,” jelasnya.

Teori lain tentang kemungkinan beberapa negara Eropa alami gelombang kedua, salahsatu faktornya adalah kelelahan menghadapi gelombang pertama Covid-19 seperti disampaikan Direktur Penyakit Menular WHO Regional Asia Tenggara, Profesor Tjandra Yoga Aditama.

“Kelelahan menanggulangi gelombang pertama, sehingga protokol kesehatan tidak dilanjutkan atau tidak seketat di gelombang pertama,” kata Tjandra dihubungi Jumat (13/11). (kps)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/