30 C
Medan
Friday, June 21, 2024

Tolak 4 Pasal Revisi UU Pilkada

RUU-Pilkada-ilustrasi
RUU-Pilkada-ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO-Usaha DPR RI untuk merevisi undang-undang pilkada mendapatkan tantangan. Sejumlah kalangan menolak perubahan terhadap regulasi tersebut. Menurut mereka, empat pasal yang disiapkan oleh komisi II itu tidak akan memperbaiki kualitas pilkada. Karena hanya untuk kepentingan politik sesaat.

Hal itu diutarakan oleh Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyadi kemarin (16/5). Didik memandang revisi UU pilkada yang digulirkan oleh anggota dewan sudah sangat keterlaluan. Karena penambahan empat pasal tersebut bukan didasarkan pada perbaikan pilkada. Namun lebih pada pemenuhan kepentingan politik. “Kalau situasi politik berubah, nanti akan berubah lagi,” ujarnya.

Empat rancangan pasal yang disiapkan komisi II yaitu efisiensi anggaran pilkada, transparansi dana pilkada, petahana atau incumbent dan terkait penyelesaian konflik parpol. Jika DPR bisa meyakinkan pemerintah untuk merevisi UU pilkada, empat pasal itu akan dibahas dalam waktu satu bulan mulai tanggal 18 Mei-18 Juni 2015.

Didik mengatakan, sejujurnya ke empat rancangan pasal itu tidak perlu ditambahkan. Karena tidak akan membuat penyelenggaraan pilkada bertambah baik. Misalnya terkait efisiensi dana pilkada. Menurut dia, pilkada serentak memang akan memakan biaya yang sangat besar. Karena penyelenggaraan pesta demokrasi kota/kabupaten dan provinsi tidak dilakukan bersamaan. “Kalau mau efisien dilakukan bersamaan,” ujarnya.

Untuk transparansi dana pilkada, Didik menjelaskan hal itu memang diperlukan. Namun, titik tekan transparansi dana pilkada bukan hanya pada daerah yang menyelenggarakan. Namun juga pada parpol yang berkompetisi. Menurut Didik, parpol harus membuka semua dana yang dikeluarkan ketika pilkada.

Terkait petahanan, Didik mengaku tidak perlu dipermasalahkan. Karena di dalam pilkada sudah terdapat instrument pengawas. Misalnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). “Pelanggaran bisa dideteksi oleh Bawaslu,” tuturnya.

Sedangkan untuk konflik parpol, Didik meminta PPP dan Golkar untuk segera islah. Karena itu salah satu jalan tercepat agar parpol ikut pilkada. Sebab, jika menunggu keputusan putusan incraht, butuh waktu yang panjang. “Jadi tidak bisa menyalahkan UU jika ada partai yang berselisih,” paparnya.

Lalu bagaimana solusinya” Didik meminta pemerintah menolak permintaan DPR untuk melakukan revisi UU pilkada. Menurut dia, revisi UU harus persetujuan antara dua belah pihak yakni eksekutif dan legislative. Jika salah satu tidak berkenan, maka revisi UU pilkada akan batal.

Menurut Didik, sebelum DPR merevisi UU nomor 1 tahun 2015 menjadi UU nomor 8 Tahun 2015, pihaknya sudah mengingatkan potensi kisruh yang akan terjadi. “Idealnya Pilkada serentak pertama itu dilaksanakan Juni 2016, dan waktu itu kami sudah menyuarakan,” ucapnya.

Hitung-hitungannya, saat itu daerah akan lebih siap untuk mendanai Pilkada. Kemudian, putusan mengenai dualisme kepengurusan parpol sudah inkracht sebelum tahapan pilkada dimulai. Ternyata DPR memilih Desember 2015 sebagai tanggal pelaksanaan. Kemudian, saat tahapan dimulai dan muncul masalah DPR menunjukkan inkonsistensi dengan merencanakan revisi lagi.

Sementara itu, wakil ketua komisi II Lukman Edy mengatakan empat rancangan pasal tersebut belum putusan final dari komisi II. Lantaran belum disepakati oleh komisi II. Empat pasal itu lahir berdasarkan hasil temuan masalah menjelang pilkada serentak dari tenaga ahli. “Hari Senin (18/5) baru akan diplenokan,” jelasnya.

Politisi PKB itu mengatakan, pihaknya mendukung revisi UU pilkada. Namun tidak tahun ini. Menurut dia, jika revisi dilakukan mendekati waktu pilkada maka akan berdampak pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. “Kami Khawatir akan terganggu,” ujarnya.

Lebih lanjut, dia meminta KPU dan pemerintah daerah utnuk menyelenggarakan pilkada sesuai jadwal yakni tanggal 9 Desember 2015. Nah, jika ada kekurangan pada saat penyelenggaraan, nantinya akan menjadi catatan penyelenggara pemilu dan DPR. “Kekurangan itu yang akan dijadikan bahan untuk revisi UU pilkada,” jelasnya.

Di tempat terpisah, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengaku heran dengan rencana tersebut. “Ini menunjukkan bahwa kompetisi politik itu memang tidak fair,” ujarnya. Tolok ukurnya, peraturan diubah setelah fakta diketahui. Fakta yang dimaksud adalah kubu parpol yang grupnya memiliki suara mayoritas di parlemen terancam tidak bisa mengikuti pilkada.

Dalam hal ini, Kubu Aburizal Bakrie di Partai Golkar dan Suryadharma Ali di PPP. Keengganan untuk islah membuat kelompok mayoritas mencari jalan lain, yakni dengan merevisi UU yang sudah ada. “Kalau kita mau mengikuti peraturan perundangan yang ada, maka yang berhak mengikuti Pilkada itu yang tercatat terakhir di Menkum HAM,” lanjutnya.

Persoalannya, antara Menkum HAM dengan DPR berbeda aspirasinya. Bagaimanapun, sentimen KIH dan KMP kembali mengemuka dalam kasus tersebut. Menkum HAM pro-KIH, sedangkan DPR, khususnya Komisi II mayoritas KMP. (aph/byu/jpnn)

RUU-Pilkada-ilustrasi
RUU-Pilkada-ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO-Usaha DPR RI untuk merevisi undang-undang pilkada mendapatkan tantangan. Sejumlah kalangan menolak perubahan terhadap regulasi tersebut. Menurut mereka, empat pasal yang disiapkan oleh komisi II itu tidak akan memperbaiki kualitas pilkada. Karena hanya untuk kepentingan politik sesaat.

Hal itu diutarakan oleh Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyadi kemarin (16/5). Didik memandang revisi UU pilkada yang digulirkan oleh anggota dewan sudah sangat keterlaluan. Karena penambahan empat pasal tersebut bukan didasarkan pada perbaikan pilkada. Namun lebih pada pemenuhan kepentingan politik. “Kalau situasi politik berubah, nanti akan berubah lagi,” ujarnya.

Empat rancangan pasal yang disiapkan komisi II yaitu efisiensi anggaran pilkada, transparansi dana pilkada, petahana atau incumbent dan terkait penyelesaian konflik parpol. Jika DPR bisa meyakinkan pemerintah untuk merevisi UU pilkada, empat pasal itu akan dibahas dalam waktu satu bulan mulai tanggal 18 Mei-18 Juni 2015.

Didik mengatakan, sejujurnya ke empat rancangan pasal itu tidak perlu ditambahkan. Karena tidak akan membuat penyelenggaraan pilkada bertambah baik. Misalnya terkait efisiensi dana pilkada. Menurut dia, pilkada serentak memang akan memakan biaya yang sangat besar. Karena penyelenggaraan pesta demokrasi kota/kabupaten dan provinsi tidak dilakukan bersamaan. “Kalau mau efisien dilakukan bersamaan,” ujarnya.

Untuk transparansi dana pilkada, Didik menjelaskan hal itu memang diperlukan. Namun, titik tekan transparansi dana pilkada bukan hanya pada daerah yang menyelenggarakan. Namun juga pada parpol yang berkompetisi. Menurut Didik, parpol harus membuka semua dana yang dikeluarkan ketika pilkada.

Terkait petahanan, Didik mengaku tidak perlu dipermasalahkan. Karena di dalam pilkada sudah terdapat instrument pengawas. Misalnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). “Pelanggaran bisa dideteksi oleh Bawaslu,” tuturnya.

Sedangkan untuk konflik parpol, Didik meminta PPP dan Golkar untuk segera islah. Karena itu salah satu jalan tercepat agar parpol ikut pilkada. Sebab, jika menunggu keputusan putusan incraht, butuh waktu yang panjang. “Jadi tidak bisa menyalahkan UU jika ada partai yang berselisih,” paparnya.

Lalu bagaimana solusinya” Didik meminta pemerintah menolak permintaan DPR untuk melakukan revisi UU pilkada. Menurut dia, revisi UU harus persetujuan antara dua belah pihak yakni eksekutif dan legislative. Jika salah satu tidak berkenan, maka revisi UU pilkada akan batal.

Menurut Didik, sebelum DPR merevisi UU nomor 1 tahun 2015 menjadi UU nomor 8 Tahun 2015, pihaknya sudah mengingatkan potensi kisruh yang akan terjadi. “Idealnya Pilkada serentak pertama itu dilaksanakan Juni 2016, dan waktu itu kami sudah menyuarakan,” ucapnya.

Hitung-hitungannya, saat itu daerah akan lebih siap untuk mendanai Pilkada. Kemudian, putusan mengenai dualisme kepengurusan parpol sudah inkracht sebelum tahapan pilkada dimulai. Ternyata DPR memilih Desember 2015 sebagai tanggal pelaksanaan. Kemudian, saat tahapan dimulai dan muncul masalah DPR menunjukkan inkonsistensi dengan merencanakan revisi lagi.

Sementara itu, wakil ketua komisi II Lukman Edy mengatakan empat rancangan pasal tersebut belum putusan final dari komisi II. Lantaran belum disepakati oleh komisi II. Empat pasal itu lahir berdasarkan hasil temuan masalah menjelang pilkada serentak dari tenaga ahli. “Hari Senin (18/5) baru akan diplenokan,” jelasnya.

Politisi PKB itu mengatakan, pihaknya mendukung revisi UU pilkada. Namun tidak tahun ini. Menurut dia, jika revisi dilakukan mendekati waktu pilkada maka akan berdampak pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. “Kami Khawatir akan terganggu,” ujarnya.

Lebih lanjut, dia meminta KPU dan pemerintah daerah utnuk menyelenggarakan pilkada sesuai jadwal yakni tanggal 9 Desember 2015. Nah, jika ada kekurangan pada saat penyelenggaraan, nantinya akan menjadi catatan penyelenggara pemilu dan DPR. “Kekurangan itu yang akan dijadikan bahan untuk revisi UU pilkada,” jelasnya.

Di tempat terpisah, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengaku heran dengan rencana tersebut. “Ini menunjukkan bahwa kompetisi politik itu memang tidak fair,” ujarnya. Tolok ukurnya, peraturan diubah setelah fakta diketahui. Fakta yang dimaksud adalah kubu parpol yang grupnya memiliki suara mayoritas di parlemen terancam tidak bisa mengikuti pilkada.

Dalam hal ini, Kubu Aburizal Bakrie di Partai Golkar dan Suryadharma Ali di PPP. Keengganan untuk islah membuat kelompok mayoritas mencari jalan lain, yakni dengan merevisi UU yang sudah ada. “Kalau kita mau mengikuti peraturan perundangan yang ada, maka yang berhak mengikuti Pilkada itu yang tercatat terakhir di Menkum HAM,” lanjutnya.

Persoalannya, antara Menkum HAM dengan DPR berbeda aspirasinya. Bagaimanapun, sentimen KIH dan KMP kembali mengemuka dalam kasus tersebut. Menkum HAM pro-KIH, sedangkan DPR, khususnya Komisi II mayoritas KMP. (aph/byu/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/