Dihukum 15 Tahun karena Rencanakan Teror dan Galang Dana
JAKARTA – Amir Jamaah Ansyarut Tauhid (JAT) Abu Bakar Ba’asyir menghadapi vonis berat. Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta kemarin (16/6) menghukum terdakwa perencanaan pelatihan militer di Jalin Jantho, Aceh Besar itu dengan penjara 15 tahun. Dia juga dibebankan biaya perkara sebesar Rp5 ribu.
“Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dalam dakwaan subsider dan menjatuhkan pidana selama…,” kata ketua majelis hakim Herri Swantoro yang membacakan vonis menahannya selama beberapa detik kemudian melanjutkan, “…lima belas tahun penjara,” imbuhnya.
Vonis tersebut membuat ratusan pendukung yang memadati halaman PN Jakarta Selatan tenggelam dalam kesedihan. Massa JAT baik yang ikhwan (putra) maupun yang akhwat (putri) meneteskan air mata. Merespons vonis berat tersebut, massa meneriakkan takbir dan kecaman terhadap majelis hakim serta Detasemen Khusus 88 Mabes Polri.
Majelis hakim menganggap Ba’asyir terbukti melakukan dakwaan subsider dan melanggar Pasal 14 junto Pasal 7 Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dia terbukti bermaksud untuk menimbulkan suasana teror melalui pelatihan militer di pegunungan di Jalin Jantho, Aceh Besar.
“Merencanakan, dan atau menggerakkan orang lain, dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,” kata Herri.
Vonis hakim jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Yakni, kurungan badan seumur hidup. Dalam UU Terorisme juga disebutkan bahwa vonis maksimal bagi mereka yang bermaksud membuat aksi teror adalah kurungan seumur hidup.
“Pertimbangan yang meringankan adalah terdakwa telah berusia lanjut dan bersikap sopan selama persidangan. Yang memberatkan, terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah memberantas terorisme dan terdakwa sudah pernah dihukum sebelumnya,” ungkap Herri.
Usai membacakan putusan tersebut, Herri memberi kesempatan kepada kubu JPU dan Ba’asyir untuk menyampaikan langkah hukum atas putusan tersebut.
Rupanya, Ba’asyir tetap ngeyel. Dengan memegang microphone, dia mengatakan bahwa persidangan terhadap dirinya zalim karena tidak menggunakan syariat Islam. Hukum yang digunakan melebihi syariat adalah thoghut.
“Syariat Islam tidak diperhatikan, hanya memperhatikan Undang-Undang. Haram hukumnya saya menerima (putusan ini, Red.),” katanya dengan suara tercekat seperti menahan emosi.(aga/dim/jpnn)