Okky Madasari Peraih Khatulistiwa Literary Award 2012
Penghargaan sastra Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2012 jatuh ke tangan Okky Madasari. Novel berjudul Maryam yang dia tulis dinobatkan sebagai buku sastra terbaik tahun ini.
Perempuan asal Magetan, Jawa Timur, itu memenangi gelar bergengsi tersebut pada usia yang masih belia.
Air sisa hujan masih menggenang di pelataran rumah Okky di Jalan Muara Tanjung Barat, Jakarta Selatan, Minggu (2/12) lalu. Rumah Okky terlihat segar dan lapang. Selain rumput-rumput yang menghijau, buah rambutan yang mulai masak pohon berjatuhan di pelataran.
Rumah Okky berdiri di atas lahan seluas 300 meter persegi. Rumah tersebut berbagi halaman dengan TK Muara Bangsa yang juga milik Okky. Bangunan TK terletak di sisi kiri dan rumah Okky di sisi kanan. Halaman rumahnya cukup lapang. Sebab, tidak semua lahan dipakai untuk bangunan.
“Halamannya memang luas, tapi bangunannya masih sederhana. Belum direnovasi sejak dibeli dua tahun lalu,” kata Okky.
Saat Jawa Pos (grup memasuki ruang tamu, seekor kelinci mungil melesat berlari ke luar. “Itu peliharaan saya. Iseng-iseng. Lucu sih,” ujar perempuan 28 tahun tersebut.
Dari rumah yang asri itulah Okky menulis hampir sebagian besar karyanya. Mulai novel pertama Entrok (2010), 86 (2011), hingga Maryam (2012). “Menulis novel adalah bagian dari upaya saya untuk melakukan kritik sosial,” ungkap penggemar berat novelis Rusia Anton Chekov dan Fyodor Dostoyevsky itu.
Penghargaan KLA 2012 merupakan capaian tertinggi Okky dalam karir kepenulisannya. Dia pun meraih penghargaan itu pada usia yang relatif muda. Para pemenang KLA tahun-tahun sebelumnya rata-rata adalah penulis senior. Mulai Avianti Armand yang berusia 42 tahun saat mendapat gelar tersebut tahun lalu hingga Gus tf Sakai (47), yang meraih KLA pada 2007.
Okky sejatinya bukan nama asing dalam ajang KLA. Pada 2011, novel 86 sempat masuk nominasi. “Tadinya masuk ke penulis muda berbakat. Tapi, karena kategori itu dihapus, akhirnya masuk nominasi karya,” jelas perempuan berjilbab tersebut.
Sebelum fulltime menjadi novelis, sejak 2006, Okky berprofesi sebagai wartawan di sebuah surat kabar nasional. Tiga tahun kemudian, dia berhenti dari profesinya sebagai jurnalis dan memutuskan untuk berfokus menjadi penulis.
Okky mengungkapkan, wartawan merupakan profesi yang membuat dirinya bersemangat. Apalagi, selama ini dia dipercaya untuk meliput berita-berita di bidang hukum yang pelik dan riuh.
Namun, menjadi jurnalis terlalu banyak batasan. Okky merasakan kreativitasnya seperti terbelenggu oleh kode etik jurnalistik. Dia tidak bisa memasukkan opini dalam hasil liputannya.
Selain itu, penyampaian informasi dibatasi hanya di kertas koran. Padahal, dia ingin tulisan-tulisan yang dibikin berisi banyak kritik sosial. “Akhirnya, saya membulatkan tekad untuk mundur dari wartawan dan fokus menjadi penulis,” ujarnya.
Menurut lulusan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) angkatan 2002 itu, menjadi penulis novel lebih bebas. Dia bisa memasukkan opini bahkan keberpihakannya pada tokoh atau kelompok tertentu dalam setiap tulisannya. Dia juga bisa mengekspresikan kreativitasnya dengan leluasa.
Namun, Okky sadar bahwa daya dorong sebuah novel tidak bisa sekuat berita di koran atau media elektronik. “Wartawan bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan beritanya, tapi novel tidak,” tegasnya.
Meski begitu, novel dan cerita fiksi lainnya memiliki potensi sendiri. Tulisan fiksi bisa memengaruhi perasaan masyarakat. Itu, kata Okky, tak kalah penting dari wartawan yang mempengaruhi kebijakan pemerintah. “Masing-masing punya peran,” katanya.
Pengalaman sebagai wartawan masih sangat membekas di benak Okky. Bahkan, karena sering menulis berita-berita hukum, dirinya akhirnya sukses melahirkan novel berjudul 86 yang menjadi nominasi KLA pada 2010. Istilah “86” cukup familier di kalangan kepolisian sebagai kode “damai” dalam penanganan sebuah kasus.
Dalam novel Maryam, Okky melakukan kritik sosial tentang perlakuan diskriminatif terhadap penganut Ahmadiyah. Dia memilih tema itu karena cukup aktual dengan situasi sosial di tanah air. Hampir setiap tahun selalu terjadi serangan dan pengusiran terhadap warga Ahmadiyah di berbagai tempat. Mereka terusir dari rumah dan tanah milik mereka sendiri.
Okky memotret kasus tersebut di komunitas Ahmadiyah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Di Lombok, sampai sekarang warga Ahmadiyah tetap tinggal di pengungsian. Padahal, mereka tak bisa mencari nafkah. Sementara itu, bantuan pemerintah terus menipis.
Karena keprihatinannya tersebut, Okky memilih kasus diskriminasi terhadap warga Ahmadiyah Lombok itu sebagai tema novel. Tapi, dia tidak membahasnya hingga ke hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan. Dia berfokus pada kondisi sosial serta penderitaan mereka setelah terusir dari rumah dan tanahnya.
Maryam merupakan kisah seorang anak dari keluarga Ahmadiyah bernama Maryam. Oleh orangtuanya, dia diharuskan menikah dengan sesama anggota jamaah Ahmadiyah. Namun, hubungan pasangan itu akhirnya kandas karena si lelaki justru bergabung dengan jamaah fundamentalis radikal. Maryam lantas pulang ke Lombok dan mendapati rumahnya sudah rata dengan tanah.
Okky mengaku tak mau menulis hanya berdasar data referensi semata. Dia perlu turun langsung di lapangan agar tulisannya mempunyai pijakan fakta yang kuat. Karena itu, saat menulis Maryam, dia rela blusukan keluar-masuk pengungsian warga Ahmadiyah di Lombok. Bahkan tinggal bersama warga yang terusir itu.
Proses riset tersebut dilakukan selama enam bulan sebelum Okky menuliskannya dalam karya sastra. “Tulisan saya memang fiksi. Tapi, saya juga harus punya bahan di lapangan untuk menuliskannya dengan benar. Saya tidak bisa berimajinasi kalau tidak ada bahan,” tegasnya.
Banyak tanggapan terhadap penerbitan novel Maryam. Yang lucu, oleh warga Ahmadiyah, dia justru dianggap terlalu mengkritik Ahmadiyah. Pada saat yang sama, warga lain menilai Okky terlalu membela Ahmadiyah. Bahkan, ada yang menganggap Okky anggota jamaah Ahmadiyah.
“Walaupun saya menulis tentang Ahmadiyah, saya juga mengkritik kehidupan mereka yang eksklusif,” katanya.
Novel ketiga Okky itu benar-benar meneguhkan dirinya sebagai penulis yang konsisten di bidang kritik sosial. Sebelumnya, novel Entrok yang mengambil latar belakang masyarakat Jawa Timur membahas peristiwa 1965 plus Partai Komunis Indonesia (PKI). “Saya merasa dunia saya adalah kritik sosial,” ungkap mahasiswa S-2 sosiologi Universitas Indonesia (UI) tersebut.
Okky menegaskan akan menulis banyak karya lagi. Dia berharap bisa terus konsisten di jalur yang selama ini ditekuni. Bersama suaminya, Abdul Khalik, Okky ingin bisa menghasilkan minimal satu buku dalam setahun.
“Suami saya menjadi pembaca pertama karya-karya saya. Dia selalu memberikan banyak masukan. Dia teman diskusi yang asyik,” ujarnya. (*)