25 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Mawardi, Veteran yang Kini Menjadi Tukang Sapu

Rumah Bocor, Tidur dalam Kondisi Basah Kuyup

Lelaki tua itu tampak bangga mengenakan seragam veteran; topi kuning dan baju hijau yang berhias beberapa tanda jasa. Pandangan lelaki berusia 87 tahun itu mengarah ke depan, ke lensa kamera Sumut Pos yang sedang mengabadikannya.

M Sahbainy Nasution, Medan

DIABADIKAN: Mawardi saat diabadikan  rumahnya, Jumat (5/10)//Muhammad Sahbainy Nasution/sumut pos
DIABADIKAN: Mawardi saat diabadikan di rumahnya, Jumat (5/10)//Muhammad Sahbainy Nasution/sumut pos

Dialah Mawardi, satu lagi mantan pejuang yang tergabung dalam Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Sumut yang mengalami nasib kurang baik.
Kondisi kediaman Mawardi di Jalan Pemasyarakatan Gang Gintir No 56 Desa Sukadono, Deliserdang betul-betul miris. Rumahnya tak layak huni. Rumah itu hanya berdindingkan tepas dan papan yang sudah lapuk. Luasnya hanya 4×6 meter. Namun, di pintu masuk, tepatnya di bagian kusen atas ada tulisan yang menunjukkan sebuah kebanggaan: Mawardi LVRI.

Masuk ke dalam rumah, di sudut ruang, menuju dapur kecil di bagian belakang rumah, ada sebuah lemari kayu tua. Kondisi lemari itu pun sudah reyot, terlihat beberapa potong baju terburai, melewati pintu lemari yang sudah tidak lagi tertutup rapat.

“Silahkan masuk. Maaf, Nak, kondisi rumah saya begini. Kita duduk di tikar saja ya. Saya tak punya kursi apalagi sofa. Beginilah nasib pejuang seperti saya,” kata Mawardi.

Tikar tempat duduk yang digelar ternyata cukup menolong. Pasalnya, lantai rumah Mawardi hanya dilapisi semen yang dingin dan lembab. Menurut Mawardi, lantai itu harusnya tidak begitu dingin dan lembab. Tapi, beberapa hari ini turun hujan. Rumahnya kebanjiran. “Impian saya, saya ingin punya rumah yang layak huni. Karena kalau hujan, air hujan masuk melalui dinding tepas rumah saya. Kalau hujannya malam hari, saya sering basah kuyup saat tidur karena hujannya masuk dari sela-sela dinding tepas rumah,” jelas Mawardi yang mengaku sudah delapan tahun tinggal di rumah itu.

Parahnya, rumah itu ternyata bukan miliknya. Mawardi menyewa rumah itu dengan tarif Rp180 ribu per bulan. Untuk membayar biaya sewa, Mawaradi mengandalkan gajinya sebagai pensiuanan sebesar Rp1,3 juta per bulan. Di rumah itu, dia tinggal berdua dengan sang istri tercinta, Sania (50). “Ketujuh anak saya sudah bekerja. Tapi, semuanya merantau,” tuturnya.

Semenjak tidak menjadi TNI alias pensiun, Mawardi tidak memiliki pekerjaan tetap lagi. Dia pernah bekerja sebagai tukang korek parit dan membersihkan lingkungan di Komplek BTN Tanjunggusta Medan. “Kerja saya tak tetap, penghasilan yang saya dapat tak menentu. Kadang dapat Rp30 ribu kadang Rp50 ribu, tergantung orang yang mengupah saya,” katanya.

Padahal, dulunya Mawardi salah seorang pejuang yang tergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Jawa. Mawardi mengisahkan, dari umur 17 tahun ia sudah menjadi pejuang. “Pada tahun 1942, saya berperang melawan tentara Jepang. Saat itu, kami berperang secara bergerilya. Saya bertugas menjadi pembuat  ranjau-ranjau untuk para musuh,” ujarnya mengenang.

“Tapi itulah syukurnya, hanya 3,5 tahun Jepang menjajah di Indonesia,” tambahnya.

Masa pendudukan Negeri Sakura, Mawardi sempat bersekolah di sekolah Jepang yang saat itu Sekolah Rakyat (SR). Dari sekolah itu, ia dapat berbahasa Jepang dengan  pasif  dan juga pandai menyanyikan tujuh lagu Jepang yang masih sekarang ia ingat dalam benaknya. “Walaupun begitu, Jepang ada baiknya juga kepada bangsa Indonesia. Kita pernah diajarkan bercocok tanam dengan tanah yang sempit,” ucapnya.

Singkat cerita, semenjak peperangan usai, Mawardi mengikuti abangnya ke Medan. Mereka tinggal di kawasan Kebun Bunga Medan selama lima tahun. Setelah itu, Mawardi pindah ke Tanjungmorawa pada tahun 1954. Tak lama berselang, ia pindah ke kota Stabat. Dari Stabat itu, Mawardi sempat berjualan menjadi tukang es. “Itu tahun 1969 saya pindah dan berjualan menjadi tukang es,” ucapnya.

Ia melanjutkan, tahun 1982 ia mendapat penghargaan menjadi seorang veteran. Cukup banyak penghargaan yang ia dapat dari pemerintah ataupun lainnya. Seperti, Pelaksanaan Penghargaan Pancasila dari Kotamadya Medan pada 1996 dan dari Menteri Pertahanan (Menpan) tahun 1982.  “Dan saya mendapatkan penghargaan dari Presiden BJ Habibie sebagai pejuang veteran RI,” ucapnya dengan mengebu-gebu.

Kini dengan status mantan pejuang, Mawardi mengharapkan perhatian pemerintah. “Pemeritah sudah tahu hidup saya seperti ini, tapi belum ada perhatian. Tanah veteran juga direbut mafia tanah. Saya ingin merasakan kemerdekaan seperti dulu awal pertama merdeka. Tidak seperti sekarang, merdeka itu bagi yang punya duit,” ujarnya sambil menyeka air matanya yang jatuh di pipi, sambil menyudahi pembicaraan karena ia tak ingin terus larut dalam sedih. (*)

Rumah Bocor, Tidur dalam Kondisi Basah Kuyup

Lelaki tua itu tampak bangga mengenakan seragam veteran; topi kuning dan baju hijau yang berhias beberapa tanda jasa. Pandangan lelaki berusia 87 tahun itu mengarah ke depan, ke lensa kamera Sumut Pos yang sedang mengabadikannya.

M Sahbainy Nasution, Medan

DIABADIKAN: Mawardi saat diabadikan  rumahnya, Jumat (5/10)//Muhammad Sahbainy Nasution/sumut pos
DIABADIKAN: Mawardi saat diabadikan di rumahnya, Jumat (5/10)//Muhammad Sahbainy Nasution/sumut pos

Dialah Mawardi, satu lagi mantan pejuang yang tergabung dalam Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Sumut yang mengalami nasib kurang baik.
Kondisi kediaman Mawardi di Jalan Pemasyarakatan Gang Gintir No 56 Desa Sukadono, Deliserdang betul-betul miris. Rumahnya tak layak huni. Rumah itu hanya berdindingkan tepas dan papan yang sudah lapuk. Luasnya hanya 4×6 meter. Namun, di pintu masuk, tepatnya di bagian kusen atas ada tulisan yang menunjukkan sebuah kebanggaan: Mawardi LVRI.

Masuk ke dalam rumah, di sudut ruang, menuju dapur kecil di bagian belakang rumah, ada sebuah lemari kayu tua. Kondisi lemari itu pun sudah reyot, terlihat beberapa potong baju terburai, melewati pintu lemari yang sudah tidak lagi tertutup rapat.

“Silahkan masuk. Maaf, Nak, kondisi rumah saya begini. Kita duduk di tikar saja ya. Saya tak punya kursi apalagi sofa. Beginilah nasib pejuang seperti saya,” kata Mawardi.

Tikar tempat duduk yang digelar ternyata cukup menolong. Pasalnya, lantai rumah Mawardi hanya dilapisi semen yang dingin dan lembab. Menurut Mawardi, lantai itu harusnya tidak begitu dingin dan lembab. Tapi, beberapa hari ini turun hujan. Rumahnya kebanjiran. “Impian saya, saya ingin punya rumah yang layak huni. Karena kalau hujan, air hujan masuk melalui dinding tepas rumah saya. Kalau hujannya malam hari, saya sering basah kuyup saat tidur karena hujannya masuk dari sela-sela dinding tepas rumah,” jelas Mawardi yang mengaku sudah delapan tahun tinggal di rumah itu.

Parahnya, rumah itu ternyata bukan miliknya. Mawardi menyewa rumah itu dengan tarif Rp180 ribu per bulan. Untuk membayar biaya sewa, Mawaradi mengandalkan gajinya sebagai pensiuanan sebesar Rp1,3 juta per bulan. Di rumah itu, dia tinggal berdua dengan sang istri tercinta, Sania (50). “Ketujuh anak saya sudah bekerja. Tapi, semuanya merantau,” tuturnya.

Semenjak tidak menjadi TNI alias pensiun, Mawardi tidak memiliki pekerjaan tetap lagi. Dia pernah bekerja sebagai tukang korek parit dan membersihkan lingkungan di Komplek BTN Tanjunggusta Medan. “Kerja saya tak tetap, penghasilan yang saya dapat tak menentu. Kadang dapat Rp30 ribu kadang Rp50 ribu, tergantung orang yang mengupah saya,” katanya.

Padahal, dulunya Mawardi salah seorang pejuang yang tergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Jawa. Mawardi mengisahkan, dari umur 17 tahun ia sudah menjadi pejuang. “Pada tahun 1942, saya berperang melawan tentara Jepang. Saat itu, kami berperang secara bergerilya. Saya bertugas menjadi pembuat  ranjau-ranjau untuk para musuh,” ujarnya mengenang.

“Tapi itulah syukurnya, hanya 3,5 tahun Jepang menjajah di Indonesia,” tambahnya.

Masa pendudukan Negeri Sakura, Mawardi sempat bersekolah di sekolah Jepang yang saat itu Sekolah Rakyat (SR). Dari sekolah itu, ia dapat berbahasa Jepang dengan  pasif  dan juga pandai menyanyikan tujuh lagu Jepang yang masih sekarang ia ingat dalam benaknya. “Walaupun begitu, Jepang ada baiknya juga kepada bangsa Indonesia. Kita pernah diajarkan bercocok tanam dengan tanah yang sempit,” ucapnya.

Singkat cerita, semenjak peperangan usai, Mawardi mengikuti abangnya ke Medan. Mereka tinggal di kawasan Kebun Bunga Medan selama lima tahun. Setelah itu, Mawardi pindah ke Tanjungmorawa pada tahun 1954. Tak lama berselang, ia pindah ke kota Stabat. Dari Stabat itu, Mawardi sempat berjualan menjadi tukang es. “Itu tahun 1969 saya pindah dan berjualan menjadi tukang es,” ucapnya.

Ia melanjutkan, tahun 1982 ia mendapat penghargaan menjadi seorang veteran. Cukup banyak penghargaan yang ia dapat dari pemerintah ataupun lainnya. Seperti, Pelaksanaan Penghargaan Pancasila dari Kotamadya Medan pada 1996 dan dari Menteri Pertahanan (Menpan) tahun 1982.  “Dan saya mendapatkan penghargaan dari Presiden BJ Habibie sebagai pejuang veteran RI,” ucapnya dengan mengebu-gebu.

Kini dengan status mantan pejuang, Mawardi mengharapkan perhatian pemerintah. “Pemeritah sudah tahu hidup saya seperti ini, tapi belum ada perhatian. Tanah veteran juga direbut mafia tanah. Saya ingin merasakan kemerdekaan seperti dulu awal pertama merdeka. Tidak seperti sekarang, merdeka itu bagi yang punya duit,” ujarnya sambil menyeka air matanya yang jatuh di pipi, sambil menyudahi pembicaraan karena ia tak ingin terus larut dalam sedih. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/