25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

DPR Minta Dilakukan Secara Tatap Muka Langsung, MK Tunda Sidang Sistem Pemilu 2024

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Sidang lanjutan perkara sistem pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) yang dijadwalkan kemarin (17/1), kembali ditunda. Penundaan itu merespons DPR yang meminta sidang dilakukan secara luring atau tatap muka langsung. Bukan online atau daring.

Sedianya, kemarin MK akan mendengar keterangan dari DPR, Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, MK menerima surat resmi dari DPR pada Selasa (17/1) pagi. Isinya, memohon penundaan sidang. MK pun lantas merespons dengan menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH). “MK dalam rapat pemusyawaratan hakim mengabulkan permohonan (sidang luring),” ujar Ketua MK Anwar Usman.

Karena permintaan itu mendadak, lanjut Anwar, pihaknya tidak bisa menggelar persidangan hari itu juga. Sebab, para pihak belum mendapat pemberitahuan menyangkut perubahan sidang dari virtual ke luring. Atas dasar itu, dalam RPH diputuskan untuk menunda persidangan. Yakni, 24 Januari 2023 atau Selasa pekan depan. “Karena MK harus memberitahu kepada pihak lain seperti presiden, pemohon, termasuk pihak terkait,” imbuhnya.

Selain itu, Anwar menyebut MK juga perlu mendesain ruangan sesuai protokol kesehatan. Mengingat, sudah hampir dua tahun persidangan dilakukan di MK dilaksanakan virtual. “Cara ngatur tempat duduk, pengamanan, dan yang lebih penting adalah memberi tahu pihak terkait,” terangnya.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana meminta agar MK tidak memutuskan sistem apa yang digunakan dalam Pemilu. Dia menyarankan agar MK menyerahkan pilihan sistem kepada pembentuk Undang-undang. Pernyataan itu disampaikan Denny dalam diskusi virtual yang digelar PSHK Universitas Islam Indonesia (UII), kemarin.

Dalam pandangan Denny, sistem terbuka atau tertutup merupakan pilihan kebijakan (open legal policy). Keduanya sama-sama konstitusional. Dalam UUD 1945 tidak menyebut secara spesifik. “Jadi, tidak bisa MK mengambil peran legislasi itu dari Presiden dan DPR,” ungkap mantan wakil menteri hukum dan HAM itu.

Denny menambahkan, pemilihan sistem terbuka atau tertutup tidak terlalu berpengaruh. Dia menyebut, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Karena itu, dia menyarankan agar kekurangan atas sistem yang berlaku sekarang diperbaiki. “Bagi saya, yang paling penting tidak ada politik uang,” imbuhnya.

Baik sistem terbuka maupun tertutup, lanjut dia, keduanya membuka transaksi elektoral. ’’Dan itu yang selama ini memicu perilaku korupsi,’’ tegasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, DPR siap memberikan keterangan. Sejauh ini, persiapan telah dilakukan tim kuasa hukum DPR. Sikap yang disampaikan akan mewakili sembilan fraksi. Namun, dia tak mau memaparkan substansinya. Dasco meminta untuk melihat saat persidangan. ’’Jadi, apakah pendapat DPR itu mengenai persetujuan proporsional tertutup atau terbuka, nanti kita lihat sama-sama di sidang MK,’’ ujarnya.

Sebagaimana diberitakan, sikap fraksi-fraksi di DPR masih terbelah. PDIP sebagai parpol peraih kursi terbanyak di DPR sepakat dengan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024. Sementara itu, delapan partai lainnya mendukung untuk tetap menggunakan sistem terbuka.

Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari menyatakan, pihaknya siap memberikan pendapat di MK. Sejak 20 Desember 2022, KPU telah diundang dalam sidang MK sebagai pihak terkait. Soal keterangan apa yang disampaikan, Hasyim enggan menjelaskan. Pendapat KPU akan dipaparkan dalam persidangan.

Menurut Hasyim, KPU tidak spesifik memberikan tanggapan atas materi gugatan. Namun, hanya menyampaikan keterangan. Sebab, KPU diundang sebagai pihak terkait. Yang jelas, secara kelembagaan, KPU siap melaksanakan sistem apa pun yang diputuskan.

Sementara itu, mantan Ketua MK Hamdan Zoelva lebih sepakat dengan sistem tertutup. Alasannya, sistem terbuka sudah beberapa kali digunakan, tetapi hasilnya belum terlihat. Baik dalam akuntabilitas pemerintahan maupun akuntabilitas wakil rakyatnya. Namun, yang terjadi justru praktik liberalisme politik yang bertumpu pada kekuatan uang. ’’Sehingga banyak yang berurusan dengan korupsi,’’ terangnya.

Sistem terbuka juga berat secara teknis dan mahal. Soal kekhawatiran ada monopoli partai dalam menentukan nomor urut caleg, Hamdan mengakui kekurangan itu dalam sistem tertutup. Namun, dia menyebut ada jalan keluarnya. Yakni, memperbaiki partai politik.

Salah satunya dengan menjadikan partai sebagai badan hukum milik publik. Dengan begitu, parpol tidak dikuasai elite tertentu. Lalu, keuangannya juga harus diaudit. ’’Biar terjadi demokratisasi di internal,’’ ucap Hamdan. (lum/far/c18/hud)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Sidang lanjutan perkara sistem pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) yang dijadwalkan kemarin (17/1), kembali ditunda. Penundaan itu merespons DPR yang meminta sidang dilakukan secara luring atau tatap muka langsung. Bukan online atau daring.

Sedianya, kemarin MK akan mendengar keterangan dari DPR, Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, MK menerima surat resmi dari DPR pada Selasa (17/1) pagi. Isinya, memohon penundaan sidang. MK pun lantas merespons dengan menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH). “MK dalam rapat pemusyawaratan hakim mengabulkan permohonan (sidang luring),” ujar Ketua MK Anwar Usman.

Karena permintaan itu mendadak, lanjut Anwar, pihaknya tidak bisa menggelar persidangan hari itu juga. Sebab, para pihak belum mendapat pemberitahuan menyangkut perubahan sidang dari virtual ke luring. Atas dasar itu, dalam RPH diputuskan untuk menunda persidangan. Yakni, 24 Januari 2023 atau Selasa pekan depan. “Karena MK harus memberitahu kepada pihak lain seperti presiden, pemohon, termasuk pihak terkait,” imbuhnya.

Selain itu, Anwar menyebut MK juga perlu mendesain ruangan sesuai protokol kesehatan. Mengingat, sudah hampir dua tahun persidangan dilakukan di MK dilaksanakan virtual. “Cara ngatur tempat duduk, pengamanan, dan yang lebih penting adalah memberi tahu pihak terkait,” terangnya.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana meminta agar MK tidak memutuskan sistem apa yang digunakan dalam Pemilu. Dia menyarankan agar MK menyerahkan pilihan sistem kepada pembentuk Undang-undang. Pernyataan itu disampaikan Denny dalam diskusi virtual yang digelar PSHK Universitas Islam Indonesia (UII), kemarin.

Dalam pandangan Denny, sistem terbuka atau tertutup merupakan pilihan kebijakan (open legal policy). Keduanya sama-sama konstitusional. Dalam UUD 1945 tidak menyebut secara spesifik. “Jadi, tidak bisa MK mengambil peran legislasi itu dari Presiden dan DPR,” ungkap mantan wakil menteri hukum dan HAM itu.

Denny menambahkan, pemilihan sistem terbuka atau tertutup tidak terlalu berpengaruh. Dia menyebut, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Karena itu, dia menyarankan agar kekurangan atas sistem yang berlaku sekarang diperbaiki. “Bagi saya, yang paling penting tidak ada politik uang,” imbuhnya.

Baik sistem terbuka maupun tertutup, lanjut dia, keduanya membuka transaksi elektoral. ’’Dan itu yang selama ini memicu perilaku korupsi,’’ tegasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, DPR siap memberikan keterangan. Sejauh ini, persiapan telah dilakukan tim kuasa hukum DPR. Sikap yang disampaikan akan mewakili sembilan fraksi. Namun, dia tak mau memaparkan substansinya. Dasco meminta untuk melihat saat persidangan. ’’Jadi, apakah pendapat DPR itu mengenai persetujuan proporsional tertutup atau terbuka, nanti kita lihat sama-sama di sidang MK,’’ ujarnya.

Sebagaimana diberitakan, sikap fraksi-fraksi di DPR masih terbelah. PDIP sebagai parpol peraih kursi terbanyak di DPR sepakat dengan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024. Sementara itu, delapan partai lainnya mendukung untuk tetap menggunakan sistem terbuka.

Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari menyatakan, pihaknya siap memberikan pendapat di MK. Sejak 20 Desember 2022, KPU telah diundang dalam sidang MK sebagai pihak terkait. Soal keterangan apa yang disampaikan, Hasyim enggan menjelaskan. Pendapat KPU akan dipaparkan dalam persidangan.

Menurut Hasyim, KPU tidak spesifik memberikan tanggapan atas materi gugatan. Namun, hanya menyampaikan keterangan. Sebab, KPU diundang sebagai pihak terkait. Yang jelas, secara kelembagaan, KPU siap melaksanakan sistem apa pun yang diputuskan.

Sementara itu, mantan Ketua MK Hamdan Zoelva lebih sepakat dengan sistem tertutup. Alasannya, sistem terbuka sudah beberapa kali digunakan, tetapi hasilnya belum terlihat. Baik dalam akuntabilitas pemerintahan maupun akuntabilitas wakil rakyatnya. Namun, yang terjadi justru praktik liberalisme politik yang bertumpu pada kekuatan uang. ’’Sehingga banyak yang berurusan dengan korupsi,’’ terangnya.

Sistem terbuka juga berat secara teknis dan mahal. Soal kekhawatiran ada monopoli partai dalam menentukan nomor urut caleg, Hamdan mengakui kekurangan itu dalam sistem tertutup. Namun, dia menyebut ada jalan keluarnya. Yakni, memperbaiki partai politik.

Salah satunya dengan menjadikan partai sebagai badan hukum milik publik. Dengan begitu, parpol tidak dikuasai elite tertentu. Lalu, keuangannya juga harus diaudit. ’’Biar terjadi demokratisasi di internal,’’ ucap Hamdan. (lum/far/c18/hud)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/